RENUNGAN
Kesabaran Seorang Penjahit
Seperti biasanya, sore itu aku kursus menjahit di bu Atun. Sengaja aku
mengambil waktu sore karena pagi hari harus mengantar anakku ke TK. Sedangkan
siswi kursus yang lain masuk pagi. Rata-rata siswi pagi adalah lulusan SLTA
yang tidak melanjutkan kuliah. Sambil menggambar pola baju sederhana, aku
selalu mendengarkan apapun yang diceritakan oleh bu Atun. Masalah anak,
pekerjaan, maupun siswi-siswi yang kursus menjahit padanya. Banyak cerita yang
menarik dan bisa kuambil sebagai pelajaran dari bu Atun yang gigih bekerja
untuk membantu suami tercintanya.
Bu Atun tidak mengambil tarif tinggi untuk biaya kursus. Cukup lima ratus ribu untuk satu
siswa. Dari nol sampai pandai, tidak terikat waktu. Sehingga ditempuh dalam
jangka waktu dua bulan sampai tahunan pun bu Atun tidak mempermasalahkannya. Bu
Atun yang sabar, sederhana, dan tidak memaksa siswinya untuk segera membayar
iurannya.
Dari beberapa cerita bu Atun, ada satu hal yang menggelitik hatiku.
Seorang gadis lulusan SMA yang juga tetangga bu Atun tidak melanjutkan kuliah
karena terbentur biaya. Dari pada menganggur, dia minta untuk diajari menjahit.
Persyaratan pun diajukan oleh bu Atun sebagaimana siswi yang lain, yaitu
membayar biaya lima
ratus ribu rupiah sampai pintar. Si tetangga pun menyetujuinya dan kursus pun
berlangsung sampai bulan ketiga. Dalam hati bu Atun sebenarnya juga menunggu
pembayaran walaupun dengan mengangsur. Tapi ternyata, sedikitpun si tetangga
tak kunjung mengangsur.
Si tetangga yang mulai pandai menjahit, lama tak datang belajar kembali.
Ternyata dia magang pada penjahit lain. Selang beberapa waktu dia datang ke bu
Atun membawa PR dari penjahit lain yang seharusnya dikerjakan di rumah.
Berhubung si tetangga belum mempunyai mesin jahit, dia ke rumah bu Atun untuk
mengerjakan PR tersebut, otomatis memakai mesin jahit bu Atun. Benang pun minta
pada bu Atun. Selesai menjahit PR milik penjahit lain tadi si tetangga pulang
tanpa beban dan berlalu begitu saja.
Bu Atun yang lugas hanya geleng-geleng sampai suatu saat hal seperti itu
terulang beberapa kali. Bu Atun curhat padaku dan mengatakan kalau beliau tidak
berani menanyakan perihal biaya kursus maupun perhitungan si tetangga yang
berkali-kali menjahit baju milik penjahit lain di rumahnya.
Aku hanya bertanya dalam hati yang tak mungkin terjawab, dimana tanggung
jawabnya, di mana hati nuraninya?. Kursus menjahitnya belum selesai dan belum
membayar sepeserpun. Sekarang dia magang pada penjahit lain, membawa pekerjaan
yang seharusnya dikerjakan di rumah tetapi malah dikerjakan di rumah bu Atun
bekas gurunya. Bagaimana dia bisa menanggung biaya benang, jarum, minyak mesin,
bahkan listriknya. Itu pun jika bu Atun orang yang sangat perhitungan dengan
bisnisnya.
Tapi itulah bu Atun yang sabar dalam mendidik semua siswinya. Dihitung
secara materi dan ilmu sebenarnya bu Atun merasa rugi. Tapi bu Atun bisa
mengambil hikmah dari tipu muslihat para siswinya. Ada beberapa orang lari dari tanggung jawab.
Setelah mereka lumayan pandai, tidak datang lagi dan tentu saja tidak membayar.
Bu Atun membiarkan para siswinya berbuat seperti itu karena yakin Allah tidak
tidur, Allah pasti akan membantu usahanya demi membantu ekonomi keluarganya.
Rupanya Allah memang menjawab doa-doa bu Atun yang dikhianati oleh
beberapa siswinya. Para pelanggan tak putus
habis dalam menjahitkan bajunya. Bahkan beberapa pengusaha menengah mempercayai
bu Atun untuk mendesain dan menjahit koleksi baju-baju muslim. Hal itu ternyata
tidak diborong sendiri oleh bu Atun. Aku pun ternyata mendapatkan rizki juga.
Aku yang sudah lumayan bisa menjahit mendapatkan bagian untuk menjahit sebagian
jahitannya. Alhamdulillah, ternyata di balik cobaan yang bu Atun alami, ada hikmah yang bisa diambil. Yaitu bu Atun banyak menerima
order menjahit dari pengusaha konveksi sedaerah.
LULUK NUR
ROHMAWATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar