Berbagi Perhatian kepada Ibu (dan Ayah)
Peringatan
hari ibu rupanya sudah bergeser dari makna yang sebenarnya. Dahulu R.A. Kartini
memperjuangkan persamaan derajat kaum wanita karena lelaki menganggap kaum
wanita hanya sebagai pelengkap kebutuhan rumah tangga. Demikian juga para tokoh
perempuan yang tergabung dalam beberapa organisasi menyuarakan aspirasinya
melalui Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tanggal 22 sampai 25 Desember
1928 di Yogyakarta. Mereka memperjuangkan hak-hak wanita untuk ikut “bersuara”
dalam segala urusan. Apalagi zaman penjajah memang menabukan wanita untuk ikut
terlibat dalam pemerintahan. Maka pada Konggres ketiga tanggal 23 sampai 28
Juli 1938 di Bandung, barulah ditetapkan peringatan “Hari Ibu” tersebut pada
tanggal 22 Desember.
Terlepas
dari sejarah tersebut, banyak kita jumpai ucapan “Selamat Hari Ibu” melalui
banyak media. Juga ucapan semua anak yang dituangkan melalui jejaring sosial,
seperti facebook, twitter, atau media yang lain. Tepatnya pada tanggal 22
Desember. Sudah tersampaikankah apa yang kita ucapkan tersebut kepada ibu
karena pada dasarnya kebanyakan orang tua tidak mengenal internet.
Bukan
ucapan, bukan materi, ataupun balas jasa yang ibu harapkan. Kita tak mungkin
membalas jasa ibu yang dengan susah payah melahirkan kita. Seberapa banyak
harta yang kita miliki tak bisa menebus apa yang ibu (dan ayah) berikan untuk
membesarkan anak-anaknya. Usaha membelikan rumah, emas, maupun kemewahan,
kepada ibu (dan ayah) namun mengabaikan perhatian adalah sia-sia.
Yang
ibu (dan ayah) pinta adalah ketulusan perhatian. Betapa bahagianya seorang anak
yang kebetulan bisa berada di dekat orang tua. Curahan perhatian kepada ibu
(dan ayah) tentu akan tersalurkan setiap saat. Namun bagaimana yang berumah
tangga kemudian bertempat tinggal yang jauh dari ibu (dan ayah). Kendala jarak
memang menjadi alasan yang tepat.
Apapun
dan bagaimanapun alasan jauh dari orang tua, masih bisa disiasati. Minimal
berhubungan melalui Short Massage Service (SMS) atau bertelepon. Betapa
bahagianya ibu (dan ayah) jika mendengar suara anaknya yang nun jauh di sana. Selama
tak bertemu, rindu yang mendalam hanya tersimpan dalam hati. Pasrah dengan
keadaan dan mereka hanya bisa menangis. Kalau waktu bisa diputar tentu mereka
menginginkan anak-anaknya berkumpul kembali seperti waktu masih kanak-kanak.
Semua
orang akan mengalami ketuaan. Seperti
ibu (dan ayah), kelak kita juga merasakan hal seperti ini. Kita juga
akan ditinggalkan anak-anak. Minimal ditinggal berumah tangga. Mereka tak lagi
milik kita, karena masing-masing sibuk dengan urusan keluarga barunya. Karena
itu sebisa mungkin orang tua memberikan pendidikan kepada anak-anak bagaimana
menghormati dan memberikan perhatian kepada orang tua.
Kebahagiaan
ibu (dan ayah) adalah jika anak-anaknya bisa berbagi perhatian. Apalagi para
cucu yang ikut mendukung bagaimana bapak dan ibunya menghormati neneknya. Agar
mereka kelak juga tahu bagaimana mereka harus bersikap kepada ibu (dan ayah) nya
setelah dewasa.
22 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar