Cerpen Anak
KALAU
BOLEH MEMILIH
(Luluk
Nur R.)
“Adik-Adik, dengan
terpaksa Pinru dan Wapinru, hari ini juga harus keluar dari anggota! Bla… bla…
bla….” Ucap kakak pembina. Seketika pucat wajahku dan tangisan seluruh anggota
Pramuka Siagaku seakan tidak bisa berhenti. Kupeluk teman-temanku. “Aku pulang
dulu ya…”, aku berpamitan kepada teman-temanku yang masih menunggu jemputan
orang tua masing-masing. Teman-teman, baik tim olimpiade maupun anggota Pramuka
berpesan: “Jangan menangis ya, Bil...” Semoga
besok ada jalan keluar.
Di perjalanan mamaku
menanyakan kegiatan yang kuikuti hari itu. Ya…hari Jumat biasanya aku berlatih
Pramuka. Namun beberapa minggu ini ada perubahan jadwal pembinaan olimpiade,
yang sebelumnya diadakan hari Rabu menjadi bersamaan dengan jadwal Pramuka. Hal
ini membuat anggota Pramuka yang juga masuk dalam tim olimpiade menjadi bingung.
Kami berpikir bahwa dua kegiatan itu sama-sama penting. Makanya hari Jumat itu kami
masuk pembinaan olimpiade.
Aku menjawab pertanyaan
mama hampir tak bersuara: “Nabila sekarang bukan anak Pramuka lagi, Ma.”
“Lo… kenapa?”, tanya mama.
“Ini, Ma… Kakak Pembina
meminta anggota Pramuka yang merangkap tim olimpiade supaya mengundurkan diri”,
kataku dengan suara parau karena menahan tangis. “Nabil kan masih kelas lima, Ma.
Seharusnya masih ada kesempatan, minimal satu semester ini… saja. Nabil belum
siap mental. Meskipun capai, Nabil nyaman kok bersama teman-teman Pramuka. Ini
namanya pemecatan! Ma”, tangisku meledak.
“Sabar ya, Nak. Mungkin
ini salah paham saja. Memang, mungkin ada benarnya. Olimpiade Bahasa Inggrismu
waktu lalu jatuh. Sehingga sekolah menyalahkan Pramukamu. Tapi baiklah, nanti kita
bicarakan di rumah”, mama menghiburku.
Sore itu aku tidak
segera mengambil piring untuk makan tambahan seperti biasanya. Aku menutup diri di kamar sambil menangis. Kupandangi
foto-foto lomba kepramukaan yang kuikuti di mana-mana. Lumayan banyak prestasi
yang kami peroleh. Ini berkat kegigihan Kakak Pembina yang begitu tulus dalam
membina kelompok Pramuka sekolahku, yaitu SD Anugerah. Tak heran banyak
sekolah-sekolah lain mengenal tentang “SD Anugerah” karena kehandalan
Pramukanya.
Kejadian demi kejadian
waktu lomba tingkat kabupaten maupun propinsi terlintas di pikiranku. Ada
kejadian, tengah malam aku menjerit-jerit ketakutan karena di kepalaku ada
sesuatu yang melingkar. Lunak sebesar ibu jari kaki. Kukibas-kibaskan dengan
tangan tak jua mau pergi. Akhirnya teman-temanku mengambil senter untuk
melihat, binatang apa yang sebenarnya menggangguku.
“Ha… ha… ha…Nabil… Nabil…”,
teman-temanku tertawa terbahak-bahak karena yang ada di kepalaku ternyata tali
rambut milik Aura, teman di sebelahku. Aku tersenyum ingat kejadian itu. Juga teringat waktu masak nasi di bawah
pohon, ehhh ada ulat yang terjatuh dalam adonan nasi. Untuk yang ini, rahasia
deh… hanya aku dan Oci yang tahu. Untung teman-teman masih ada kegiatan. Kalau tahu, waduuuh dijamin tak ada yang mau makan. Aku
jadi geli sendiri. Lalu kubuka laptop yang berisi gambar-gambar maupun video
lomba-lomba Pramuka, termasuk waktu aku menerima piala dari panitia.
Piala demi piala
kuamati satu per satu, namun ucapan kakak pembina tadi mengganggu pikiranku
lagi, kembali air mataku tumpah. “Akankah kegiatanku bersama teman-teman
berakhir begini saja… mendadak lagi! Aku belum siap dengan keputusan ini”. Baru
saja kami menggondol piala, meskipun hanya juara ketiga tingkat propinsi. Tapi
aku sudah bertekad dan berjanji, bahwa aku dan teman-teman akan berjuang untuk
meraih juara pertama. Semboyan-semboyan kepramukaan kupajang berderet-deret di
kamarku, demi penyemangat belajar dan kejayaan Pramuka SD Anugerah.
Tok! Tok! Tok! Mama masuk
ke kamar: “Sholat dulu, Nabila… asyarnya sudah hampir habis nih. Berdoalah!
minta petunjuk pada Allah agar diberi ketenangan. Nanti mama akan menghubungi
kakak pembina untuk konfirmasi. Oke, Cantik… senyum dulu dong!”
Sambil menunggu aku
mandi dan sholat, ternyata mama mengirim pesan pendek ke kakak pembina Pramuka untuk menanyakan
kebenaran berita. Langsung dijawab oleh kakak pembina bahwa sepulang dari suatu
urusan nanti, kakak pembina akan datang ke rumah untuk penjelasan lebih lanjut.
Akhirnya kakak pembina
datang untuk meluruskan permasalahan. “Begini, Bu… sebenarnya berat saya
mengungkapkannya. Akhir-akhir ini prestasi tim olimpiade menurun, setiap mengikuti
olimpiade belum bisa membawa hasil yang memuaskan. Apalagi pelaksanaannya bersamaan
dengan lomba-lomba Pramuka. Dua kegiatan ini sama-sama memerlukan waktu ekstra untuk pembinaan.
Kebetulan putri Ibu salah satu siswa yang merangkap kegiatan tersebut. Jadi,
waktu pembinaan olimpiade dia sering tidak datang karena mengikuti latihan
Pramuka. Inilah permasalahannya, sehingga kepala sekolah meminta anak-anak untuk memilih salah satu
kegiatan tersebut.” Kakak pembina menjelaskan duduk perkaranya.
Sambil mendengarkan
pembicaraan mama dan kakak pembina dari kamar, entah sudah berapa ratus kukirim
SMS curhat ke teman-teman maupun kakak-kakak alumni Pramuka. Ada yang simpati,
tetapi juga ada yang provokasi untuk memberontak ke sekolah. Yang jelas semua
menyayangkan dan memotivasi aku untuk tetap sabar dan tegar.
Spontan aku menghambur
menemui kakak pembina, papa, dan mama di ruang tamu. “Tapi, Kak, saya kan belum
bisa membawa kejuaraan untuk olimpiade Bahasa Inggris. Saya akan ikut Pramuka
saja sampai habis masa bakti pada kelas enam nanti. Ini tidak adil, Kak.
Keputusan ini terlalu mendadak”, selorohku agak emosional.
“Nabil.., dalam waktu
dekat ini kan ada olimpiade lagi. Kamu dan teman-teman tim olimpiade sebaiknya
fokus belajar untuk bidang studi masing-masing. Kamu belajar soal-soal Bahasa
Inggris, Dani belajar IPA, sedangkan Yuna belajar Matematika. Kalau sudah
selesai olimpiade dan kita tahu hasilnya, baru kita musyawarah lagi bersama
bapak kepala sekolah”, kakak pembina menjelaskan.
Masih dengan
penyesalan, aku menyetujui apa yang disampaikan oleh kakak pembina. Lama kami
membahas masalah ini, apalagi papa ikut nimbrung. Juga kakakku yang alumni
Pramuka SD Anugerah. Kami sekeluarga yang pecinta Pramuka mendukung bagaimana
keputusan yang terbaik untuk kemajuan Pramuka.
Sepulang kakak pembina,
aku tidak bisa belajar dengan tenang. Masih tersisa kegelisahan, aku berdoa
pada Allah agar kakak pembina dan bapak kepala sekolah mencabut keputusan ini.
Dulu aku dipaksa-paksa orang tuaku untuk ikut Pramuka, sekarang jiwaku sudah
mulai menyatu dengan kepramukaan. Ternyata berakhir dengan kekecewaan.
Mampukah aku membawa
nama baik SD Anugerah dengan olimpiadeku nanti. Bukan berarti aku tak mau
berusaha, namun aku tak yakin dengan kemampuanku. Dan kalau boleh memilih,
pasti aku akan menjatuhkan pilihan kembali ikut meramaikan dunia Pramuka. Seperti
kakakku juga. Apalagi Pramuka sekarang kurang
peminat karena tergerus oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat modern. Lalu siapa
lagi yang mau menghidupkan kejayaan Pramuka kalau bukan aku dan teman-teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar