Cerpen Anak
Runtuhnya Kesombongan
“Uli berangkat Bu, doakan menang ya..”. pamit Uli kepada
ibunya sewaktu hendak berangkat lomba pidato di kecamatan.” Pokoknya doakan
dapat juara satu lo Bu!”, rengek Uli kepada ibunya. “Iya, ibu selalu mendoakan
yang terbaik untuk anak ibu. Tapi tidak baik Nak, selalu berharap dapat juara
satu. Yang penting kamu sudah berusaha agar menjadi lebih baik, biarlah Tuhan
yang menentukan segalanya”, nasihat ibu kepada Uli.
“Iya sih Bu, tapi Uli kan
sudah sering dapat juara di kecamatan dan kabupaten, masak sekarang kembali di tingkat
kecamatan Uli tidak dapat juara, Uli kan
malu Bu…”,Uli masih bisa menjawab. “Terserah kamu saja..lakukan yang terbaik,
kalau ada apa-apa kan
ada guru yang menemanimu”, kata ibu.
Uli, gadis kelas 5 dengan segudang prestasi. Ia punya banyak
bakat di bidang kesenian, kepramukaan, olah raga sampai bidang keagamaan. Bakat
yang diperoleh dari ayahnya yang seorang musikus dan ibunya yang seorang guru
bahasa Indonesia di SMA. Ayah dan ibu selalu membimbing Uli dalam menekuni
kegiatan ekstranya di luar sekolah. Ayah membimbing Uli dalam hal menyanyi
sedangkan ibu membimbing dalam hal kebahasaan ataupun kesastraan.
Uli sering menjuarai lomba-lomba yang diadakan di sekolah
ataupun di kecamatan dalam berbagai acara. Bahkan sudah merambah kabupaten
untuk bidang menyanyi dan pidato. Saat ini Uli hendak lomba pidato di kecamatan.
Dengan penuh keyakinan dan berbekal pengalaman sering menjuarai , Uli berbaur
dengan peserta lain di pendapa kecamatan.
“Aku kan
sudah terbiasa lomba dengan materi yang ditentukan oleh panitia, sehingga harus
berimprovisasi dalam waktu yang singkat. Padahal sekarang materinya bebas, ah
kecil..aku pasti bisa, aku pasti menang. Apalagi ini hanya tingkat kecamatan”,
pikir Uli sambil menunggu nomor pesertanya dipanggil.
Akhirnya tiba juga waktu Uli untuk maju. Uli berdoa agar menjadi
juara satu, ia melangkah pasti.. Ia pun menyampaikan pidato dengan penuh
percaya diri. Tepuk tangan para penonton membuat Uli bangga dan tersenyum
bahagia. Puas dengan hasil pidatonya, Uli bersama pak guru segera meninggalkan
tempat lomba meskipun belum tahu hasil penilaiannya. Tapi Uli
yakin seratus persen bahwa dia pasti dapat juara pertama. Sekarang Uli
hendak menghadiri undangan menyanyi di kantor Dinas kecamatan. Namun sial, tiba-tiba tenggorokannya
Uli gatal, sehingga batuk pun tidak dapat dihindari. Uli minta maaf kepada
peserta rapat dan segera menghambur keluar bersama pak guru. Uli tidak berani
menoleh lagi kepada para peserta rapat.
Sampai di rumah Uli menceritakan bahwa waktu menyanyi ada
kejadian yang membuat malu, yaitu batuk –batuk pada waktu nada tinggi. Mungkin
ini peringatan dari Tuhan, karena Uli sering meremehkan untuk berlatih. Uli
terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Atas peristiwa itu Uli cepat pulang.
Tetapi setelah ditanya ibu tentang lomba, Uli antusias menjawab, “Oh kecil Bu..pesertanya
hanya tingkat antarsekolah sekecamatan, paling akulah sang juara”, jawab Uli
seakan-akan kesedihan tadi sudah terlupakan setelah membicarakan lomba. “Ya
mudah-mudahan saja, sudah sana!
solat Dzuhur terus makan dan istirahat”, kata ibu sambil menidurkan adik.
“Selamat Uli, kamu mendapat juara dua, dan inilah hadiahnya”, kata bapak
Kepala Sekolah keesokan harinya. “Lo, apakah
tidak keliru Pak!, masak saya mendapat juara dua. Ini kan tingkat kecamatan. Sedangkan saya sudah
jadi juara kabupaten”, sela Uli
seakan-akan tidak terima dengan hasil yang diperolehnya. “Huu……”. sorak
teman-temannya. Teman-teman Uli sudah hafal dengan sifat Uli yang sok percaya
diri dan sedikit sombong.
“Sudahlah
Uli, alhamdulillah kamu masih
dapat juara dua. Bukankah generasi baru juga akan selalu bermunculan. Apalagi lembaga
pendidikan sekarang bertebaran di mana-mana. Jadi tidak heran jika bermunculan
wajah-wajah baru.”, nasihat bapak Kepala Sekolah.
Rasa kecewa Uli terbawa sampai di rumah. Ayah dan ibu
berusaha menasihati agar Uli tidak patah semangat dan selalu belajar agar
kemampuannya terasah terus. Ayah menghendaki
agar Uli pandai bersyukur terhadap apa yang diperoleh. Juga belajar menerima kenyataan agar tidak menjadi orang
yang sombong. Tuhan tidak suka kepada manusia yang sombong. Tuhan tidak akan
menambah nikmat kepada orang yang tidak pandai bersyukur.
Dua minggu sudah, Uli telah melupakan kekecewaannya atas
prestasi yang dia peroleh. Uli kembali ceria bersama teman-temannya.. Di saat pelajaran berlangsung, bapak Kepala Sekolah
masuk ke kelas untuk memberitahukan bahwa SDN Asa Maju, tempat Uli bersekolah
mendapat surat
dari kabupaten. Surat
itu berisi pemberitahuan bahwa SDN Asa Maju diharap mengirimkan Uli untuk
mengikuti lomba pidato tingkat propinsi. Karena Uli
telah menjadi juara kabupaten. Teman-teman Uli bertepuk tangan menyambut
gembira. Bapak
Kepala Sekolah
berpesan bahwa kalah dan menang dalam perlombaan adalah hal yang biasa.
Uli menunggu giliran maju lomba pidato ditemani ibu dan bu
Indi guru bahasa Indonesia.
Sebelum tampil Uli berbisik kepada ibu dan bu Indi, minta agar didoakan mendapat juara satu. Keduanya hanya mengangguk
untuk memberikan motivasi kepada Uli.
Dengan hati mantab, Uli berusaha dengan sebaik-baiknya menyampaikan
pidato.Uli yakin kali ini pasti menjadi yang terbaik karena waktu yang ada
dimanfaatkan betul-betul untuk berlatih. Uli menunggu dengan gusar sampai
peserta habis. Tidak lupa masih selalu meminta kepada Tuhan untuk hasil yang
terbaik, yaitu juara satu.
Saat yang paling mendebarkan, yaitu pengumuman pemenang. Uli
mendengarkan mulai dari juara harapan
tiga sampai satu, namanya belum disebut. “Wah selamat aku tidak masuk dalam
juara harapan”, pikirnya.
Panitia membacakan,” Juara ketiga diperoleh nomor undian
enam!”. Semua tepuk tangan. ‘Juara kedua disandang oleh nomor undian ….sembilan
belas!, dan inilah juara pertama kita, nomor undian….jantung Uli semakin
berdetak kencang, dia yakin menjadi juara pertama karena nomor undiannya belum
disebut sama sekali. Panitia mengulangi lagi untuk membuat penasaran hadirin.
“Inilah…juara pertama…dengan nomor undian…dua..puluh ti..ga..!!”,
tepuk tangan yang meriah itu seakan tidak terdengar di telinga Uli. Uli tidak percaya,
ia melihat kembali nomor di dadanya. “Hah, nomorku dua puluh dua”, Uli terpaku,
lemas, pucat dan memeluk ibu. Bu
Indi guru bahasa Indonesia
menghibur, “Tidak apa-apa Uli, masih ada kesempatan untuk berlatih.
Penampilanmu tidak jelek, tapi memang peserta hari ini bagus-bagus. Dan kamu sudah dapat pengalaman yang cukup berarti”.
Uli diam seribu bahasa sampai di rumah. Sewaktu ditanya ayah, Uli menangis
sejadi-jadinya.
“Uli menyesal Ayah, selama ini Uli sudah merasa menjadi orang
nomor satu. Uli selalu berdoa agar mendapat juara satu. Rupanya Tuhan
memperingatkan sikapku yang sombong ayah, sehingga tidak memberikan satu pun kejuaraan padaku,
meskipun hanya juara harapan tiga. Yang
paling membuatku sadar, yaitu ternyata selama ini hatiku dibutakan oleh istilah
“juara”. Padahal juaranya seorang tunanetra
Ayah. Aku malu sekali, malu kepada Tuhan. Aku sadar di balik kekurangan orang
lain ternyata tersimpan kelebihan yang luar biasa”, kata Uli terbata-bata.
“Memang
Tuhan itu adil Uli, karena itu
jangan meremehkan kemampuan orang lain”, kata ayah. Sejak peristiwa itu Uli
lebih giat belajar dalam hal apapun. Dia membuat jadwal kegiatan sehari-hari
yang harus dipatuhi sendiri. Tidak lupa belajar menghargai orang lain. Karena
pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda.
oleh:
Dra. Luluk Nur
Rohmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar