Minggu, 28 April 2013

Menyelaraskan Berbagai Disiplin Ilmu pada Anak



Begitu sulitnya menghadapi tantangan hidup. Tidak hanya orang tua, anak-anak pun menjadi korban lajunya perkembangan zaman. Bagaimana tidak?

Pada dasarnya anak merupakan korban idealisme orang tua. Orang tua menjejalkan berbagai ilmu kepada anak secara membabi buta. Dikarenakan tuntutan pendidikan sedemikian hebatnya. Jika tidak mengikuti perkembangan, maka anak juga akan tertinggal oleh teman-temannya. 

Pagi hari waktu yang tidak bisa diganggu gugat karena memang waktunya sekolah. Yah… wajib! Bila tidak menyekolahkan anak seakan-akan orang tua merasa berdosa. Waktu pagi adalah hak anak untuk memperoleh bekal ilmu pengetahuan umum melalui sekolah formal. Melalui wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, yaitu (+ TK atau prasekolah), SD dan SLTP. 

Jadwal yang begitu padat menyita waktu buah hati, antara lain:

1.      Pagi hari                 : sekolah formal
2.      Siang hari               : orang tua pandai-pandai memilih pendidikan nonformal untuk bekal ilmu  
                                 tambahan, melaui les-les pelajaran, seni, olah raga, maupun                     
                                 keterampilan-keterampilan yang mendukung bakat anak.
3.      Sore hari                 : orang tua memberikan bekal ilmu agama kepada putera-puterinya.
4.      Jelang maghrib       : sedikit waktu dimanfaatkan anak untuk bermain dan berinteraksi dengan  
                                 tetangga.
5.      Malam hari             : waktu mengulang pelajaran sekolah dengan mengerjakan tugas PR atau  
                                 portofolio.
6.      Sebelum tidur         : waktu anak dan orang tua untuk mengulang dan mengevaluasi pelajaran  
                                 agama.
  
Pada dasarnya anak akan merasa tertekan dengan segala kegiatan tersebut. Akan tetapi tuntutan zaman memang tidak bisa diabaikan. Jika salah satu pendidikan tersebut tidak terpenuhi, anak akan tertinggal informasi. Apalagi melihat kawan-kawannya pandai dalam segala bidang, anak yang tertinggal akan merasa minder. Demikian juga apabila mengabaikan ilmu agama, kepandaian dalam ilmu pengetahuan umum akan terasa timpang tanpa adanya landasan agama yang kuat.

Suatu saat anak akan sampai pada titik kejenuhan sehingga malas untuk beraktivitas. Di sinilah peran orang tua  untuk mengatur waktu anak.  Orang tua tidak bisa memaksakan kehendak. Sebaliknya orang tua mengajak anak untuk berbicara. Sementara biarkan anak untuk mengistirahatkan otaknya dengan kegiatan yang diinginkan. Orang tua tinggal mendampingi dan mengarahkan kemana dan apa maunya anak. Nanti dalam beberapa hari anak akan kembali merindukan bertemu dengan teman-teman seperguruannya.

Orang tua tinggal mengisi lahir dan batin anak dengan ilmu yang bermanfaat. Tanpa adanya penekanan “harus dan harus” untuk menjadi yang paling pandai. Ilmu tidak lagi menjadi beban yang berat bagi anak. Dengan demikian akan terjadi keselarasan hidup anak dalam menggapai masa depannya. Mengamalkan ilmu disertai akhlak yang mulia karena telah dilandasi agama yang kuat.

Semoga bermanfaat.

28 April 2013

Jumat, 26 April 2013

Hidayah dan Nama Besar



Siapa sangka sebuah hidayah membawa nama besar seseorang. Berawal dari melakukan perbuatan yang kurang lurus karena memang pada dasarnya belum paham atas dampak yang dilakukannya. Tetapi bisa juga sebenarnya telah paham bahwa perbuatan tidak baik dilarang oleh agama maupun negara namun tetap dijalani karena memang terdorong oleh nafsu yang kurang baik.

Begitu mendapat hidayah dari Allah, membuat seseorang bisa bertaubat dengan sedalam-dalamnya. Hingga untuk mewujudkan pertaubatannya tidak jarang seseorang berusaha untuk mengajak orang lain untuk tidak terjerumus ke dalam lembah kekeliruan.

Memang tak mudah membuat orang lain percaya begitu saja dengan pertaubatan. Peristiwa demi persitiwa yang tidak mengenakkan sering dilontarkan untuk menanggapi (usaha) kebaikan. Kata cemooh, tidak percaya, menghindar apabila didekati, dan perlakuan-perlakuan sebagaimana penghakiman terhadap kekeliruannya dulu selalu didapatkan sebagai bentuk ujian dalam kesungguhan melakukan kebajikan. 

Dengan kata “tak pantang menyerah” akhirnya kegigihan untuk mengajak kebaikan  menampakkan hasil. Satu demi satu orang, masyarakat sekitar, bahkan masyarakat Indonesia menerima ajakan seseorang untuk berbuat yang lebih baik. Ini tidak lain karena tahu bagaimana cara dan gaya menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Menyelami jiwa masyarakat mulai dari anak-anak, remaja-remaja gaul, sampai orang tua untuk diajak meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menjalankan hal-hal yang  diperintahkanNya.

Salah satu di antaranya adalah Uje alias Ustadz Jefri. Beliau dikagumi sekian banyak umat manusia. Nama besarnya membuat banyak orang untuk mengikuti petuahnya. Apalagi dengan pengalaman pahit hidupnya, almarhum bisa mencontohkan betapa bodohnya manusia melakukan hal-hal yang tak patut untuk dilakukan. Sungguh manusia dalam kerugian besar. 

Dengan meninggalkan seorang isteri dan empat orang anak yang masih kecil, rupanya Allah lebih menyayangi ustaz untuk (insya Allah) menempati surgaNya. Tak hanya keluarganya, masyarakat Indonesia kehilangan sosok panutan yang masih muda, gaul namun cukup santun untuk membangun jiwa-jiwa yang sedang dalam kekeringan.

Tentu kita tak akan melupakan lagu “Sepotong Kayu” yang dipopulerkan kembali oleh almarhum setelah  lebih dulu dipopulerkan oleh Wafiq Azizah. Walaupun manusia dalam keadaan berjaya ataupun berlimang harta, jika tak melakukan sholat apalah gunanya…

Selamat jalan, Ustadz… doa kami semoga engkau mendapat tempat layak di sisiNya. Keluarga yang engkau tinggalkan mendapatkan ketabahan dan kemampuan dalam meneruskan perjuanganmu.
Karya yang pernah engkau ciptakan dan petuah-petuah yang pernah engkau sampaikan insya Allah tak akan terlupakan oleh penganutmu.

Uje… 

Nama besarmu … 

semoga menjadi inspirasi untuk Uje-Uje ciptaanmu.


27 April 2013

Rabu, 24 April 2013

Jangan Tembak!



Enak saja manusia. Hanya sekedar memenuhi hasrat atau hobi bisa berbuat semaunya sendiri. Dengan menenteng sebuah senapan berkeliaran ke tempat-tempat yang masih kelihatan hijau. 

Adalah sebuah lahan milik “orang kaya” di belakang rumah yang lumayan luas dibiarkan tanpa ada bangunan. Sedangkan tanah luas di sebelahnya telah dibeli pabrik untuk ekspansi usahanya. Dari lahan kosong itulah kami bisa menghirup udara bersih. Akan tetapi kelak jika tanah tersebut dibuat bangunan maka habislah riwayat komunitas binatang liar yang ada di situ. Mulai dari ular, musang, burung gagak, dan berbagai binantang yang menguntungkan maupun yang merugikan manusia.

Karena adanya pemekaran pabrik sebelah, membuat suasana tak lagi sehijau dulu. Sekarang tak dapat tertemui lagi rerimbunan yang menyejukkan mata. Yang ada hanya pantulan atap pabrik yang cukup menyilaukan mata di siang hari. Tetapi ada untungnya juga, bila malam suasana menjadi terang-benderang. Minimal membuat para “pekerja malam” alias pencuri enggan berkeliaran di sekitar rumah. Mungkin silau dengan lampu-lampu neon di sana-sini.

Nah… untuk menyiapkan masa depan, aku menanam segala pepohonan di sekitar rumah. Selain sengon, tidak ada bibit-bibit tanaman yang aku beli. Semuanya berasal dari biji yang aku tanam. Apalagi jika musim buah, banyak biji yang terbuang. Dari biji-biji yang tumbuh itulah aku menanamnya di sekitar rumah. Memang saat ini aku belum bisa menikmati hasil, tetapi anak- cucuku kelak semoga bisa mengambil manfaatnya. Agar mereka bisa menghirup udara segar di zaman yang semakin modern.

Aku juga berusaha untuk menanam segala macam tanaman keras di sekitar rumah. Memang perlu waktu yang lama untuk menunggu pepohonan itu tumbuh besar. Tetapi setidaknya sengon-sengon yang kutanam telah dapat menaungi mata dari silaunya matahari. Memang sengon sangat cepat pertumbuhannya. Dalam waktu tiga tahun sudah mencapai delapan meter lebih. Apalagi cabang dan rantingnya sengaja kubiarkan tumbuh liar agar bisa menyatu dengan cabang dan ranting pohon-pohon di sebelahnya. Lumayan sejuk.

Dengan mulai rimbunnya sengon-sengon tersebut membuat burung-burung suka tinggal di waktu pagi dan sore hari. Bermacam burung dengan suaranya yang ramai bahkan kadang-kadang anakan burung turun mengetuk-ngetuk jendela kaca kamarku. Seakan dia ingin masuk ke rumah. Tak jarang pula beberapa burung nyasar masuk rumah hingga tak bisa keluar. Betapa damainya hidup menyatu dengan alam. Bersama pepohonan nan rindang dan aneka burung yang setiap saat berebut makan di atas rumah. (menandakan kalau hidup di desa)

Sayang ketenteraman burung-burung sekarang mulai terusik oleh datangnya sang pemburu. Aku tahu sebenarnya para pemburu menembak burung bukan untuk dikonsumsi atau dijual. Mereka berburu hanya untuk menyalurkan hobi menembak. Bagaimana menyadarkan mereka ya?

Kalau dipikir-pikir pemburu adalah orang yang kejam. Jika burung yang tertembak hanya kena kaki atau sayapnya saja, pasti burung tersebut masih bisa hidup. Tetapi tentu hidupnya akan cacat atau tidak normal lagi. Padahal pemburu melakukannya tidak hanya sekali, pemburu selalu melakukan hal yang sama untuk melukai burung. Hanya untuk kepuasan atau menguji kemampuan menembak mereka. Tetapi jika burung sampai tertembak mati, mereka baru mengonsumsinya dalam jumlah banyak. Jika hanya mendapat satu atau dua ekor, mereka tidak berusaha mencari burung yang tertembak tadi. Kasihan nasib burung-burung tersebut. Hingga kadang terjatuh di dalam pekaranganku. Maka ayam-ayamkulah yang senang mendapat bangkai burung yang terjatuh.

Jika hal ini berlangsung terus-menerus, tidak bisa dipungkiri bahwa suatu saat tidak lagi terdengar suara ramainya burung-burung tersebut di atas rumahku. Apalagi sarang-sarang burung tersebut juga diburu pada malam hari dengan menggunakan getah nangka.

Untuk mengingatkan mereka aku tidak punya kewenangan. Karena tanah di sebelahku memang bukan milikku. Juga untuk burung-burung yang tinggal di atas pepohonan yang kutanam, bukankah itu juga burung liar. Tidak ada yang memiliki. Tetapi mereka sungguh mengusik ketentaraman suasana alam yang berusaha kuciptakan. Bukan hanya untuk aku dan keluargaku tetapi juga untuk masyarakat di sekitarku.

“Wahai para pemburu… jangan tembak lagi burung-burung di sekitar kita. Biarkan mereka bebas terbang ke sana-kemari untuk melengkapi kehidupan kita. Bersama rindangnya pepohonan dan sisa-sisa satwa yang lain.” Hanya suara hatikulah yang selalu kuteriakkan dalam hatiku juga.

25 April 2013

Selasa, 23 April 2013

“Ngundhuh Wohing Pakarti”



Ironis. Di saat muda seorang kakek ini (belum tua-tua amat) bergaya hidup serba keras. Dengan karakter yang temperamen dia berganti-ganti pasangan hidup. Padahal isterinya juga belum dicerai secara resmi. Dalam bekerja mencari penghidupan suka semaunya sendiri. Tidak mau diarahkan oleh orang yang menyuruhnya, padahal profesinya sebagai pekerja “serabutan”. Atau bekerja apapun sebagai pekerja kasar atau kuli bangunan.

Karena sifatnya yang tidak mau diatur oleh “bos”nya maka tidak banyak lagi orang yang suka kepadanya. Hingga para tetangga pun tak mau lagi menyuruh-nyuruh dia untuk mengerjakan sesuatu. Rata-rata merasa jera menyuruh kakek yang tidak bisa menuruti permintaan, bahkan justru menjengkelkan dengan nada bicaranya yang kasar. Karena itulah dia dijauhi dan menjauhi keluarganya.

Akhirnya dia tidak mempunyai pekerjaan. Kegiatannya hanya nongkrong di tepi jalan sambil mengelabui masyarakat untuk mencari penghasilan dengan cara berbohong. Banyak korban kebohongannya, misalnya dia minta saku karena sakit-sakitan dan katanya tidak ada lagi yang mau menolong. Maka masyarakat yang iba pun selalu mengulurkan tangan.

Kesalahannya adalah setelah mendapatkan santunan, dia selalu menggunakannya untuk hal yang negatif. Entah untuk bermain perempuan ataupun membeli “nomor” judi. Inilah yang membuat masyarakat sangat gemas dengan kelakuannya. Di samping itu dia juga terbiasa panjang tangan. Sehingga tak peduli barang apapun milik tetangga bisa raib.

Usianya yang semakin tua membuat kakek sakit-sakitan. Sebenarnya telah banyak orang yang menolongnya. Namun dia selalu mengingkari pertolongan itu, kadang malah memfitnah penolongnya. Warga masjid di sebelahnya juga sudah berupaya membantu tapi dia justru murtad.

Pihak gereja pun telah mendekati untuk menolongnya, namun sama halnya dengan lingkungan masjid. Setelah santunan habis dia tak mau lagi direkrut untuk kepentingan agama. Maka dia tidak ikut agama apapun.

Semakin menambah rasa tidak simpati warga. Maka masyarakat membiarkannya saja. Hingga dia akhirnya membuat gubug sendiri di pekarangan warga. Naas, di saat dia sakit-sakitan tiba-tiba gubugnya terbakar. Dia semakin stres. Akhirnya tidur di mana saja dia ingin tidur. Bisa di teras-teras rumah tetangga. Mau kembali ke rumah isterinya yang telah lama ditinggalkan, tetapi isterinya tidak mau menerima.

Semakin menderita hidupnya. Dia makan dari rumah satu ke rumah lainnya. Terakhir dia dalam kondisi sangat tertekan dengan melucuti pakaiannya. Tidur di rumah warga kemudian diusir dengan ditumpangkan ke sebuah becak. Oleh tukang becak si kakek diturunkan di sebuah pos kamling. Tetapi warga menolaknya hingga oleh tukang becak dikembalikan di kebun tempat gubugnya terbakar.

Hingga di siang hari seorang anak menemukan si kakek dalam keadaan tidur di tanah. Anak kecil tersebut memberitahukan kepada orangtuanya kalau kakek tersebut jatuh di kebun. Ternyata si kakek telah meninggal dunia dalam keadaan yang sangat mengenaskan.Tidak ada yang melayatnya. Akhirnya warga merawat jenazah dan mengebumikan dengan layak.

Isteri-isterinya, baik yang syah maupun yang tidak syah tidak lagi mau berurusan dengan jenazahnya. Betapa malang nasib si kakek. Meninggal dalam keadaan tidak punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.

Pelajaran untuk semua yang masih hidup. Bahwa selama masih hidup, kita usahakan bisa berbuat baik untuk sesama. Berbuat baik tidak harus berupa materi, tetapi bisa berupa perbuatan. Bahkan hanya dengan senyuman bisa membuat orang lain bahagia.

Orang Jawa mengatakan “Ngundhuh wohing pakarti” artinya memetik hasil perbuatan sendiri. Jika selama hidup berbuat baik dengan sesama maka kelak akan memperoleh balasan yang baik. Tetapi jika perbuatan manusia sangat menjengkelkan orang banyak bahkan Tuhan maka kelak juga akan mendapat balasan dari Tuhan. Yaitu balasan sesuai dengan amal perbuatan selama hidup. 

Bukan berarti kisah nyata ini untuk mengungkit kejelekan almarhum, tetapi untuk mengingatkan kepada saya sendiri dan semuanya bahwa segala perbuatan manusia ada hasil yang dipetik di kemudian hari.

20 April 2013

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...