Selasa, 28 Agustus 2012

Cerpen Anak


Cerpen Anak
Runtuhnya Kesombongan
“Uli berangkat Bu, doakan menang ya..”. pamit Uli kepada ibunya sewaktu hendak berangkat lomba pidato di kecamatan.” Pokoknya doakan dapat juara satu lo Bu!”, rengek Uli kepada ibunya. “Iya, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anak ibu. Tapi tidak baik Nak, selalu berharap dapat juara satu. Yang penting kamu sudah berusaha agar menjadi lebih baik, biarlah Tuhan yang menentukan segalanya”, nasihat ibu kepada Uli.
“Iya sih Bu, tapi Uli kan sudah sering dapat juara di kecamatan dan kabupaten, masak sekarang kembali di tingkat kecamatan Uli tidak dapat juara, Uli kan malu Bu…”,Uli masih bisa menjawab. “Terserah kamu saja..lakukan yang terbaik, kalau ada apa-apa kan ada guru yang menemanimu”, kata ibu.
Uli, gadis kelas 5 dengan segudang prestasi. Ia punya banyak bakat di bidang kesenian, kepramukaan, olah raga sampai bidang keagamaan. Bakat yang diperoleh dari ayahnya yang seorang musikus dan ibunya yang seorang guru bahasa Indonesia di SMA. Ayah dan ibu selalu membimbing Uli dalam menekuni kegiatan ekstranya di luar sekolah. Ayah membimbing Uli dalam hal menyanyi sedangkan ibu membimbing dalam hal kebahasaan ataupun kesastraan.
Uli sering menjuarai lomba-lomba yang diadakan di sekolah ataupun di kecamatan dalam berbagai acara. Bahkan sudah merambah kabupaten untuk bidang menyanyi dan pidato. Saat ini Uli hendak lomba pidato di kecamatan. Dengan penuh keyakinan dan berbekal pengalaman sering menjuarai , Uli berbaur dengan peserta lain di pendapa kecamatan. 
“Aku kan sudah terbiasa lomba dengan materi yang ditentukan oleh panitia, sehingga harus berimprovisasi dalam waktu yang singkat. Padahal sekarang materinya bebas, ah kecil..aku pasti bisa, aku pasti menang. Apalagi ini hanya tingkat kecamatan”, pikir Uli sambil menunggu nomor pesertanya dipanggil.
Akhirnya tiba juga waktu Uli untuk maju. Uli berdoa agar menjadi juara satu, ia melangkah pasti.. Ia pun menyampaikan pidato dengan penuh percaya diri. Tepuk tangan para penonton membuat Uli bangga dan tersenyum bahagia. Puas dengan hasil pidatonya, Uli bersama pak guru segera meninggalkan tempat lomba meskipun belum tahu hasil penilaiannya. Tapi Uli yakin seratus persen bahwa dia pasti dapat juara pertama. Sekarang Uli hendak menghadiri undangan menyanyi di kantor Dinas kecamatan. Namun sial, tiba-tiba tenggorokannya Uli gatal, sehingga batuk pun tidak dapat dihindari. Uli minta maaf kepada peserta rapat dan segera menghambur keluar bersama pak guru. Uli tidak berani menoleh lagi kepada para peserta rapat.
Sampai di rumah Uli menceritakan bahwa waktu menyanyi ada kejadian yang membuat malu, yaitu batuk –batuk pada waktu nada tinggi. Mungkin ini peringatan dari Tuhan, karena Uli sering meremehkan untuk berlatih. Uli terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Atas peristiwa itu Uli cepat pulang. Tetapi setelah ditanya ibu tentang lomba, Uli antusias menjawab, “Oh kecil Bu..pesertanya hanya tingkat antarsekolah sekecamatan, paling akulah sang juara”, jawab Uli seakan-akan kesedihan tadi sudah terlupakan setelah membicarakan lomba. “Ya mudah-mudahan saja, sudah sana! solat Dzuhur terus makan dan istirahat”, kata ibu sambil menidurkan adik.
“Selamat Uli, kamu mendapat juara dua, dan inilah hadiahnya”, kata bapak Kepala Sekolah keesokan harinya. “Lo, apakah tidak keliru Pak!, masak saya mendapat juara dua. Ini kan tingkat kecamatan. Sedangkan saya sudah jadi  juara kabupaten”, sela Uli seakan-akan tidak terima dengan hasil yang diperolehnya. “Huu……”. sorak teman-temannya. Teman-teman Uli sudah hafal dengan sifat Uli yang sok percaya diri dan sedikit sombong.
“Sudahlah Uli, alhamdulillah kamu masih dapat juara dua. Bukankah generasi baru juga akan selalu bermunculan. Apalagi lembaga pendidikan sekarang bertebaran di mana-mana. Jadi tidak heran jika bermunculan wajah-wajah baru.”, nasihat bapak Kepala Sekolah.
Rasa kecewa Uli terbawa sampai di rumah. Ayah dan ibu berusaha menasihati agar Uli tidak patah semangat dan selalu belajar agar kemampuannya terasah terus. Ayah menghendaki agar Uli pandai bersyukur terhadap apa yang diperoleh. Juga belajar  menerima kenyataan agar tidak menjadi orang yang sombong. Tuhan tidak suka kepada manusia yang sombong. Tuhan tidak akan menambah nikmat kepada orang yang tidak pandai bersyukur.
Dua minggu sudah, Uli telah melupakan kekecewaannya atas prestasi yang dia peroleh. Uli kembali ceria bersama teman-temannya.. Di saat pelajaran berlangsung, bapak Kepala Sekolah masuk ke kelas untuk memberitahukan bahwa SDN Asa Maju, tempat Uli bersekolah mendapat surat dari kabupaten. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa SDN Asa Maju diharap mengirimkan Uli untuk mengikuti lomba pidato tingkat propinsi. Karena Uli telah menjadi juara kabupaten. Teman-teman Uli bertepuk tangan menyambut gembira. Bapak Kepala Sekolah berpesan bahwa kalah dan menang dalam perlombaan adalah hal yang biasa.
Uli menunggu giliran maju lomba pidato ditemani ibu dan bu Indi guru bahasa Indonesia. Sebelum tampil Uli berbisik kepada ibu dan bu Indi, minta  agar didoakan  mendapat juara satu. Keduanya hanya mengangguk untuk memberikan motivasi kepada Uli.
Dengan hati mantab, Uli berusaha dengan sebaik-baiknya menyampaikan pidato.Uli yakin kali ini pasti menjadi yang terbaik karena waktu yang ada dimanfaatkan betul-betul untuk berlatih. Uli menunggu dengan gusar sampai peserta habis. Tidak lupa masih selalu meminta kepada Tuhan untuk hasil yang terbaik, yaitu juara satu.
Saat yang paling mendebarkan, yaitu pengumuman pemenang. Uli mendengarkan  mulai dari juara harapan tiga sampai satu, namanya belum disebut. “Wah selamat aku tidak masuk dalam juara harapan”, pikirnya.
Panitia membacakan,” Juara ketiga diperoleh nomor undian enam!”. Semua tepuk tangan. ‘Juara kedua disandang oleh nomor undian ….sembilan belas!, dan inilah juara pertama kita, nomor undian….jantung Uli semakin berdetak kencang, dia yakin menjadi juara pertama karena nomor undiannya belum disebut sama sekali. Panitia mengulangi lagi untuk membuat penasaran hadirin.
“Inilah…juara pertama…dengan nomor undian…dua..puluh ti..ga..!!”, tepuk tangan yang meriah itu seakan tidak terdengar di telinga Uli. Uli tidak percaya, ia melihat kembali nomor di dadanya. “Hah, nomorku dua puluh dua”, Uli terpaku, lemas, pucat dan memeluk ibu. Bu Indi guru bahasa Indonesia menghibur, “Tidak apa-apa Uli, masih ada kesempatan untuk berlatih. Penampilanmu tidak jelek, tapi memang peserta hari ini bagus-bagus. Dan kamu sudah dapat pengalaman yang cukup berarti”. Uli diam seribu bahasa sampai di rumah. Sewaktu ditanya ayah, Uli menangis sejadi-jadinya.
“Uli menyesal Ayah, selama ini Uli sudah merasa menjadi orang nomor satu. Uli selalu berdoa agar mendapat juara satu. Rupanya Tuhan memperingatkan sikapku yang sombong ayah, sehingga  tidak memberikan satu pun kejuaraan padaku, meskipun hanya juara harapan tiga.  Yang paling membuatku sadar, yaitu ternyata selama ini hatiku dibutakan oleh istilah “juara”. Padahal juaranya seorang tunanetra Ayah. Aku malu sekali, malu kepada Tuhan. Aku sadar di balik kekurangan orang lain ternyata tersimpan kelebihan yang luar biasa”, kata Uli terbata-bata.
“Memang Tuhan itu adil Uli, karena itu jangan meremehkan kemampuan orang lain”, kata ayah. Sejak peristiwa itu Uli lebih giat belajar dalam hal apapun. Dia membuat jadwal kegiatan sehari-hari yang harus dipatuhi sendiri. Tidak lupa belajar menghargai orang lain. Karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda.

                                                                                                         oleh:
                                                                                         Dra.  Luluk Nur Rohmawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...