Jack
Brum...
brum ... suara knalpot moge
menggetarkan jantung yang kurang sehat. Tentu saja mengejutkan karena Jack baru
saja pulang sekolah dan belum sempat ganti baju. Rio nyelonong dari samping
rumah dan berteriak.
“Bro,
temeni aku yuk,!” ajak Rio.
“Aku
kan belum makan,” jawab Jack.
“Ala...
gampang ... nanti pasti ku traktir,” Rio merayu Jack.
“Iya
sih, tapi aku kan masih cape,” Jack beralasan.
“Idiiih
kamu manja amat sih ...,” Rio mengolok.
“Memangnya
kemana kamu tadi? tak tampak batang hidungmu. Guru-guru nyari kamu tuh,” Jack
menanyakan alasan kealpaan Rio ke sekolah.
“Kamu
itu, mau tahu ... saja. Biasalah, begitu papaku berangkat kerja aku balik
menyelinap kamar. Kembali tidur, Bro ...,” jawab Rio sambil tertawa ngakak.
“Halah
... kamu ini tidak niat sekolah,” ganti Jack mengolok Rio.
Sambil
ganti baju, Jack berteriak pada bibi, “Bi, aku pergi ya..”
“Loh,
gimana to ini? Mas Jack kan belum makan ...,” kata bibi khawatir.
“Nggak
apa-apa, Bi ... nanti saja,” Jack berusaha menenangkan bibi.
Sejak
kecil kepengasuhan Jack dipercayakan pada bibi. Papanya malang-melintang dalam
bisnisnya. Antara Kediri dan Kalimantan untuk urusan perkayuan. Sedangkan
mamanya juga sibuk dengan urusan sosialnya. Karena itu belum tentu sebulan
sekali Jack bisa berbincang dekat dengan papa mamanya. Kalaupun bertemu hanya
sebatas formalitas untuk saling sapa. Tidak lain karena diburu waktu untuk
mengejar materi. Untuk itu Bos Anton meminta bibi tinggal di rumahnya bersama
puteranya yang bernama Ahmad. Suami bibi meninggal sejak Ahmad berusia dua
tahun karena sakit.
Bibi
tinggal di rumah belakang bersama Ahmad yang sekarang kelas 12. Bibi memang
baik. Jika Bos Anton dan isterinya keluar kota, tidak jarang Jack lebih nyaman
tidur bersama bibi dan Ahmad. Mereka saling menyayangi bagaikan keluarga
sendiri.
Jack
dan Ahmad berbeda komunitas. Jack sekolah di SMP favorit yang terkenal mahal.
Teman-temannya dari kalangan orang berduit.
Mayoritas antar-jemput mobil saat ke sekolah. Ada pula yang membawa motor mahal
meskipun sebenarnya usia mereka belum cukup untuk bisa berkendara sendiri. Demikian juga Jack, jika
bosan diantar sopir maka dia membawa motor
gedenya ke sekolah. Sedang Ahmad sekolah di madrasah aliyah negeri. Komunitasnya
pun menyesuaikan lingkungan warga madrasah. Bersyukur Bos Anton menyediakan
fasilitas motor lama yang tidak terpakai.
Jelang
maghrib Jack belum juga pulang. Bibi khawatir dan meminta Ahmad untuk menelepon
Jack. Namun berkali-kali ditelepon tidak ada jawaban. Bibi dan Ahmad sangat
khawatir. Takut kejadian yang lalu terulang kembali. Jack pernah tersangkut
masalah balap liar. Sehingga papanya harus memenuhi panggilan kepolisian. Bibi
takut dimarahi Bos Anton dan nyonya. Dianggap tidak bertanggung jawab lagi.
Membiarkan Jack bermain sesuka hati.
Ahmad
berinisiatif mencari ke rumah teman-teman dekat Jack. Hasilnya nihil. Ahmad
berusaha menenangkan ibunya yang sedang menangis. Padahal sebentar lagi Nyonya
Anton datang dari luar kota.
Tetiba
bibi melihat suatu onggokan di sofa ruang tamu yang lampunya redup. Bibi dan Ahmad
segera menyalakan lampu ruang tamu dan menghampiri onggokan tersebut. Dan ...
”Ba!”, suara dari onggokan sarung mengejutkan.
“Ha
.. ha.. ha ..,” Jack tertawa.
“Astaghfirullah
...,” bibi mengucap dengan gemetar.
“Ma
syaa Allah .... kamu ini membuat orang panik saja, Dik..!! Hadeehh,” ucap Ahmad
sambil geleng-geleng kepala.
“Asik
... asik ... Kena semua deh! ha .. ha .. ha ..,” Jack merasa senang bisa
mengerjai bibi dan Ahmad.
Bibi
dan Ahmad menyimak penjelasan Jack bahwa dia terpaksa naik angkot untuk
melarikan diri dari teman-temannya. Setelah Jack ditraktir makan, Rio memanggil
teman-temannya untuk bergabung. Di situlah awal kejadian yang mencurigakan. Rio
menelan obat pusing katanya. Namun masih ada persediaan obat dalam sakunya.
Setengah memaksa Rio menawarkan kepada Jack. Tentu saja Jack menolak karena
tidak merasa sakit apa-apa. Rio meyakinkan bahwa teman-temannya pernah memakai
dan merasa nyaman saja. Alasan ini diiyakan oleh teman-temannya.
Karena
merasa terdesak Jack mencari alasan untuk menghindar. Jack pamit ke kamar kecil.
Mengendap-endap menuju samping warung dan ke gang-gang kecil. Jack lari menuju
jalan raya dan memanggil gojek. Di perjalanan ponsel Jack berdering terus.
Rupanya Rio mencari-cari Jack.
Jack
sampai rumah ketika bibi dan Ahmad sedang sholat. Jack mandi dan menunaikan
sholat maghrib kemudian. Saat tahu bibi dan Ahmad panik mencari Jack, keisengannya
muncul. Dia meringkuk di shofa dengan mengarungkan sarung ke tubuhnya.
Mereka
tertawa terpingkal-pingkal. Bibi dan Ahmad yang semula sedih seakan lupa akan kekhawatiran tadi. Sampai tak
terasa waktu hampir pukul sembilan malam. Nyonya Anton tiba, Ahmad membukakan
pintu sambil masih tertawa cekikikan.
“Wah
asik sekali. Ada apa nih,?” Nyonya Anton penasaran.
“Nahhh
mama kepo kan,?” Jack ngeledek mamanya. “Sini, Ma ... aku mau cerita,“
lanjutnya.
“Iya ...
mama mau mandi dulu. Tapi mama cape dan ngantuk,” kata Nyonya Anton langsung
masuk kamar.
Mereka
bertiga melanjutkan ngobrol sambil makan. Meski di dalam rumah sudah tersaji
menu makan keluarga. Jack memilih makan di belakang. Sambil menunggu mamanya
selesai bebersih diri.
Berkali-kali
Jack menengok dalam rumah, mamanya belum juga tampak. Jack ingin segera
menyampaikan kejadian siang sampai malam ini. Pikir Jack mamanya akan senang
dengan keberaniannya menolak ajakan teman-temannya tadi. Kembali Jack mengetuk
pintu kamar mamanya namun hanya ada sahutan dari dalam kamar bahwa mamanya lelah.
Jack kecewa dan kembali ke kamar. Dentang jam dinding berbunyi sebelas kali,
Jack belum bisa memejamkan mata.
“Tok
...tok ... tok.. Mas.. Bi ...,” Jack berharap ada yang membukakan pintu.
Beberapa
saat pintu baru terbuka. “Kok belum tidur, Dik?” Ahmad heran dan menyilakan Jack
masuk.
“Aku
tidur sini saja, Mas,” Jack memohon.
“Loh,
bukannya ada mama, nanti kalau dimarahi bagaimana?” Ahmad khawatir.
“Sudahlah,
Mas ... biarkan aku di sini. Mama sudah tidur. Sedang mataku nggak bisa
dipejamkan,” jawab Jack.
“Okelah,
yuk segera tidur ya ... biar nanti bisa bangun malam,” ajak Ahmad.
“Ngapain
bangun malam,?” sambil menaikkan selimut Jack mencari tahu.
“Ya
sholat lah ... bila kita masih sehat dan sempat kita usahakan memperbanyak
ibadah kepada Allah,” Ahmad menjelaskan.
Sedikit
demi sedikit Ahmad menyampaikan ilmu yang didapat kepada Jack yang dianggap
sebagai adiknya. Baik ilmu agama maupun pengetahuan umum yang dia bisa. Ahmad
memahami bahwa Bos Anton dan isterinya kekurangan waktu untuk bisa mendidik
puteranya sendiri.
Sebagaimana
biasa, bila ada mamanya di rumah, Jack selalu bersama sopir. Mamanya berharap
agar Jack tidak capai dalam perjalanan. Jelang pulang sekolah sopir sudah ada
di depan sekolah. Menunggu hingga pukul dua siang. Jack belum tampak sedang
teman-temannya sudah habis. Pintu gerbang hendak ditutup oleh satpam. Sopir
segera menanyakan keberadaan Jack namun satpam menjawab bahwa di dalam sudah
tidak ada orang.
Sopir
menelepon Nyonya Anton tapi malah kena marah. Sopir bingung mencari di
sepanjang jalan menuju rumah. Belum menemukan juga. Nyonya Anton memaki-maki
sopir. Menganggap sopirnya bodoh tidak bisa dipercaya untuk mengawasi anak.
Tiba-tiba
ponsel Nyonya Anton berdering. Dari seberang terdengar suara Ahmad. Ahmad
menjelaskan bahwa dia ada di rumah sakit bersama Jack. Nyonya Anton panik
langsung minta sopir untuk mengantar ke rumah sakit. Dalam perjalanan Nyonya
Anton tidak berhenti memarahi sopir.
Nyonya
Anton langsung menuju IGD RSUD. Menghambur pada Jack yang tergeletak bersimbah
darah tidak berdaya. Nyonya Anton meminta Ahmad mengurusi administrasi dengan kamar
vip sebagai tempat rawat inap. Sementara Jack belum bisa diajak bicara karena
luka memar di kepala membuatnya pening.
Di
kamar rawat inap, Ahmad menceritakan kejadian siang itu. Saat melewati
persawahan Ahmad berhenti melihat kerumunan. Ahmad terkejut ternyata kerumunan
orang tersebut sedang menolong Jack yang terluka parah. Menurut saksi mata,
Jack dilempar dari sebuah mobil mewah berwarna merah. Jack muntah-muntah hingga
tidak sadarkan diri. Ahmad minta tolong warga mengantar ke rumah sakit.
Ahmad
baru ingat kejadian kemarin bahwa Jack melarikan diri dari ajakan teman-teman
gengnya. Kemungkinan teman-temannya marah pada Jack. Jack mengiyakan penjelasan
Ahmad. Nyonya Anton menangis dan bersiap melapor polisi. Namun Jack mencegah.
Jack takut akan pembalasan yang lebih parah. Jack diancam oleh komplotan
teman-temannya yang tidak baik. Nyonya Anton menelepon suaminya yang masih ada
di Kalimatan. Dari sana Bos Anton menghubungi polisi. Menyerahkan urusan Jack
ke kepolisian. Sedangkan Nyonya Anton membatalkan jadwal kegiatan bersama
teman-temannya karena ingin menunggui anaknya di rumah sakit.
Berangsur
Jack sembuh hingga bisa mengikuti ujian demi ujian di sekolahnya. Demikian juga
ujian nasional dilalui dengan lancar. Sedang teman-teman yang mencederainya
mengerjakan ujian nasional di ruang tahanan.
***
Saat Bos Anton di rumah dan bersantai dnak Sholengan mamanya, Jack mengungkapkan keinginannya.
“Papa,
aku ingin sekolah di madrasah aliyah,” kata Jack.
“Hai!
Mimpi apa kau, Nak,?” Bos Anton bertanya heran.
Tidak
kalah sewot, mamanya juga nyeletuk, “Mau jadi apa kamu nanti, apa mau jadi
ustad? Sekolah favorit banyak. Biaya mahal tidak masalah. Kamu harus meneruskan
bisnis papamu nanti. Setelah SMA kamu harus kuliah di perguruan tinggi terbaik.
Kalau perlu ke luar negeri. Papamu tuh cari uang buat kamu, tahu,!” Nyonya
Anton emosi.
“Mama
yang sabar dong .. jangan marah-marah kayak gitu ..,” Bos Anton meminta.
Jangankan
diam dan bersabar, isterinya justru berteriak memanggil bibi dan Ahmad dari
pintu samping.
Bibi
dan Ahmad ketakutan karena sudah hapal dengan nada suara tinggi nyonyanya.
Mereka saling bertanya tentang kemarahan apa yang akan dilontarkan. Begitu bibi
dan Ahmad duduk agak menjauh dari tuan mereka, Nyonya Anton langsung mendamprat
mereka.
“Ini
pasti ulah kalian ya! Membujuk Jack untuk bersekolah di madrasah. Nggak level
tahu! Kalau Ahmad sekolah di MAN tidak masalah karena memang lingkungan kalian
demikian. Sedangkan Jack? Mana mungkin dia sekolah madrasah. Di mana ku taruh
mukaku? Apa tanggapan teman-teman mama nanti? Heh! Ayo jawab!,” ungkapan marah
sang nyonya.
Sebelum
bibi dan Ahmad menjelaskan, Jack mendahului berbicara, “Tidak, Ma! Tidak ada
yang memengaruhiku. Bibi dan mas Ahmad tidak tahu apa-apa, Ma ... Ini
kehendakku sendiri”
“Halah,
tidak mungkin! Keseharianmu banyak bersama mereka. Kau jadi anak ndeso. Jangan membuat malu mama dan papa
dong, Jack. Jangan kau bela mereka!” Nyonya Anton emosi.
“Tidak,
Ma ... Sungguh! Sudahlah biarkan bibi dan mas Ahmad kembali ke belakang. Ini
tidak menyangkut mereka,” kembali Jack menyanggah mamanya.
Bos Anton
menengahi suasana yang memanas antara Jack dan mamanya.
“Sabar,
semuanya bisa didiskusikan dengan baik. Kita bicarakan satu per satu. Jangan
asal bicara, semua ada sebab dan musababnya,” kata Bos Anton bijak.
“Bagaimana,
Bi? Benarkah kalian memengaruhi Jack untuk sekolah di MAN,” tanya Bos Anton.
“Kami
tidak tahu apa-apa, Tuan. Tentu kami tidak berani memberikan saran tentang
sekolahnya Mas Jack,” jawab bibi sambil menoleh pada Ahmad.
Ahmad
mengangguk-angguk menyetujui jawaban ibunya. Sang nyonya tidak percaya begitu
saja. Hendak menyanggah jawaban bibi. Namun Bos Anton melarangnya dan
mempersilakan bibi dan Ahmad untuk kembali ke belakang.
Berlanjut
menanyakan penyebab Jack ingin melanjutkan sekolah di madrasah aliyah. Jack pun
menjelaskan bahwa dia bosan di sekolah umum. Tidak sedikit temannya yang
ugal-ugalan. Bahkan dampaknya sempat menyeret Jack ke rumah sakit. Jack trauma
dengan teman-temannya. Dia merasa salah bergaul.
Jack
ingin memperbaiki diri sebelum terlambat. Dia ingin memperdalam agamanya di madrasah aliyah. Jack merasa
kurang beragama. Dia merasa tenteram saat melihat bibi dan Ahmad berjamaah di
kamar mereka. Hal tersebut tidak pernah Jack dapatkan. Jack menangis karena
jarang bisa ngobrol dengan papa dan mamanya.
Bos Anton
terharu sementara sang nyonya terpaku di kursinya. Nyonya Anton diam seribu
bahasa. Bos Anton segera menghampiri Jack dan memeluknya.
“Anakku,
benarkah demikian? Maafkan papa, Nak ... papa terlalu sibuk mencari uang. Pikir
papa, papa mengorbankan waktu demi kebahagiaan keluarga. Yaitu dengan mencari
uang sebanyak-banyaknya,” ucap Bos Anton dengan menitikkan air mata.
Sambil
terisak, Jack berkata, “Maafkan aku, Papa ... Mama ... Jika keinginanku ini
membuat malu mama dan papa. Tapi kenapa harus malu? Papa dan mama tidak sempat
mengajari aku tentang agama. Karena itu aku akan belajar di madrasah”
Nyonya
Anton hanya diam, tidak menjawab sepata kata pun. Karena dalam hatinya masih
bergejolak. Tetap menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan di sekolah
favorit. Nyonya Anton telanjur berteman dengan isteri-isteri pengusaha. Yang nota bene kalangan orang berduit. Dengan keglamoran hidup dan
saling menjaga kegengsian hidup. Nyonya Anton menuju kamar, meninggalkan Jack
bersama papanya.
Entah
apa yang diperdebatkan antara Bos Anton dan isterinya hingga pada akhirnya Nyonya
Anton mulai luluh hatinya. Tidak lagi melarang-larang Jack untuk belajar
bersama Ahmad.
Tahun
ajaran baru dengan seragam baru, Jack menginjakkan kaki di kelas barunya. Kelas 10 di Madrasah Aliyah
Negeri. Dia berkenalan dengan teman-teman barunya.
“Assalamu’alaikum,
namaku Zaki,” Jack mengulurkan tangan.
“Alaikum
salam, aku Hamzah. Sepertinya aku kenal kamu deh, bukannya kau puteranya Bos
Anton. Kalau tidak salah, kamu Jack kan,?” Hamzah menerima uluran tangan Jack.
“Ssttt!
itu masa SMP ku, sekarang di MA aku gunakan nama asliku saja. Zaki, nama peninggalan kakekku,“ ucap Jack sambil
tersenyum.
“Hai..
aku Fatimah,” ucap seorang gadis dari bangku sebelah pintu dengan melambaikan
tangan.
Teman-teman
Jack begitu ramah. Hingga tidak terasa sudah memasuki tahun ke dua di MAN
tersebut. Jack alias Zaki merasa nyaman dengan lingkungan madrasah aliyahnya.
Gaya hidupnya disesuaikan dengan lingkungan teman-temannya. Tapi justru itu
membuat Jack lebih dikagumi. Dia dikenal sebagai little bos yang rendah hati.
Ahad
pagi rumah Bos Anton disibukkan dengan berbagai persiapan. Mereka mengadakan
syukuran dengan waktu terjadwal. Sekalian mensyukuri usia Jack yang sudah
mencapai 17 tahun. Pukul delapan sampai sepuluh untuk komunitas Bos Anton
beserta isterinya. Sedangkan pukul sebelas hingga dua belas untuk teman-teman
Jack. Keluarga Bos Anton merasakan keberkahan yang luar biasa semenjak mereka
semakin mendekatkan diri pada pencipta-Nya. Ada sentilan Tuhan atas keduniawian
mereka lewat peristiwa Jack yang lebih dulu hijrah. Mereka tidak lagi
disibukkan kegiatan di luar. Sehingga keakraban keluarga semakin terjalin.
Demikian juga keberadaan bibi dan Ahmad sangat mendukung atas kehijrahan
keluarga Bos Anton menjadi lebih religius.
“Assalamu’alaikum,
Om ... Tante ...,” Jack menyapa teman-teman papanya dengan mencium tangan
mereka.
“Loh,
ini Jack ya,?” tanya mereka.
“Perkenalkan
nama asli saya. Saya Zaki, Om ... Tante ...,” Jack menjelaskan kepada mereka
dengan sopan dan tersenyum.
Sembari
menikmati hidangan yang ada, teman-teman Bos Anton berkasak-kusuk. Terjadi
perubahan besar pada keluarga Bos Anton. Semua acara dikemas dalam bentuk
religi. Lantunan Al Qur an, hiasan-hiasan rumah yang dulu berupa patung-patung
diganti relief-relief kaligrafi. Sungguh menyejukkan hati yang ada dalam
ruangan tersebut. Hingga mereka pulang dengan membawa kesan baik atas suasana
keluarga Bos Anton. Zaki, remaja anak bos kaya-raya yang sangat santun dan
ramah. Menjadi idola teman-teman Bos Anton dan nyonya. Meski tidak semua bisa
menerima perubahan keluarga Bos Anton yang menjadi demikian.
Giliran
teman-teman Jack datang. Mantan teman SMP dan teman-teman madrasah aliyah. Mantan
teman-teman SMP tercengang dengan suasana di rumah Jack. Tidak ada hura-hura di
ulang tahun Jack yang ke -17. Justru petuah-petuah ustadz keren, yang mereka
terima. Menjadikan mereka kikuk dalam acara tersebut. Namun Jack dengan ramah
dan rendah hati mengakrabi semua yang diundang.
Usai
sholat Isa’ berjamaah di mushola rumah, keluarga Bos Anton berkumpul di teras
belakang. Juga para asisten rumah tangganya. Mereka makan malam sambil melepas
penat. Mengevaluasi kegiatan menjamu para tamu. Jack mengucapkan terima kasih
kepada papa dan mamanya atas segala perhatian yang telah diberikan kepadanya. Sebaliknya,
papa dan mamanya juga mensyukuri kesholihan Jack. Sehingga menyadarkan orang
tuanya untuk kembali ke jalan yang benar. Tak lupa bibi dan Ahmad yang
mempunyai andil besar dalam kehidupan Jack dan keluarga Bos Anton. Karena itu
bibi dan Ahmad tidak lagi dianggap sebagai orang lain. Namun menjadi keluarga
yang bisa dipercaya dalam urusan rumah tangga.
“Ma,
boleh Zaki bertanya,?” Jack bertanya.
“Tanyalah,!”
jawab mamanya.
“Maaf
ya, Ma ... Kira-kira mama masih malu nggak tentang aku yang sekolah di
madrasah,?” tanya Jack.
“Tidak,
Nak ... mama sudah sadar. Bahwa madrasah yang selama ini mama dan teman-teman
mama anggap sebagai sekolah yang ndesa
ternyata bisa membentuk karaktermu yang demikian baik. Juga Mas Ahmad yang
waktu lalu mama anggap terlalu culun namun begitu sholih. Taat menjalankan
perintah Tuhan juga berbakti pada orang-orang di sekitarnya. Luar biasa kalian,
menjadikan rumah kita semakin tenteram. In syaa Allah makin banyak keberkahan
untuk kita. Begitu kan, Bi,?” nyonya menguatkan penjelasan sambil tersenyum
pada bibi.
“Iya,
Nyonya ... Alhamdulillah... rumah ini seakan surga di dunia. Semoga Allah
selalu melindungi kita dalam kesehatan dan keselamatan lahir batin,” jawab
bibi.
Suasana
dikejutkan dengan nada dering ponsel di bawah pot bunga. Jack dan Ahmad menuju
ke sumber suara. Ternyata sebuah ponsel bercassing
bunga-bunga. Mereka mengecek, yang baru saja menelpon tercantum nama “bunda”.
Mereka penasaran, membuka identitas pemilik ponsel.
“Siapa
pemiliknya, Zaki?” tanya papa.
“Wah,
ternyata milik Fatimah,” kata Jack sambil tersenyum.
“Cie...
Fatimah ni ye...,” ledek Ahmad.
“Memangnya
siapa si Fatimah,?” tanya nyonya.
“Mama,
boleh ya... aku antar ponsel ini ke
rumahnya,?” tanya Jack.
“Pertanyaan
mama belum dijawab kok sudah tanya begitu. Ngantarnya besok saja. Sekarang
sudah malam, nggak baik keluar malam. Apalagi ke rumah cewek, “ kata nyonya.
Jack
masih terdiam, Ahmad segera menjelaskannya. Bahwa Fatimah adalah teman
sekelasnya. Rupanya Jack tertarik padanya karena Fatimah sangat santun dan baik
hati.
“Wah...
anak mama rupanya sudah mulai jatuh hati ya? Kamu suka gadis sar’i ya, Jack”
mamanya tersenyum.
“Za....ki!
Zaki, Mama! Bukan Jack. Seorang Jack yang dulu mungkin menertawakan gadis
berjilbab. Tapi sekarang aku adalah Zaki. Tentu penilaianku sekarang berbeda
dong, Mamaku yang cantik....,” Jack menjelaskan dengan tersipu.
Keluarga
Bos Anton melanjutkan candaan mereka hingga tak terasa hari sudah larut malam. Mereka
segera membubarkan diri ke tempat peristirahatan masing-masing. Tentu dengan
impian masing-masing.
Pagi
sekali Jack berpamit ke sekolah. Tidak lupa membawa ponsel yang akan
dikembalikan kepada pemiliknya.
“Ini
ponselmu tergeletak di bawah pot bunga,” Jack menyerahkan kepada Fatimah.
“Oh,
masyaa Allah... terima kasih, Jack... aku mencari ke mana-mana,” teriak Fatimah
sambil menangkupkan kedua tanggannya di depan dada.
“Hustttt
jangan panggil aku Jack! Sudah ku katakan, aku adalah Zaki,!” Jack meluruskan.
“Baiklah,
terima kasih, Zaki,” Fatimah meralat sambil tersenyum.
Dalam
hati, Jack berdoa agar suatu saat diberikan pasangan terbaik dari madrasahnya. Karena
Jack yakin madrasah merupakan pembuka jalan menuju surga. Untuk orang tua,
orang-orang terkasih, dan keluarganya kelak.
Azaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar