Bulan
Mei adalah bulan kegalauan sebagian pelanggan listrik di Indonesia. Banyak hal
yang diperbincangkan oleh warga.
Ana : Kok tagihan listrikku naik banyak sekali
ya…
Ani : Aku juga, sekitar lima puluh ribu
rupiah.
Joko : Wah, aku malah sampai lima ratus ribu nih. Padaha biasanya
hanya lima puluh ribu
rupiah per
bulan.
Budi : Tagihanku hanya naik lima belas ribu
rupiah. Maklumlah, kan TDL juga naik. Tapi
kenapa ya, punya kalian naiknya
begitu banyak?
Joko : Nah, itu tuh! Yang jadi pertanyaanku.
Padahal aku rajin membayar lo. Kalau gitu, ayo
ramai-ramai demo saja!
Ani : Ya, jangan “grusa-grusu” gitu to, Pak
Joko. Kan bisa ditanyakan ke PLN dulu.
Budi : Betul, kita tanyakan dulu pada kantor PLN
setempat.
Tak
sedikit dialog semacam di atas terjadi di mana-mana. Banyak pelanggan listrik
mengeluh, seperti halnya di sekitar daerah saya. Begitu tagihan (listrik) keluar,
masyarakat terkejut dengan kenaikan tagihan yang menimpanya. Maka beragam
ekspresi pun muncul seketika. Ada yang marah, ada pula yang kecewa. Yang jelas
tidak ada yang bergembira.
Sebagian
masyarakat akhirnya berbondong-bondong menanyakan tagihannya ke kantor PLN. Di
situlah mereka mendapat jawaban yang tetap tidak mengenakkan hati masyarakat.
Karena setelah dibukakan data pada komputer oleh petugas, ternyata kata petugas
ada rekapan tagihan yang tertunda di bulan-bulan sebelumnya. Sehingga sewaktu
diakumulasi menjadi membengkak.
Tapi
kenapa harus ada tagihan yang belum terbayar. Bukankah setiap bulan pelanggan
sudah ditagih? Di sinilah perlu adanya sosialisasi kenapa bisa terjadi
demikian. Masyarakat Indonesia masih banyak yang buta teknologi, buta
informasi, dan buta pengetahuan birokrasi. Meskipun pihak PLN telah
menyosialisasikan melalui media televisi, toh tidak semua masyarakat melihat
tayangannya. Sehinga masyarakat masih diliputi oleh rasa penasaran yang tak
terhingga.
Ada
juga yang putus asa karena tagihan yang baginya terlalu tinggi, tidak mau
membayar dan meminta untuk memutuskan aliran listrik di rumahnya. Masyarakat
awam belum bisa berpikir panjang tentang akibat keinginannya untuk memutus
aliran listrik di rumahnya. Jika betul-betul diputus, apakah mau kembali
menggunakan minyak tanah? Padahal harga minyak tanah begitu tinggi. Juga
baterai, accu, maupun media lainnya yang sekiranya bisa dipakai sebagai
pengganti penerangan pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit juga.
Penyebab
belum terbayarnya sisa rekening bulan-bulan lalu, bisa saja terjadi karena:
1.
Petugas (pencatat) meteran teledor
menulisnya.
2.
Kemungkinan masih ada juga masyarakat
yang curang dengan mencuri aliran listrik.
3.
Atau mungkin masih ada alasan lain lagi
yang berhubungan dengan tagihan listrik.
Untuk yang nomor dua,
yaitu tentang kecurangan “mencuri” aliran listrik, saat belum terdeteksi masih
aman-aman saja. Tetapi begitu ada penertiban, ternyata dari hasil yang belum
tertagih bulan-bulan bahkan tahun-tahun lalu akan terlihat. Sehingga jika
ditotal dalam waktu tertentu akan menjadi banyak sekali. Hal ini tentu akan membebani oknum itu
sendiri.
Karena
itu pihak PLN perlu memberikan penyuluhan betapa pentingnya aliran listrik untuk
kehidupan. Apapun kegiatan manusia tidak bisa meninggalkan listrik. Listrik
telah menjadi kebutuhan primer.
Juga
penyuluhan kepada masyarakat luas agar berlaku jujur. Karena dari sekian ratus
juta manusia Indonesia masih ada saja yang melakukan pencurian aliran listrik.
Mereka tidak sadar bahwa tindakannya sangat merugikan negara. Sedangkan bila
perbuatannya ketahuan, bukannya jera dengan sanksi yang diberikan tetapi justru
berupaya untuk mencari kompensasi lain. Misalnya dengan memrovokasi warga lain
untuk berdemo.
Seadainya
semua warga negara mempunyai kesadaran tinggi untuk taat peraturan, tentu tidak akan terjadi lagi yang namanya
kecurangan, melanggar, korupsi, maupun perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
Kapan
ya?
18 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar