Kamis, 15 Mei 2014

Antologi PuJa XXIII -- DODY KRISTIANTO --



Lahir di Surabaya, 3 April 1986. Bergiat bersama Komunitas Rabo Sore dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini ia tinggal di Sidoarjo.
                                                                                                Jawa Pos, 6 Mei 2012

Naga Air
Menikmati Nyonya Mao berjalan di atas atap kayu

Kesehatan itu masih menyemburkan air
Pertanda datang segenap peruntungan
Atau kesialan pada hari mendatang

Antara rumah yang disembunyikan berjuta bambu
Dan penyair lupa pada ikhwal rembulan itu

Sepasang bocah menyelinap
Pada pintu rahasia, pintu menuju tidur kami

Kota-kota sepi yang menerima doa air di kaki
Yang dipijak ke dalam tubuh atau dipendam

Sebagai dendam para kami yang masih
Menginjakkan kaki, dendam kami pada leluhur

Pada kata-kata yang pulang mendahului kami
Aih, kembang yang melayang itu

Menyampirkan salju di kepala kami
Yang berada di bawah garis mimpi

Sedetik pun, sedetik pun
Kami telah lupa bagaimana menyalakan dupa

Pada malam merah kami. Aih, adab langit
Yang memerangkap langkah-langkah kami
                                    (2011)
 Lulabi
Agar kedipan kunang itu
tak kenal jalan kabur kami
Agar rembulan telat datang itu
rabun jejak kami

Masuklah dalam kota
yang tak ada
dalam hari-hari kami
                        (2011)
Bulan Mengambang
Dari atap rumahmu, ada bulan mengambang yang tumbuh. Ia begitu cepat. Begitu cepat meluncur di atas kepalaku. Kepala yang sakit ketika kota-kotamu dikepung hujan. Hujan semalaman.

yang menyebabkan pria akhir bulan itu urung bertandang ke dalam rumahmu. Rumah yang masih setia menyimpan bulan mengambang. Sungguh, bila kamu dengar jarum jam meluncurkan kitar bungkuknya, pria itu akan memulai resahnya

dan mendongakkan kepalanya. Ke selingkar dahi langit. Ke sela kantung hujan. Hujan yang turun pada awal bulan kedua. Bulan ketika sekali lagi kamu bermimpi tentang bulan mengambang itu, yang melintas cepat. Cepat. Seperti mimpi kanak-kanak yang ingin menemukan jalan pintas ke langit sana. Tapi bulan mengambang itu sungguh-sungguh tak mau

singgah bukan?
                                    (2011)
Langkah Puisi
Jangan terlalu cepat Paduka. Pelan saja. Pelan belaka. Seperti langkahnya sebelum menjadi Budha. Atau selamban tingkah pertapa kala berjumpa dengan ia sang pembawa. Pembawa iman atau ilham. Atau seperti ia yang berdiam dalam gua. Yang dikejutkan oleh suara tak terduga.

Pelanlah. Perlahan saja Paduka. Serupa kata-kata mulai lamban. Kata yang lalu berubah manjadi benih, ranting dedaun, bunga, sampai buah di atas kertas. Dan ia mengiranya sebagai puisi. Atau sesuatu yang mirip puisi. Lamban. Melambanlah, seperti langkah puisi itu akan dibacakan.
                                    (2011)
Lain Ayat
di sisi sebuah kamus ia tenang
berdiam dan menantikan sesuatu yang lain dating
ia tak ingin pulang pada kitab rentan juga para penyair usang
ia diam menantikan yanglebih bulan dari rembulan
yang tak pernah ada dan tak kunjung ia temukan
tapi di tepian kamus ia tetap tenang
                                    (2011)

Aku Memakan Puisiku
aku memakan puisiku.
Ia yang terluka.
Kata-kata hilang dan lupa pada namanya.

Ia tak dapat mengingat kejadian atau sebuah perihal yang melayang di atas kepalamu.

Buka, bukalah jendelamu, bila ingin kau lupakan ia yang tinggal bebangkai saja
                                    (2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...