Rabu, 25 Juni 2014

Antologi PuJa XXIX ---KAMIL DAYASAWA---



Dilahirkan di Sumenep, Madura, 5 Juni 1991. Puisi-puisinya dipublikasikan di Horison, Radar Madura, Majalah Qalam dan Minggu Pagi. Buku antologi bersamanya: Akar jejak (2010), Estafet (2010) dan Memburu Matahari (2011). Saat ini tinggal di Jogjakarta.
                                                                                    Jawa Pos, 2 September 2012

Bayangan
Dalam doa kau lantunkan kasidah duka yang abadi.

Bila malam turun, bulan mengajakmu tamasya
mengelilingi kota-kota sibuk penuh suara

memasuki gang-gang gelap dan tenda-tenda remang
yang menyeruak aroma parfum campur air selokan

Angin menarik-narik rambutnya yang tergerai
seraya menghentikan langkah malam

Terurai wajah-wajah dalam bingkai foto
seorang lelaki tua dan bocah-bocah tak berdosa

Tapi kau harus terus berjalan mengikuti derap bulan
demi hari esok, demi harapan-harapan

Kau membiarkan kenangan-kenangan tanggal
bersama hentakan waktu

Pepatah dan wasiat-wasiat suci
kau biarkan mengambang di kepalamu

Karena zikir munajat di jalan takdir
maka semua jalan akan berakhir di ambang yang sama

“Aku berjalan bersama bulan
kau berjalan beriring matahari” katamu.

Kau tak pernah menangisi tubuhmu yang mati
Karena cintamu lahir dari kepedihan api

Karena kau lahir dari bayangan
Maka jalanmu ramai tikungan-tikungan
                        (Kota Gede, 2012)

Lebaran
1/
Kampung halaman adalah
telaga kenangan yang menenggelamkan rindu dendam
kuburan waktu yang mesti terus diziarahi bersamaan,
tanah basah dengan sederet pohon-pohon harapan
akan hari esok, yang mataharinya setia turun ke bumi
mengecupnya berkali-kali, menimangnya lewat air kali.

2/
Ramadhan selalu mengajakku pulang sebelum lebaran
sebelum gema takbir dialunkan lewat mikrofon-mikrofon
yang duduk di bubungan masjid mati yang tiba-tiba
hidup kembali

Aku bergegas tanpa bertanya kenapa matahari satu syawal
harus dirayakan dengan perkumpulan bersama sanak-teman
yang hidup di masa silam. Tumbuh di jejak-jejak tertinggal
pada ladang-ladang kering tak berpengharapan.

Kulepaskan segala yang berbau tanah rantau
karena di ramadhan, aku mesti terbangun dari pulau
yang menidurkanku dan memabukkanku dengan ciuman.


3/
Kampung halaman adalah tempat kembali segala luka peluru,
ibu yang setia mencatat ragam ceritaku

tanpa mengeluh kapan segera berlalu

4/
Aku merindukan kampung halaman
tanah kelahiran tak berpengharapan
Aku pulang menjelang tellasan*
demi malam cahaya, upacara-upacara takbir
sampai malam berakhir dan matahari lahir
sebagai hari baru, kemerdekaan yang biru.

5/
Aku mengerti, cinta seperti air
Kemana mengalir, muara tempat mereka berakhir.
                                    (Kota Gede, 2012)
                                    Lebaran (Bahasa Madura)

Pacinan
“Berangkatlah ke Legung atau Bintaro!
Berlayarlah dengan perahu, sampailah di lubuk yang biru.”

Kau mengutukku menjadi perantau.
Tak ada jalan pulang sebelum kemarau
sebelum bibit-bibit tambakau ditanam dan layang-layang
diterbangkan
anak-anak petani yang hanya mengerti cara berlari

Di negeri jauh, antara kepul asap kemenyan dan dupa
aku menjelma nisan yang teronggok di atas ladang mati
tanpa peziarah!

Kucari suratmu di tumpukan sampah, secarik pesan yang mungkin
adalah alamat orang-orang dari keheningan.
Pembawa petromak malam di antara kerlip kekunang terbang
menghablur pada ranting-ranting mawar tertidur.

“Berangkatlah ke Legung atau Bintaro!
Berlayarlah dengan perahu, sampailah di lubuk paling biru.”

Sederet kisah tanah kering kerontang mengutukku
menjadi pemburu tanpa peluru
menjadi kompas di rahang waktu

Hujan mengguyur seperti barisan malaikat
turun mengecup keningku, hingga aku dilahirkan kembali
dengan wajah baru yang murung seribu kenangan.

Hanya demi matahari terbit dan cahaya apinya
kau memberangkatkanku lalu diam menunggu.
                                    (Kota Gede, 2012)

Kasidah Pelaut
Kepada ikan-ikan di laut kami ceritakan
hikayat cinta kami di kasur pasir
yang selalu melahirkan purnama

Isyarat hujan turun yang kami amini
adalah air mata langit menetes
lantaran ketabahan kami berjalan
di atas peta nasib seperti karang
dihantam lecut ombak

kami setia mencatat nama-nama musim
meskipun ia adalah badai
Merenggut landai sara kami di tepi pantai
Menghadang langkah kami ke perahu
Yang menampung seribu tetes air mata kami

Kami hanya punya satu cerita abadi
Berangkat di malam sepi
Dan kembali ketika pintu jumantra terbuka bagi matahari.
                                    (Batang-batang, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...