Sambil
menungggu si bungsu selesai belajar di TPQ, aku berteduh di bawah
sebuah pohon. Masjid tempat anakku belajar sengaja menanam pohoh-pohon
yang tak aku ketahui jenisnya. Penanaman kira-kira dua tahun yang lalu.
Karena gerimis, aku memandang ke atas. Ternyata pohon yang masih belum
terlalu tinggi tersebut berbuah kecil-kecil. Ada yang masih hijau,
kuning, sampai ada yang merah. Kulihat ke bawah ternyata ada yang
berceceran di bawah.
“Pohon
apa ya?”, pikirku. Aku punguti buah yang tercecer di bawah. Persis buah
melinjo. Coba kukupas, ternyata… pikiranku segera melayang ke masa
kecilku. Karena aku selalu bermain dengan biji-biji ini yang dinamakan
dengan “kecik”.
“Kecik”
adalah bahasa Jawa yang berarti biji buah sawo. Namun tidak hanya kecik
sawo, biji-biji ini pun dinamakan kecik meskipun dari tanaman yang
bernama tanjung. Sehingga dinamakan dengan “kecik tanjung”. Nah ketemu
sudah jawabannya. Ternyata pohon itu adalah pohon tanjung. Sewaktu kecil
aku kesulitan mencari bahkan membeli kecik tanjung dari teman-teman.
Eh… ternyata sekarang di masjid ini menanam beberapa pohon tanjung.
Adalah
sebuah permainan tradisional pada tempo dulu. Kecik tanjung dipakai
bermain dengan nama permainan “enthik”. Khususnya permainan anak-anak di
Jawa. Entahlah, mungkin di daerah lain juga ada permainan semacam ini
meskipun dengan nama yang berbeda. Tak ada rotan akar pun jadi.
Berhubung kadang sulit mendapatkan kecik tanjung, maka kecik sawo pun
bisa dipakai. Akan tetapi kualitas kecik tanjung lebih berharga dari
pada kecik sawo. Bisa dikatakan bahwa kecik tanjung adalah KW1 sedangkan
kecik sawo adalah KW2.
Bermain
enthik bisa dilakukan dua orang atau lebih. Dengan masing-masing
bermodalkan beberapa puluh biji kecik tanjung. Modal kecik dijadikan
satu, kemudian antarpemain “suit”. Yang menang akan bermain lebih
dahulu. Diawali dengan bermain tebak-tebakan. Berapa biji kecik di
tangan kanan dan berapa biji kecik berada di tangan kiri. Jika penebak
benar, maka permainan diambil alih oleh penebak.
Mulailah
bermain enthik. Kecik tanjung disebar. Dengan jarak minimal setebal
jari, kecik bisa disentilkan ke kecik yang lain. Sentilan menggunakan
jari telunjuk atau jempol. Jika menyentuh kecik lain yang tidak disentil
maka permainan mati. Juga sentilan yang meleset juga akan mengakibatkan
pemain mati. Maka permainan akan dilanjutkan oleh giliran lawan main.
Nah, kecik-kecik yang berhasil disentil menjadi hak milik pemain.
Sisanya dimainkan lagi oleh lawan. Demikian seterusnya sampai kecik
habis.
Ada
yang memang pintar bermain enthik ini. Sampai-sampai jumlah kecik
tanjung yang dimiliki sangat banyak. Sehingga jika ada teman yang
memerlukan bisa membeli darinya. Ternyata jiwa bisnis telah tertanam
pada manusia sejak lama.
Aku
pun mencoba bermain dengan bungsuku. Karena tertarik, bapaknya juga
ikut-ikutan bermain. Maklum bapak orang kota yang kurang mengetahui
permainan-permainan tradisonal seperti aku yang orang desa. Ternyata
asik juga, bungsuku menikmati permainan ini. Kusarankan untuk
mengenalkan permainan ini kepada teman-temannya.
Tidak ada salahnya mengenalkan kembali permainan anak-anak tempo dulu kepada generasi
sekarang. Seperti halnya kukenalkan pada anakku tentang dakon, bola
bekel, karet, jamuran, gejlig/engkle, dan lain-lain. Wawasan anak pun
akan makin bertambah, tidak hanya mengenal game online saja. Karena
permainan tempo dulu membentuk karakteristik pada anak-anak. Yaitu: jiwa
bersosial, jiwa berbagi rasa, jiwa kekompakan, jiwa saling membutuhkan
dengan orang lain. Yang utama adalah bahwa permainan tersebut tidak
membahayakan bahkan membentuk semangat berkompetisi secara sehat.
24 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar