Ketika
Puteriku “Memilih Setia”
Dilema.
Begitu resah ketika mendapat kabar dari sekolah bahwa puteriku harus mengikuti
kelas akselerasi. Pada dasarnya tes IQ yang dia ikuti hanya untuk mengetahui
seberapa besar kemampuan intelektualnya. Ternyata sekolah menghendaki dia harus
masuk ke kelas tersebut.
Puteriku
adalah siswa yang terbiasa dengan berbagai kegiatan di sekolahnya. Dia aktif
dalam kegiatan Pramuka dan OSIS di SLTPnya. Maka memasuki dunia SLTA, dia juga
berharap bisa melanjutkan berbagai kegiatan di sekolah barunya. Dia tidak mau
terbelenggu dalam materi pelajaran saja.
Sebelum
sekolah mengirimkan surat panggilan untuk wali murid, puteriku menyatakan
keberatannya untuk mengikuti kelas akselerasi. Cukup beralasan sih, pertama dia kurang menguasai bidang eksak, kedua dia tidak bisa lepas dari berorganisasi. Karena kelas
akselerasi melarang siswanya untuk mengikuti berbagai kegiatan sekolah maupun
lomba-lomba. Baik olimpiade pelajaran maupun lomba segala bidang. Dengan
harapan, siswa bisa fokus mengejar pelajaran yang seharusnya ditempuh selama
tiga tahun menjadi dua tahun.
Sebagai
orang tua, tentu punya harapan anaknya akan bisa masuk kelas akselerasi
tersebut. Namun kami pun menyadari akan keinginan kuat anak. Karena kami tahu
kebiasaan anak. Kami tahu kesanggupan dan tidaknya dia dalam menjalani sekolah
dan aktivitasnya. Saya dan suami pun memberikan hak dia untuk memilih:
1. Masuk
kelas akselerasi tetapi fokus pada pelajaran, hidup di asrama, dan nonkegiatan.
2. Tetap
ada di kelas unggulan dengan bebas berkegiatan melalui berbagai tes.
Tak
lupa saya sebagai ibunya meminta dia untuk beristikhoroh. Agar apapun pilihan
dia akan mendapat ridla dariNya. Kami menyerahkan sepenuhnya pilihan tersebut
padanya.
Begitu
ayahnya mendatangi panggilan sekolah, si ayah pun mulai terpengaruh dengan argumen
yang disampaikan pihak sekolah. Bahwa puteriku yang sebenarnya kurang menguasai
bidang eksak masih bisa mengikuti pembinaan demi pembinaan. Karena pada dasarnya anak akan mampu melampaui
tahap-tahap percepatan sekolah tersebut. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji
IQnya yang lumayan mencukupi.
Maka
si ayah pun menandatangani persetujuan untuk masuk ke kelas aksel. Dengan
syarat pihak sekolah mampu memberikan harapan dan penjelasan logis kepada anak
tentang segi positifnya. Karena, tentu saja kami tidak bisa memaksakan kehendak
kepada anak. Anaklah yang akan menjalaninya. Mampu dan tidaknya, dialah yang
bisa menentukannya.
Seperti
biasanya, puteriku pulang sekolah sore hari . Kali ini si ayah sempat
menjemputnya. Apalagi kakinya belum sembuh total dari kecelakannya waktu lalu.
Aku pun penasaran dengan jawaban dia ketika berhadapan dengan tim sukses
sekolah untuk kelas akselerasi. Diapun dengan santainya menjawab bahwa dia
tidak mau dengan tawaran gurunya untuk masuk kelas aksel. Dengan “iming-iming”
apapun.
Sebagaimana
dugaanku sebelumnya. Ternyata dia lebih memilih
setia. Setia pada kegiatan ekstra kurikulernya.
Aku
jadi teringat, waktu lalu dia pernah mengatakan dengan rasa kecewa bahwa tidak
lolos dalam tim jurnalistik. Dia memang suka tulis-menulis sejak SD. Saat itu
aku hanya memberikan gambaran padanya bahwa mungkin saat tes tulis kurang
terperinci, atau membuat sebuah kesimpulan terlalu singkat. Kalau tes
wawancaranya mungkin dia bisa lolos, karena dia memang lancar dalam berkomunikasi.
Di
luar dugaan. Dia memang tidak diloloskan dalam tim jurnalistik karena dia masuk
dalam tim yang lebih besar lingkupnya. Dia justru menjadi ketua tim redaksi
majalah dari sekolahnya untuk majalah tingkat kabupaten. Berada di kedudukan
ini, dia merasa senang sekali. Belum selesai di sini, dia masih mengincar ingin
masuk dalam OSIS. Aduh, puteriku memang tidak bisa diam untuk menekuni
pelajarannya saja.
Kebetulan
malam Minggu, SLTP tempat dia sekolah mengadakan penerimaan anggota Pramuka
baru. Acara ini dimeriahkan oleh penampilan para alumnus Pramuka dari tahun ke
tahun. Puteriku tidak menyia-nyiakan waktu. Dia bersama kakaknya (putera
pertamaku laki-laki) yang juga mantan anggota Pramuka di situ siap memberikan
motivasi pada adik-adiknya dengan ikut menginap di SLTPnya tersebut.
Dua
anakku memang gila kegiatan. Sehingga mereka kompak juga dalam urusan Pramuka.
Meskipun telah menjadi alumni, mereka tetap mencintai kepramukaannya di
SLTPnya. Demikian pula yang dilakukan oleh teman-temannya.
Maka
demi segala kegiatan ekstrakurikulernya, puteriku menolak untuk masuk kelas
akselerasi. Dan dia lebih memilih setia.
Saya dan ayahnya tinggal memberikan motivasi dan mengawasi perjalanan
sekolahnya. Semaksimal mungkin dan berdasarkan kemampuan kami dalam
mengantarkan mimpi anak-anak untuk
meraih apa yang diharap. Sepanjang itu masih terjangkau oleh materi, proses
berpikir, maupun kelogisan dalam
mewujudukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar