Begitu
sulitnya menghadapi tantangan hidup. Tidak hanya orang tua, anak-anak pun menjadi
korban lajunya perkembangan zaman. Bagaimana tidak?
Pada
dasarnya anak merupakan korban idealisme orang tua. Orang tua menjejalkan
berbagai ilmu kepada anak secara membabi buta. Dikarenakan tuntutan pendidikan
sedemikian hebatnya. Jika tidak mengikuti perkembangan, maka anak juga akan
tertinggal oleh teman-temannya.
Pagi
hari waktu yang tidak bisa diganggu gugat karena memang waktunya sekolah. Yah…
wajib! Bila tidak menyekolahkan anak seakan-akan orang tua merasa berdosa. Waktu
pagi adalah hak anak untuk memperoleh bekal ilmu pengetahuan umum melalui
sekolah formal. Melalui wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun,
yaitu (+ TK atau prasekolah), SD dan SLTP.
Jadwal
yang begitu padat menyita waktu buah hati, antara lain:
1.
Pagi hari : sekolah formal
2.
Siang hari : orang tua
pandai-pandai memilih pendidikan nonformal untuk bekal ilmu
tambahan, melaui les-les pelajaran, seni,
olah raga, maupun
keterampilan-keterampilan
yang mendukung bakat anak.
3.
Sore hari : orang tua
memberikan bekal ilmu agama kepada putera-puterinya.
4.
Jelang maghrib : sedikit waktu dimanfaatkan anak untuk bermain dan
berinteraksi dengan
tetangga.
5.
Malam hari : waktu mengulang pelajaran sekolah dengan mengerjakan
tugas PR atau
portofolio.
6.
Sebelum tidur : waktu anak dan orang tua untuk mengulang dan mengevaluasi
pelajaran
agama.
Pada dasarnya anak akan
merasa tertekan dengan segala kegiatan tersebut. Akan tetapi tuntutan zaman
memang tidak bisa diabaikan. Jika salah satu pendidikan tersebut tidak
terpenuhi, anak akan tertinggal informasi. Apalagi melihat kawan-kawannya
pandai dalam segala bidang, anak yang tertinggal akan merasa minder. Demikian
juga apabila mengabaikan ilmu agama, kepandaian dalam ilmu pengetahuan umum
akan terasa timpang tanpa adanya landasan agama yang kuat.
Suatu saat anak akan
sampai pada titik kejenuhan sehingga
malas untuk beraktivitas. Di sinilah peran orang tua untuk mengatur waktu anak. Orang tua tidak bisa memaksakan kehendak.
Sebaliknya orang tua mengajak anak untuk berbicara. Sementara biarkan anak
untuk mengistirahatkan otaknya dengan kegiatan yang diinginkan. Orang tua
tinggal mendampingi dan mengarahkan kemana dan apa maunya anak. Nanti dalam
beberapa hari anak akan kembali merindukan bertemu dengan teman-teman
seperguruannya.
Orang tua tinggal
mengisi lahir dan batin anak dengan ilmu yang bermanfaat. Tanpa adanya
penekanan “harus dan harus” untuk menjadi yang paling pandai. Ilmu tidak lagi
menjadi beban yang berat bagi anak. Dengan demikian akan terjadi keselarasan
hidup anak dalam menggapai masa depannya. Mengamalkan ilmu disertai akhlak yang
mulia karena telah dilandasi agama yang kuat.
Semoga bermanfaat.
28
April 2013