KEGAGALAN YANG MEMBAWA HIKMAH
(kutulis sekitar 3 tahun yang lalu)
Di tengah-tengah kompetisi
pendidikan saat ini, sudah menjadi tradisi masyarakat untuk berlomba
menyekolahkan anak ke sekolah yang bergengsi. Tidak terpikirkan apakah si anak
mampu atau tidak mengikuti pelajaran di sekolah tersebut, biaya yang dipakai
nanti apakah sudah siap atau belum. Yang penting anak lolos di sekolah favorit
dan bergengsi dulu, baru biaya dan lain-lainnya akan dipikirkan nanti.
Hal seperti ini tidak menjadi
prinsip aku dan suami. Karena kami tahu kemampuan kami. Kami akan melakukan apa
saja semampu kami. Tapi kami juga ingin mencoba apa yang terbaik untuk anak.
Mencoba mengamini keinginan anak.
Anakku yang pertama (laki-laki) ingin melanjutkan di sebuah SLTA RSBI
favorit di kotaku. Hal ini tak lepas dari motivasi suami dan aku sendiri.
Apalagi aku seorang guru, tentu menginginkan anak-anakku sekolah di tempat yang
dia mau. Walaupun letaknya cukup jauh, kami akan berusaha memfasilitasi anak
agar menimbulkan semangat belajarnya.
Saat yang ditunggu tiba, pengumuman hasil UNAS pun disambut suka cita
oleh warga sekolah anakku, karena lulus seratus persen. Akan tetapi kegembiraan
anakku tak begitu lama. Hal ini disebabkan oleh putusnya suatu persahabatan
yang mengakibatkan anakku begitu depresi. Semangat sekolahnya hilang begitu
saja, dalam waktu singkat kondisi tubuhnya turun drastis. Kami selaku orang tua
sangat kebingungan menghadapinya. Hingga hari pendaftaran sekolah yang kami
tuju buka.
Terpaksa kami (suami dan aku) mengalah untuk tidak ngantor karena harus
menemani anakku mendaftarkan diri di sekolah favorit tersebut. Kami yang repot
ke sana kemari,
karena anakku dalam kondisi pasif dan diam seribu bahasa. Hal ini sampai pada
tahap wawancara dan tes tulis.
Aku tak mengira kalau ternyata dalam wawancara ada hal yang “tersembunyi”.
Sumbangan yang besar ternyata ikut mempengaruhi lulus tidaknya calon siswa.
Padahal dalam blangko yang kuisi, mulai fasilitas belajar di rumah, kesiapan
membayar bulanan, sampai gaji kami selaku orang tua, dll, insyaallah aku optimis
kalau anakku bisa lolos. Apalagi otak anakku tidaklah terlalu memalukan. Kami
yakin, sampai suamiku menjanjikan jika anakku lulus akan dibelikan sepeda motor
baru.
Allah menentukan lain, anakku tidak lulus. Kegagalan itu semakin membuatnya jatuh mental. Dengan
memohon kepada Allah kami selaku orang tua memberikan motivasi dan membesarkan
hatinya dengan mendaftarkan ke sekolah lain yang dia inginkan. Ternyata dia
memilih sekolah yang di situ ada teman-teman dekatnya sewaktu di SLTP, yaitu
grupnya di OSIS dan Pramuka.
Meskipun pada dasarnya aku kecewa dengan keputusannya, aku berusaha untuk
berlapang dada sambil mengikuti perkembangan mentalnya semenjak dia terpuruk.
Hari-demi hari dia lalui dengan perubahan karakter. Dia begitu tertutup, keras
kepala, dan malas beraktifitas. Setiap pagi kami harus membangunkan begitu
lama, pun waktu sholat dia tidak menyegerakan untuk melakukannya. Kami jadi
sedih sekali.
Dalam waktu beberapa bulan ini, dia sudah beberapa kali minta izinku
untuk absen. Dia mulai gampang sakit, entah flu, demam, atau sakit ringan yang
lainnya. Aku pun jadi enggan untuk membuatkan surat izin, karena sudah beberapa kali tidak masuk sekolah. Aku
berharap jika dia absen tanpa surat,
akan mendapat teguran dari sekolah. Tapi sampai saat aku menulis ini, belum
pernah aku dipanggil ke sekolah karena absennya.
Alhamdulillah Allah masih sayang kami. Seandainya anakku lulus di sekolah
favorit tersebut, bagaimana dia bisa menjalaninya? Sedangkan bangun pagi saja,
dia masih butuh pertolongan. Dengan bersekolah yang jaraknya jauh, kami akan
kesulitan mengontrol pergaulannya. Karena semakin luas pergaulan akan membawa
dampak yang mengkhawatirkan. Jiwanya yang labil, tentu akan mudah terpengaruh
oleh hal-hal yang negatif. Apalagi yang namanya coba-coba, pasti akan disukai
oleh anak remaja sepertinya.
Dalam keadaan ekonomi yang sedang pasif dalam berwiraswasta, suamiku
ingat akan janjinya untuk membelikan sepeda motor baru jika anakku lulus. Rupanya
Allah sudah mengatur semuanya, di antaranya kegagalan anakku masuk SLTA
tersebut. Kami tak bisa membayangkan
jika anakku harus bersepeda motor ke kota tiap hari. Dia belum bisa memperoleh SIM
karena baru berumur 15 tahun. Kekhawatiran di jalan maupun pergaulan sangat
menghantui kami.
Dari sinilah , kami (aku dan suami) mengambil hikmah yang luar biasa.
Dengan dia masuk SLTA pilihannya, yakni di sebuah yayasan tempat aku mengajar.
Maka sedikit demi sedikit aku mulai menerima nikmat yang diberikan Allah.
Anakku mulai aktif kembali bersama teman-temannya. Sementara dia belum mau
berhubungan dengan teman-teman wanita. Apalagi dia mulai aktif kembali dalam
kegiatannya, bahkan masuk anggota Pramuka Saka Bhayangkara di kotaku.
Kami bisa mengontrol semuanya, pikiran kami tak terbebani lagi dengan apa
yang dilakukan. Teman-teman pergaulannya sudah kami ketahui semua, seberapa
jauh dia melangkahkan kaki insyaallah sepengetahuan kami. Karena dalam
mengambil keputusan apapun anakku selalu minta izin kepada kami.
Kegagalan anakku berarti kegagalan kami juga sebagai orang tua dalam mendampingi
di jenjang pendidikan. Alhamdulillah, kami selalu bersyukur kepadaMu ya Allah.
Karena di balik kegagalan itu, terdapat rencana-rencanaMu ataupun hikmah yang
kami belum mengetahui sebelumnya.