PEMASUNGAN MASA BERMAIN ANAK
“Ma, boleh kali ini aku nggak masuk les tari dan les Bahasa
Inggris?”, tanya Dita
“Memangnya kenapa?, nanti kamu tertinggal dengan Tika dan
Mira lo!”, jawab mamanya
“Sekali …aja, aku capek Ma, aku ingin sekali melihat film Barbie,
ya Ma?”, rajuk Dita
“Ah, kamu ini!, baiklah tapi besuk harus masuk lo!”, jawab
mamanya dengan khawatir.
“Belajar sampai ke Negeri Cina”. Seiring dengan perkembangan waktu,
pepatah yang bersumber dari sebuah hadits tersebut sudah mengalami pergeseran
makna. Karena Negara Cina saat ini bisa ditempuh dalam hitungan jam. Sehingga
belajar di negeri orang yang letaknya jauh pun sekarang bukanlah aral yang
berarti bagi sebagian orang yang berkantong tebal.
Pun demikian dengan Indonesia
yang mewajibkan seluruh rakyatnya untuk mengikuti pendidikan dasar 9 tahun. Pendidikan dasar yang bersifat
formal, bahkan sejak dini sudah diperkenalkan dengan play group sampai TK.
Masyarakat bisa juga memilih pendidikan nonformal yang menjamur bak kacang goreng,
mulai dari pelajaran tambahan untuk materi sekolah, kesenian, olah raga,
keterampilan, dan lain-lain. Tinggal sejauh mana kemampuan setiap orang tua
untuk membiayai putra-putrinya dalam segala kegiatan yang disajikan oleh berbagai
lembaga tersebut.
Tak jarang orang tua bekerja keras demi membiayai anaknya untuk mengikuti
berbagai kegiatan mulai A sampai Z. Diawali pagi hari sekolah formal, siang
pelajaran tambahan, sore hari mengaji ataupun les-les yang lain hingga malam
hari. Anak seakan tidak sempat lagi untuk mengerjakan PR dari sekolah..
Orang tua yang idealis akan memaksakan kehendaknya untuk menjejalkan
berbagai materi. Tujuannya tidak lain adalah anaknya menjadi yang terpandai,
lebih berprestasi, bahkan tidak jarang yang mengejar gengsi.
Sebaliknya, hal ini akan memasung kebebasan anak. Anak akan kehilangan
hak-haknya sebagai seorang anak. Anak yang seharusnya masih bisa bermain,
bercanda tawa dengan teman sepermainan harus menuruti keegoisan orang tua.
Tidak lagi terdengar adanya nyanyian “jamuran” , permainan “gobag sodor”,
bahkan “bola bekel” ataupun permainan “kelereng” sebagaimana yang dilakukan
oleh anak pada zaman dahulu.
Para orang tua sekarang sangat khawatir
dengan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi. Apalagi di era globalisasi
yang semakin membumi. Masyarakat diharapkan cerdas dalam menyikapi segala hal.
Karena kemajuan tekonologi tidak selamanya membawa dampak positif.
Contoh yang ada di depan mata adalah tayangan televisi. Faktanya beberapa
stasiun televisi menayangkan acara-acara yang nonedukatif pada jam-jam belajar.
Tentu saja tayangan yang saya maksud adalah yang menarik untuk anak. Mulai film
kartun, sinetron anak sampai remaja, reality show, bahkan hiburan-hiburan
menarik.
Itu baru tayangan yang bisa ditonton anak secara terbuka. Bagaimana
dengan internet?. Dalam hal ini berbagai informasi bisa dengan mudah untuk
diakses. Tinggal pilih kata apapun, maka segala informasi yang diharapkan akan
muncul. Bagaimana jika anak tanpa sepengetahuan orang tua mencuri-curi kesempatan
untuk mencari informasi yang negatif?.
Bekal orang tua tidak sekedar memberi contoh baik, namun pengarahan
dan pembekalan ilmu agama sangat penting
untuk kehidupan anak sampai tua. Karena itulah orang tua tidak bisa
sewenang-wenang menguasai anak dengan memberikan doktrin-doktrin yang sangat
ditakuti anak. Selama di hadapan orang tua, anak bisa merasa takut dan terlihat
selalu taat. Tetapi begitu mendapat kesempatan lengah dari pengawasan, anak
tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk berbuat yang aneh-aneh. Karena dari
pergaulan lingkungan ataupun sekolah, anak pasti akan mendapatkan
informasi-informasi baru yang selama di rumah tidak didapatkan.
Mungkin anak merasa jenuh atau bosan dengan segala peraturan, belajar,
belajar, dan belajar atas tuntutan orang tua, maka sekali mendapatkan
kesempatan anak akan protes dengan orang tua. Karena anak bukan mesin yang bisa
diprogram seenaknya sesuai dengan kemauan orang tua. Mereka manusia biasa yang
juga perlu “kebebasan”.
Memang sebaiknya, para orang tua memahami akan kebebasan anak untuk
memilih hal yang disukai, berpendapat, bermain, belajar, istirahat, dan
sebagainya. Tinggal orang tua yang pandai-pandai memberikan pengarahan maupun
solusi terbaik sesuai dengan yang diperlukan oleh anak.
Luluk Nur Rohmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar