Jumat, 28 Maret 2014

Antologi PuJa XIII (WIDIANTIWIDIANTI)



  WIDIANTIWIDIANTI
Lahir di Malang pada 1985. Hobi traveling mengantarkannya menghabiskan waktu 2 tahun di Jerman sebagai pekerja sosial dan sepuluh bulan di Austria sebagai nanny. Bergiat di Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis Universitas Negeri Malang (UKMP UM) dan di Teater Pelangi Universitas Negeri Malang. Beberapa kali menerbitkan kumpulan puisi secara indie bersama UKMP UM.
                                                                                    Jawa Pos, 26 Februari 2012

kusebut namanya dalam tasbihku
bukannya aku ini berselingkuh
menduakan tuhan
tapi sungguh aku tak pernah tahu
dzikirku masih saja namanya
bukan nama-Nya

bukannya aku ini berniat
menjadi seorang pendosa
tapi kutak kuasa berpaling
karena dia adalah pemenuh cintaku

tapi tak bisa kupungkiri
Dia pasti sangat mengasihiku
meski aku sering berpaling
pada dia yang lain

subuh ini pun, dzikirku masih seperti
                   sebelumnya
                   astaghfirullah…
                   subhanallahku terganti namanya.
                                    November 2002

SETIP
………
aku menghapus setiap jengkal memori
tentangmu
yang mengendap lama
dalam dalamnya harap.
aku menghapus setiap aksara
yang mengukir silhuet tubuhmu.
aku menghapus segala nadimu
yang menjadi darahku.
aku menghapus berserakannya
daundaun kala musim gugur
dari pelataran hidupmu.
aku menghapus suaramu dari
setiap getaran dalam dadaku….

aku menghapus…
aku menghapu…
aku menghap…
aku mengha…
aku mengh…
aku meng…
aku men…
aku me…
aku m…
……..
……..
……..
ah, kau curi penghapusku!
                          Lohr am main, winter 07/08

KEPADA HARI 2
… selendang yang kutinggal padamu tempo hari itu,
bukan hanya jalan menuju jiwa yang sunyi.
namun juga petunjuk bahwa rumputku memang tumbuh di pelataran hidupmu,
sebagai ruh yang tak menyamar.
kukira, engkau paham,
mengapa selendang itu kutinggal
menjelma puisi…
                                    wetzlar, 13.06.09


KEPADA HARI 3
beberapa hari ini telah kujahitkan kemejamu yang koyak itu.
di sakunya kutemukan seikat bunga abadi.
warnanya ikhlas.
namun kau tak jua datang mengambil kemejamu dan mempertanyakan
apakah bunga itu masih segar atau masih layu.
maka kugantungkan saja kemejamu di teras,
biar bunganya kena angin ……..
                        Frankfurt am main, 24.06.09

LELAKI PEMUJA LANGIT
senja merah
beradu oranye
menanggung sukma

langit tak utuh
tercuri makna
dalamnya kalam dan harap

langit mengadu pada lelaki
pada kekaguman yang bersari

lelaki dan hati
lelaki berhias langit
                        ciamis, 26.09.09

LELAKI PEMUJA LANGIT 2

langit mendung
tertahan kabut
jingga merahnya kalut

tersudut kukut
ternyata dia bukan jawaban
atas pinta langit tempo hari

hati siasia
langitnya beringsut

langit menagih

langit berkawan lelaki

lelaki pemuja langit …
                        panderman, 04.10.09





Rabu, 26 Maret 2014

HAZ ALGEBRA (Antologi Puja XII)



HAZ ALGEBRA
Tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena. Komunitas WalekofiESA, Komunitas Dialog Peradaban L’Nous (Philosophy, Art & Science), Komunitas ArtCtext, dan Paradokstra (Paralelan Dokter Sastra). Karya-karyanya telah dimuat di berbagai bulletin, jurnal, dan Koran, serta telah dibukukan dalam beberapa antologi bersama.
               Jawa Pos, 19 Februari 2012                                                                                                                                                                
DALANG DAN W/AYANG-W/AYANGNYA

Hukum Dalang:

Wayang akan tetap diam jika tak ada dalang yang menggerakkan!
Lalu para wayang itu masuk ke dalam biliknya
Jemari lentik di ujung selendang; menari sesaat dan lunglai di lantai
Mereka  dipaksa menari, mereka tak mengerti
Dalang terus melantunkan kidung bagi wayang-wayangnya.

 Malam itu , Dalang sedang sakit tapi pertunjukan tak bisa dibatalkan.

Di balik bilik jeda, semua wayang mulai membaca skenario dan menghapal dialog masing-masing.

 Dedes – tokoh figuran dalam pertunjukan ini tiba-tiba berdiri di depan sana
Lengannya menggenggam belati dan mengacungkannya pada seuatu di hadapannya
Dari sudut sebelah sana Arjuna melepaskan anak panah ke arah Dalang
Manik-manik menitik, melayang jatuh menimpa lantai menciptakan ketegangan jam dinding
Dalang tersungkur; tergeletak pasrah dengan anak panah menancap di dadanya.

Cahaya merah lantas menyala!

Shinta pun keluar dari biliknya dan dikibaskannya sampur
Sepercik memori kembali melayang pada episode angkara di ujung malam
Saat-saat ketika Dalang mengeluarkan wayang-wayangnya dari lemari
Dengan wajah merona; membaringkannya di ranjang dan gemetar melepas pakaian
Lalu berkata: Malam ini giliran kamu tidur denganku, Shinta!

Murka!
Telah ia lipat referensi itu; gairah perempuan pada gemulai
Telah ditariknya belati tumpul dari sarungnya
Ketika cahaya seperti petir menyalak di kegelapan pentas
Dedes dan Shinta telah sepakat satu kata:
ti…………kam……….
ti…….kam……….
t…….i……..k……..a…….m     
ti….kam……
tikam  tikam    tikam tikam tikam tikam tikam
tikam  tikam    tikam tikam tikam tikam tikam
tikam  tikam    tikam tikam tikam tikam tikam
tikam  tikam    tikam tikam tikam tikam tikam
tikam  tikam    tikam tikam tikam tikam tikam
Pertunjukan usai.
Wayang-wayang membereskan tubuh Dalang ke dalam lemari.
                                               Kota M, 2011


Aku Tak Peduli tentang Kapan, dengan Siapa, Seberapa Sering, dan Bagaimana Gaya Kamu Berhubungan Seks!

Ya, aku tak peduli seberapa banyak lelaki yang telah bersumpah di depanmu bahwa dirinya bukan Don Juan. Aku tak peduli seberapa banyak lelaki yang telah memuji keteranganmu sebagai Marsinah. Aku tak peduli seberapa banyak lelaki yang telah mengancam memenjarakanmu sebagai Zarima. Dan aku tak peduli seberapa banyak lelaki yang telah merangkak memahkotaimu sebagai Cleopatra.
Aku tak peduli. Tak pernah peduli. Sebab tak pernah kurebut engkau dari dirimu.
Aku hanya peduli pada sebuah “Ya!” atas satu pertanyaan yang menuntut sebuah “Ya!”
Dan itu tak pernah terlalu singkat buatku. Seperti saran bisumu padaku:
“Tak perlu banyak aksara.”
Ah, kata-kata itu tentu berharga. Setidaknya mirip cinta yang kau sajikan.
Sedikit kurang, banyak tak sisa. Siap melesat ke segala penjuru.

Kita tak pernah mengikat senyum sayang tapi saling menyapa dalam pesta kunang-kunang
Ya, setiap lekuk tubuhmu adalah lintas lahar di jurang magma
segalanya sempurna.
Kalau begitu sebaiknya aku berberes-beres seperti dikata orang dengan bagusnya.
Semoga hujan memberi kabar segera.
Dan kita beranjak membersihkan cinta.

NB:
Kamu pencet tombol “Top.” Di lift pencet 21, lalu naik ke lantai atas. Di situ cuma ada satu pintu. Ia terbuka sedikit. Kemudian belok kiri ke arah kamar, ikuti suara musik. Aku nyaris tak sabar menunggumu.
                                               Kota M, 2011

PELACUR TULISAN
Pada sebuah mesin tik-romantika.
Dia merangkai aksara demi aksara yang dibuatnya bicara
-untuk berbicara.
Arogan, manja, jenaka, wibawa, perkasa, dan segala menjadi referensi untuk menghidupkan tulisannya.
Karena penulis itu-hanya menulis-menulis hanya tentang kau-kau laki-laki yang diam dan tak bisa dilabuhi tubuhnya.
“Kemarilah, keluarlah ari jeruji spasi dan kata-kata.”
“Mari temani aku menulis agar tulisanku bukan lagi tafsiran hampa.”
Di antara degup darahnya. Ajakan itu selalu menjadi tepi sungai imajinasinya.
Dan di antara jendela takdir yang belum terbuka. Dia selalu berbisik pada tulisannya:
“Kenalkan, aku perempuan. Kesepian.”
                                               Kota M, 2011

TITIK JENUH BULAN
Seorang lelaki yang menunggu. Menggantungkan cintanya pada waktu. Alah diriku, yang berserah penuh entah ragu. Malam itu aku masih sama dengan malam-malam kemarin dan yang lalu-lalu.
Judulnya juga sama. Hanya sedikit berbeda pada penempatan karakter dan prolog yang sedikit panjang.
“Berjuta detik kuhitung. Kapankah jumpa? Beribu aksara kueja. Namamu jua yang tercipta.” Aku berpuisi dalam temaram.
Rinduku tersudut di ujung redup bulan, perlahan berkarat lalu terpendar di sudut-sudut ruang gelap dunia maya. Angin, malam, bercanda alam diam, menertawakan waktu yang pelupa. Berulang kali pula aku mengirim pesan, namun tiada tersampaikan.
Tuhan berujar: “Akan kuberi terang setelah tangis menyeruak dari kedalaman malam.”
Aku berucap: “Akan kukotori malam. Dengan dendam.”
Malam meluruh. Rindu yang jatuh.
Epilog:
Suatu malam di titik jenuh bulan, Adam terus menatap langit. Merindukan Hawa yang tak kunjung turun ke bumi. Tersangkut di pohon surga, di langit prosa.
                                               Kota M, 2011















Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...