Pilgub
Jatim Kurang “Greget”
Masih
pukul setengah delapan pagi. Kami bermaksud mendahulukan kewajiban sebagai
warga negara, yaitu ikut pesta demokrasi rakyat Jawa Timur. Pilihan Gubernur
baru sebagai pimpinan tertinggi di propinsi ini. Pasangan kandidat yang
bersaing dalam pemilihan ialah:
1. Soekarwo
– Syaifullah Yusuf (cagub incumbent)
2. Eggi
Sujana – M. Sihat
3. Bambang
DH – Said Abdullah
4. Khofifah
- Herman
TPS
(Tempat Pemungutan Suara) tempat saya mencoblos memanfaatkan sebuah SMPN yang
cukup luas di daerah saya. Saya pun sampai di tempat bersama suami dan anak
pertama dengan tanpa antre. Yach… hanya kami bertiga di salah satu TPS dari
enam TPS yang ada. Begitu sepi. Proses pencoblosan pun tak memerlukan waktu
yang lama juga. Hingga kami keluar masih tetap belum ada yang masuk ke TPS
tempat saya mencoblos. Kemana masyarakat yang sekian banyak?
Mungkin
saja saya yang terlalu pagi untuk mendahulukan pencoblosan. Sedangkan
masyarakat masih disibukkan dengan urusan perut. Kebetulan lingkungan saya
memang tidak banyak yang bekerja sebagai pegawai kantoran. Rata-rata sebagai
pedagang. Sehingga maklum jika pagi hari menyempatkan untuk mencari nafkah
telebih dahulu.
Walaupun
demikian, menurut saya gaung pesta demokrasi ini kurang tersosialisasi ke
seluruh masyarakat kelas bawah. Hal ini bisa dibuktikan bahwa masyarakat kecil tidak banyak tahu akan
persiapan pilgub ini. Apalagi calonnya, mereka bahkan tidak tahu siapa saja
kandidat yang harus mereka pilih. Mungkin yang mereka tahu hanya gubernur yang
masih menjabat.
Inilah
masyarakat kelas bawah. Pilgub tidak lebih ramai daripada pilihan-pilhan Kepala
Desa di sekitar desa yang baru saja mengadakannya. Kurangnya sosialisasi ke
bawah membuat pilgub di daerah saya kurang “greget” atau kurang antusias.
Sehingga maklum jika golput masih mewarnai masyarakat di sana- sini. Masyarakat
tidak mau tahu siapa yang akan menjadi gubernur baru. Yang penting mereka bisa
makan dan menghidupi keluarganya.
Yang
paling masyarakat harap adalah bahwa siapapun yang akan menjadi gubernur akan
membawa kebaikan. Membela rakyat kecil, harga pangan tidak terlalu mahal, urusan
kesehatan murah, dan mempermudah segala birokrasi.
Karena
saat berkampanye para kandidat selalu memberi harapan-harapan yang menggiurkan.
Mampukah mereka merealisasikan janji-janjinya? Semoga bukan janji palsu.
Dan
masyarakat tinggal menunggu keputusan siapa yang menjadi pemenangnya. Semoga
saja perselisiahan tidak lagi terulang seperti gilbub lima tahun yang lalu.
Hingga memerlukan waktu lama untuk mengesahkan seorang gubernur.
Minggiran, 29 Agustus 2013