Rabu, 28 Agustus 2013

Pilgub Jatim Kurang “Greget”



Pilgub Jatim Kurang “Greget”

Masih pukul setengah delapan pagi. Kami bermaksud mendahulukan kewajiban sebagai warga negara, yaitu ikut pesta demokrasi rakyat Jawa Timur. Pilihan Gubernur baru sebagai pimpinan tertinggi di propinsi ini. Pasangan kandidat yang bersaing dalam pemilihan ialah:

1.      Soekarwo – Syaifullah Yusuf (cagub incumbent)
2.      Eggi Sujana – M. Sihat
3.      Bambang DH – Said Abdullah
4.      Khofifah - Herman

TPS (Tempat Pemungutan Suara) tempat saya mencoblos memanfaatkan sebuah SMPN yang cukup luas di daerah saya. Saya pun sampai di tempat bersama suami dan anak pertama dengan tanpa antre. Yach… hanya kami bertiga di salah satu TPS dari enam TPS yang ada. Begitu sepi. Proses pencoblosan pun tak memerlukan waktu yang lama juga. Hingga kami keluar masih tetap belum ada yang masuk ke TPS tempat saya mencoblos. Kemana masyarakat yang sekian banyak?

Mungkin saja saya yang terlalu pagi untuk mendahulukan pencoblosan. Sedangkan masyarakat masih disibukkan dengan urusan perut. Kebetulan lingkungan saya memang tidak banyak yang bekerja sebagai pegawai kantoran. Rata-rata sebagai pedagang. Sehingga maklum jika pagi hari menyempatkan untuk mencari nafkah telebih dahulu.

Walaupun demikian, menurut saya gaung pesta demokrasi ini kurang tersosialisasi ke seluruh masyarakat kelas bawah. Hal ini bisa dibuktikan bahwa  masyarakat kecil tidak banyak tahu akan persiapan pilgub ini. Apalagi calonnya, mereka bahkan tidak tahu siapa saja kandidat yang harus mereka pilih. Mungkin yang mereka tahu hanya gubernur yang masih menjabat. 

Inilah masyarakat kelas bawah. Pilgub tidak lebih ramai daripada pilihan-pilhan Kepala Desa di sekitar desa yang baru saja mengadakannya. Kurangnya sosialisasi ke bawah membuat pilgub di daerah saya kurang “greget” atau kurang antusias. Sehingga maklum jika golput masih mewarnai masyarakat di sana- sini. Masyarakat tidak mau tahu siapa yang akan menjadi gubernur baru. Yang penting mereka bisa makan dan menghidupi keluarganya.

Yang paling masyarakat harap adalah bahwa siapapun yang akan menjadi gubernur akan membawa kebaikan. Membela rakyat kecil, harga pangan tidak terlalu mahal, urusan kesehatan murah, dan mempermudah segala birokrasi.

Karena saat berkampanye para kandidat selalu memberi harapan-harapan yang menggiurkan. Mampukah mereka merealisasikan janji-janjinya? Semoga bukan janji palsu.

Dan masyarakat tinggal menunggu keputusan siapa yang menjadi pemenangnya. Semoga saja perselisiahan tidak lagi terulang seperti gilbub lima tahun yang lalu. Hingga memerlukan waktu lama untuk mengesahkan seorang gubernur.

Minggiran, 29 Agustus 2013

Senin, 26 Agustus 2013

Ketika Puteriku “Memilih Setia”



Ketika Puteriku “Memilih Setia”

Dilema. Begitu resah ketika mendapat kabar dari sekolah bahwa puteriku harus mengikuti kelas akselerasi. Pada dasarnya tes IQ yang dia ikuti hanya untuk mengetahui seberapa besar kemampuan intelektualnya. Ternyata sekolah menghendaki dia harus masuk ke kelas tersebut.

Puteriku adalah siswa yang terbiasa dengan berbagai kegiatan di sekolahnya. Dia aktif dalam kegiatan Pramuka dan OSIS di SLTPnya. Maka memasuki dunia SLTA, dia juga berharap bisa melanjutkan berbagai kegiatan di sekolah barunya. Dia tidak mau terbelenggu dalam materi pelajaran saja.

Sebelum sekolah mengirimkan surat panggilan untuk wali murid, puteriku menyatakan keberatannya untuk mengikuti kelas akselerasi. Cukup beralasan sih, pertama dia kurang menguasai  bidang eksak, kedua dia tidak bisa lepas dari berorganisasi. Karena kelas akselerasi melarang siswanya untuk mengikuti berbagai kegiatan sekolah maupun lomba-lomba. Baik olimpiade pelajaran maupun lomba segala bidang. Dengan harapan, siswa bisa fokus mengejar pelajaran yang seharusnya ditempuh selama tiga tahun menjadi dua tahun.

Sebagai orang tua, tentu punya harapan anaknya akan bisa masuk kelas akselerasi tersebut. Namun kami pun menyadari akan keinginan kuat anak. Karena kami tahu kebiasaan anak. Kami tahu kesanggupan dan tidaknya dia dalam menjalani sekolah dan aktivitasnya. Saya dan suami pun memberikan hak dia untuk memilih:

1.      Masuk kelas akselerasi tetapi fokus pada pelajaran, hidup di asrama, dan nonkegiatan.
2.      Tetap ada di kelas unggulan dengan bebas berkegiatan melalui berbagai tes.

Tak lupa saya sebagai ibunya meminta dia untuk beristikhoroh. Agar apapun pilihan dia akan mendapat ridla dariNya. Kami menyerahkan sepenuhnya pilihan tersebut padanya.

Begitu ayahnya mendatangi panggilan sekolah, si ayah pun mulai terpengaruh dengan argumen yang disampaikan pihak sekolah. Bahwa puteriku yang sebenarnya kurang menguasai bidang eksak masih bisa mengikuti pembinaan demi pembinaan. Karena  pada dasarnya anak akan mampu melampaui tahap-tahap percepatan sekolah tersebut. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji IQnya yang lumayan mencukupi. 

Maka si ayah pun menandatangani persetujuan untuk masuk ke kelas aksel. Dengan syarat pihak sekolah mampu memberikan harapan dan penjelasan logis kepada anak tentang segi positifnya. Karena, tentu saja kami tidak bisa memaksakan kehendak kepada anak. Anaklah yang akan menjalaninya. Mampu dan tidaknya, dialah yang bisa menentukannya.

Seperti biasanya, puteriku pulang sekolah sore hari . Kali ini si ayah sempat menjemputnya. Apalagi kakinya belum sembuh total dari kecelakannya waktu lalu. Aku pun penasaran dengan jawaban dia ketika berhadapan dengan tim sukses sekolah untuk kelas akselerasi. Diapun dengan santainya menjawab bahwa dia tidak mau dengan tawaran gurunya untuk masuk kelas aksel. Dengan “iming-iming” apapun.

Sebagaimana dugaanku sebelumnya. Ternyata dia lebih memilih setia. Setia pada kegiatan ekstra kurikulernya. 

Aku jadi teringat, waktu lalu dia pernah mengatakan dengan rasa kecewa bahwa tidak lolos dalam tim jurnalistik. Dia memang suka tulis-menulis sejak SD. Saat itu aku hanya memberikan gambaran padanya bahwa mungkin saat tes tulis kurang terperinci, atau membuat sebuah kesimpulan terlalu singkat. Kalau tes wawancaranya mungkin dia bisa lolos, karena dia memang lancar dalam berkomunikasi.

Di luar dugaan. Dia memang tidak diloloskan dalam tim jurnalistik karena dia masuk dalam tim yang lebih besar lingkupnya. Dia justru menjadi ketua tim redaksi majalah dari sekolahnya untuk majalah tingkat kabupaten. Berada di kedudukan ini, dia merasa senang sekali. Belum selesai di sini, dia masih mengincar ingin masuk dalam OSIS. Aduh, puteriku memang tidak bisa diam untuk menekuni pelajarannya saja.

Kebetulan malam Minggu, SLTP tempat dia sekolah mengadakan penerimaan anggota Pramuka baru. Acara ini dimeriahkan oleh penampilan para alumnus Pramuka dari tahun ke tahun. Puteriku tidak menyia-nyiakan waktu. Dia bersama kakaknya (putera pertamaku laki-laki) yang juga mantan anggota Pramuka di situ siap memberikan motivasi pada adik-adiknya dengan ikut menginap di SLTPnya tersebut.

Dua anakku memang gila kegiatan. Sehingga mereka kompak juga dalam urusan Pramuka. Meskipun telah menjadi alumni, mereka tetap mencintai kepramukaannya di SLTPnya. Demikian pula yang dilakukan oleh teman-temannya.

Maka demi segala kegiatan ekstrakurikulernya, puteriku menolak untuk masuk kelas akselerasi. Dan dia lebih memilih setia. Saya dan ayahnya tinggal memberikan motivasi dan mengawasi perjalanan sekolahnya. Semaksimal mungkin dan berdasarkan kemampuan kami dalam mengantarkan  mimpi anak-anak untuk meraih apa yang diharap. Sepanjang itu masih terjangkau oleh materi, proses berpikir, maupun  kelogisan dalam mewujudukannya.

                                                                                                Kediri, 25 Agustus 2013

Minggu, 11 Agustus 2013

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/08/02/catatan-perjalanan-kebahagiaan-yang-ternoda-antara-surabaya-bali-ubalan-581316.html

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...