Jumat, 30 Mei 2014

Antologi PuJa XXVII --- SURI ARIAMURTI ---



Lahir dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Pembaca dan penulis puisi.
                                                                 Jawa Pos, Minggu: 12 Agustus 2012

harmoni
segalur gulutan
rambatan sulur-sulur ketela
di pendamannya, umbi-umbi beberapa kepalannya

di sela-selanya
batang-batang cabai dan tomat
menggelayutkan buah-buah merahnya

dan mereka tak pernah saling berebut
sericik kali tuangan

brambang
airmata siapa sebenarnya yang tersimpan
di tiap lapis kulit umbi kami

air mata yang kelak bakal kami keluarkan
dari mata perempuan-perempuan pengupas

sungguhkah itu air mata si perempuan
yang menunggu lelaki yang pulang
terlalu larut dengan aroma parfum

perempuan yang bukan bau si perempuan pengupas
atau sebab lebam merah pipinya yang tertampar setiap ia bertanya,
“urusan apa yang membuat kau terlalu payah menjamahku?”

atau sebab anak-anak yang beranjak dewasa
lalu terjebak cinta
hingga lupa rumah yang selalu ia buka
untuk menyambut?

sungguh, yang kami lebih percaya
air mata itu bermata air di sudut
mata petani tua yang wajahnya dipenuhi
kerut murung

kerut sebab petani itu begitu mencintai kami
hingga rela mereka susah-payah
menata galur,
teliti memeriksa gulma,
cermat menjerat gabuk pelapuk,
tak henti meminumi kami dari kali yang jauh,
juga menyediakan berlapis humus

namun terus dibikin kecewa
perihal tawar bakul yang tak cukup
ditukar beras barang sekilo

sungguh, kami rasa lelah dan tabah mereka

dan dari mereka pula
kami mengerti bagaimana sabar
serta menahan perih
setiap bilah pisau
merajam kami
dan perempuan pengupas
menjadikan kami sekadar pemura-mura
jika lelakinya berseru:
demi tuhan, aku bersetia kepadamu

cabe
selain sepercik dingin gunung
secuplik humus bagus
dan sericik air di kedokan
tak ada lagi yang kami butuh untuk tumbuh
tengadah ke langit serupa pendoa

pendoa murung menanggung rindu dendam
pada kekasih kami
kekasih yang menjelma
di buih lautan
di ombak yang tak henti menatap karang
kekasih yang serupa petualang
terus ingin mengarungi hidup
merasa asin garam takdir
agar kelak kami dapat saling melengkapi
ketika tiba bertemu
dalam layah dan menyatu dilumat cobek

sungguh, kami sempat berputus asa
lalu mengira cinta perkara angan
yang bakal segera lenyap dihembus angin

ah, bagaimana kami bisa menebas jarak tanpa kaki?

kadang-kadang, jika rindu kami
sudah tak lagi tertanggung
kekasih yang jauh itu merayu ombak,
“bawa kami ke gunung-gunung!”
dan ombak menjadikan dirinya tsunami

dan aku mematahkan tangkaiku
ketika hujan turun
berharap hanyut ke sungai:
jalan menuju laut

tapi kemudian kami sadar
bila itu perkara percuma belaka
sekadar menjatuhkan air mata
orang-orang yang kehilangan rumah
dan orang-orang tersayang
serta petani yang kehilangan harap
akan panen

maka kami jadi pendoa saja
dan tuhan dengan humor anehnya
mempertemukan kami
untuk menikmati nasi dan lauk siapa saja
dan meski kemudian kami musnah
dalam kecap
kami bahagia
bisa bersama menuju surga

Jumat, 23 Mei 2014

Antologi PuJa XXVI -- SYAMSUDIN ADLAWI DARI EROPA ---



Lahir di Banyuwangi, 7 April 1970. Wartawan Jawa Pos. Pegiat sastra Watubuncul Banyuwangi. Buku puisinya Jaran Goyang (2009)dan Haiku Sunrise of Java (2011). Pintu silaturahim: udi@jawapos.co.id.
                                                                                    Jawa Pos, 10 Juni 2012


Kisah Purba
Gerimis berebut menyambutku
Datang pergi
berganti-ganti

Kaki ini terus mengayun tak mau
kompromi

Akhirnya hujan pergi juga
Tinggalkan sisa di
Balok-balok batu yang menata diri jadi
lantai

Di tengah lapangan mataku dikepung
Belgia purba

Amis darah haus kuasa
Memancar dari dinding-dinding sejarah
                        Brussel, 15(v)2012

Puisi Terkubur
Di jalanan Frankfrut sampai Dusserdolf

Puisiku terkubur
                        Jerman, 16(v)2012

Interlaken
Empat musim
Datang dan pergi
Mengukir relief
Di punggung gunung
Yang membujur kaku
Dari kaki sampai parasmu

Pucuk-pucuk pinus
Melambai sepanjang hari
Membimbingmu menari
Di atas danau Brienzersee
dan Thunersee

Hatiku pun jatuh
Dalam pelukan Interlaken
                        Interlaken, 18(v)2012

Membelah Amsterdam
Tak jenuh ia mengalir
Membelah kota Amsterdam

Ia terus mengallir
Manjakan mata rasa

Ia terus mengalir

Tak kenal cuaca
Tak kenal lelah ia
Membasuh daki
Tembok sejarah
                        Amsterdam, 13(v)2012

Sal Putih
Sulaman salju melingkari
Leher gunung cadas Engelberg

Seperti sal putih
Melindungi jenjang leher gadis-gadis
Luzern
Dari sapuan angin

Yang datang lebih pagi
Sebelum merekah matahari

Pucuk-pucuk pinus
Melambai dan bergoyang
Kibaskan sisa-sisa salju
Dari kujur Engelberg
                        Luzern, 17(v)2012

Aku Datang Tepat Waktu
Aku datang ketika musim salju baru saja pergi

Ketika daun-daun mulai semi

Ketika angin hembuskan sepoi

Ketika matahari melintas setengah hati

Venlo kembali bergairah
Menebar putiksari di kuncup-kuncup tulip

Aku pun bisa pulang dengan hati lapang
Membawa setangkup senyum terindah
Venio
                        Venio, 12(v)2012

Volendam
Kapal-kapal sandar
Meringkas layar

Tubuhnya bergoyang
Diayun gemercik ombak

Burung-pelikan burung belibis burung camar
Berebut dengan pengunjung mencium
bibir Volendam

Pengunjung datang pergi uapkan aneka
parfum
Amis pergi tinggalkan pantai

Ditemani segelas bir
Pengunjung bakar diri dalam bara sinar
matahari
                        Volendam, 13(v)2012

Sulaman Puisi Pantai Venezia
Kapal kayu menimangku
Menyusuri kebisuan semenanjung Venezia

Burung camar lalu-lalang
Di atas kapal yang hilir-mudikkan hasrat
Penumpang mengeja pahatan sejarah
kota tua
Di dinding-dinding rumah dan gereja
purba

Dalam gemericik ombak
Dari bibir pantai
Lamat-lamat kudengar
Pelacur jajakan birahi
Dalam sulaman puisi

Seekor camar tengger
Di pucuk tiang palka
Bacakan lembaran kisah yang
tertulis dengan merah darah pelacur
nestapa
                        Venezia, 20(v)2012

Selasa, 20 Mei 2014

Antologi PuJa -- AMANG MAWARDI --



Lahir dan tinggal di Surabaya; pernah menjadi koordinator grup diskusi sastra “Sanggar 6 Januari 73”, anggota pleno Dewan Kesenian Surabaya. Puisi-puisinya termuat dalam antologi bersama “Doa Tangan Tangan” (Bengkel Muda Surabaya, 2007), anggota tim kerja majalah Alur Dewan Kesenian Surabaya.
                                                                                                Jawa Pos, 27 Mei 2012
Banyu Urip
Banyu Urip adalah cerita para urban
yang mengais nasib di kota para pejuang dan pengkhianat
yang terus bergulat untuk menjadi pemenang atau pecundang

Banyu Urip adalah kawasan atas dan bawah
yang dibelah sepasang kekasih:Kali Banyu Urip dan Jalan Banyu Urip
yang mengalirkan air keruhnya ke arah Tandes, Kandangan, Benowo
yang menampung lalu-lintas padat di bagian barat kota

Banyu Urip adalah buk abang penanda ke rumah penyair “Wartini Ledek Pasar Turi”
Banyu Urip adalah pohon trembesi pinggir tanggul pengingat ke kontrakan dramawan “Blakothang”
Banyu Urip adalah rumah mungil di sudut gang kecil pembuka laci memori senandung bianglala masa muda
Banyu Urip adalah cowek sambel welut penggoyang lidah pengenyang perut

Adakah catatan-catatan ini akan terus tersimpan rapi di kotak kenangan ataukah berserakan diinjak-injak zaman?

Buk abang  kini telah lenyap
Pohon trembesi sekarang cuma noktah ingatan
Semoga gang kecil dan warung belut goreng masih bertahan
di tengah gemuruh dinamika kota
Banyu Urip, di tlatahmu orang-orang nunut urip …
                                    Surabaya, Mei 2011

Rungkut
ketika Mc Donald’s dan retsoran pizza
berdiri gagah di sudut jalan-jalan itu
kamu tak gelisah
sebab, katamu, soto Pak Jayus dan bebek goreng Palupi
masih dijubeli pembeli

tatkala Giant dan Super Indo
merangsek sigap di dekat perempatan itu
kamu tak gundah
sebab, katamu, pasar Pahing dan Soponyono tetap diluberi ibu-ibu

tapi, sejak duet minimarket
mengisi titik-titik itu
aku resah, sebab, rak-rak mracanganku
makin berkurang barangnya

hidup kok tambah susah
padahal anakku pingin kuliah
aku bingung cari siasat
semoga tak terjebak sesat
                                    Surabaya, April 2012

Tunjungan
Tempat sejarah dicatat
sesudah orang-orang marah
merobek bendera tiga warna
di hotel menginap tuan penjajah

tempat kenangan diingat
dalam lirik dan notasi yang
didendangkan Mus Mulyadi
(Rek ayo Rek mlaku-mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek mlaku-mlaku bebarengan …)

Sejarah Tunjungan adalah
keringat dan darah para pejuang
Kenangan Tunjungan adalah
jalan kebersamaan para penyayang

Kemarin aku susuri jalan ini
toko-toko berubah monumen sunyi

Tapi, sejarah dan kenangan itu
membuatku bertahan di kota ini
                                    Surabaya, April 2012

Jembatan Merah
jembatan itu masih seperti yang dulu
tapi dekat pertokoan dan plasa itu
tak ada lagi bunyi desing peluru
hanya lalu-lalang kendaraan menderu

jembatan itu masih berwarna merah
tapi sungainya tak lagi mengalirkan
darah para pemanggul senjata
cuma airmata pengais remah-remah kota

akulah bocah kecil saksi pertempuran itu
akulah manusia pelaku kehidupan yang kelu
Jembatan Merah,
di ujung barat pagar besimu
aku berdiri penat dan pasrah
                                    Surabaya, April 2012

Wonokromo
KEBUN BINATANG. Tempat ayah menunjukkan pelaku dongeng, gajah yang besar kancil yang kecil. (Kelak aku tahu makna lain dongeng itu: jangan dikira wong cilik tidak cerdik!)

POLSEK WONOKROMO. Tiga dekade lalu, seorang reporter pemula melihat ibu muda menggendong balita berkunjung di kantor polisi itu. Di ruang tunggu, balita berteriak: “Bapak!”, saat melihat laki-laki berdiri di balik pintu jeruji.
Reporter pemula terhenyak, lantas wajahnya meredup, airmata pun mengembang. (Hati-hati meniti hidup, banyak lubang dan jurang!)

RSI. Di sini anak-anakku dilahirkan, kugemakan di telinganya Allah Maha Besar. (Semoga senantiasa berada di jalur-Nya!)

TERMINAL JOYOBOYO. Datang, masuk angkot, pergi. (Seperti kehidupan: lahir, masuki jalan hidup, mati!)

Selebihnya lalu-lintas padat seputar pintu air Jagir, stasiun kereta api, gedung ludruk, pegadaian, jalan layang, traffick light, tikungan dekat patung tentara berkuda, Jalan SMEA, Bendul Merisi, Jetis. (Semakin menebalkan polusi, bikin sibuk polisi, jadi objek politisi!)
                                    Surabaya, April 2012

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...