Tabahkan Hatimu Kawan
(Persembahan untuk Para Guru Swata)
[Tugas guru yang begitu banyak harus dipersiapkan sebelum menghadapi
siswa di kelas. Beban berat disandangnya karena orang tua siswa memberikan
kepercayaan bahwa guru adalah segala-galanya. Namun cukup mengertikah mereka
bahwa di balik tugas yang demikian berat ada ketimpangan kesejahteraan
keluarganya. Karena itu sebaiknya guru punya pekerjaan sampingan demi mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya]
Seperti tahun-tahun sebelumnya. kegiatan di setiap
sekolah mulai menggunung di awal tahun baru 2013 ini. Mulai dari koreksi
ulangan semester satu, pengisian rapor, mengisi kegiatan pascasemester
,persiapan jelang UNAS dengan les-les, khususnya kelas 6,9, dan 12. Sesibuk
apapun, guru adalah guru, yang mempunyai predikat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
ataupun “Umar Bakri”nya
Iwan Fals. Dengan predikat yang disandangnya
tak mengurangi beban mental yang ditanggungnya karena berhasil atau tidaknya siswa dalam kelulusan,
seolah-olah menjadi tanggung jawab guru. Setiap orang tua pasti punya keyakinan
bahwa guru adalah segala-galanya. Termasuk yang membuat hitam atau putihnya
siswa adalah guru. Padahal jika dikaji, peran orangtua dan terutama siswa itu
sendiri sangatlah penting.
Guru sudah
sangat sibuk dengan persiapan mengajar, mulai dari membuat program tahunan,
program semester, rencana pembelajaran, silabus, jurnal guru, dan lain-lainnya.
Tidak seperti yang dulu penulis bayangkan, bahwa tugas guru hanya mengajar
sebagaimana orang yang berceramah. Yang penting sudah menyampaikan materi kepada
siswa, setelah itu ulangan dan memberi nilai. Bayangan itu sudah ada di benak penulis
ketika masih SMP. Ternyata profesi guru tidak semudah yang banyak orang
bayangkan. Guru yang profesional harus mempersiapkan segalanya sebelum berada
di kelas.
Belum lagi jika kurikulum sering berubah, membuat
pusing guru dan siswa. Kurikulum lama
masih tertatih-tatih dijalankan, guru dan siswa berusaha menyesuaikan
pembelajaran dan modelnya. Tak lama kemudian muncul kurikulum baru. Sudah bisa
dipastikan kalau llingkungan sekolah kelabakan untuk mengikutinya. Apakah ini
bagian dari percobaan-percobaan yang selalu berubah, sehingga membuat kalangan
pendidikan menjadi korban?. Sampai kapankah dunia pendidikan jadi kelinci
percobaan?. Pertanyaan retoris. Karena memang pada dasarnya kita semua tidak
tahu kebijakan apa lagi yang bergulir setelah KTSP ini.
Akan tetapi bagaimana dan apapun yang terjadi, setiap
lembaga sekolah harus tetap mengikuti alur peraturan pemerintah untuk tetap melaksanakan.
Tuntutan zaman membawa perubahan apapun
dalam segala bidang. Salah satunya pendidikan yang harus diupayakan
keberhasilannya. Tugas guru tetap harus belajar demi pembekalan diri jika tidak
mau dikatakan “katrok”. Apalagi jika internet sudah masuk sekolah, guru yang
pasif makin tertinggal dengan siswanya. Siswa mempunyai banyak peluang untuk
belajar sebanyak-banyaknya. Bisa dikatakan bahwa peluang belajar siswa lebih
banyak daripada guru. Karena tugas guru tidak hanya di sekolah, melainkan tugas
sebagai pengurus rumah tangga yang merupakan kewajiban yang tidak dapat
ditinggalkan. Belum lagi yang punya tugas rangkap di organisasi-organisasi
tertentu. Sehingga waktu untuk belajar
sangatlah terbatas.
“Belajarlah
sampai ke negeri Cina”. Memang bunyi hadits tersebut perlu kita kaji lagi.
Jaman nabi, negeri Cina amatlah jauh, bahkan mungkin hal yang mustahil ditempuh
perjalanan dengan naik unta. Sedangkan saat ini negeri Cina bisa ditempuh dalam
waktu yang singkat dengan pesawat. Karena itu nabi mengibaratkan bahwa kita
diwajibkan untuk terus belajar sampai batas terakhir kemampuan untuk
menempuhnya. Batas terakhir bukan hanya pada unsur jarak, melainkan juga
kondisi fisik maupun biaya. Sebagaimana juga bunyi hadits yang lain bahwa
belajar dimulai dari ayunan sampai ke liang lahat.
Ini mengisyaratkan bahwa manusia pada umumnya dan guru khususnya memang punya
kewajiban untuk selalu menambah wawasan walaupun hanya dengan membaca koran
bekas.
Jika mengingat tugas guru swasta yang demikian berat
dengan gaji yang lebih sedikit daripada tukang bangunan, membuat prihatin yang
menjalaninya. Yang sudah terekrut menjadi pegawai negeri sipil tentu tidak ada
permasalahan. Paling tidak tiga juta rupiah masih bisa diandalkan untuk
menjamin kehidupan dalam satu bulan. Berbagai upaya dilakukan agar sekian
rupiah bisa dikibas-kibaskan untuk menyambung hidup dan menyekolahkan anak.
Itu bagi guru negeri yang sudah punya penghasilan
tetap. Bagaimana dengan guru sekolah swasta?. Yang punya jam mengajar penuh dalam
seminggu, dijalani mulai pagi sampai sore pun tidak akan bisa menyamai gaji
guru negri. Apalagi yang mendapat jam mengajar hanya sedikit bahkan karena
banyaknya guru ada saja yang hanya
mendapat dua jam mengajar dalam seminggu. Jika dikalkulasi, hasil keringat yang
diperoleh tidak sepadan dengan biaya selama kuliah. Memang kelihatan materialis
dan cengeng jika selalu mengaitkan dengan rupiah. Tapi inilah fakta, yang ada
di luar rasa ikhlas dan sosial.
Kembali pada niat semula setelah lulus Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan, baik itu IKIP negri
maupun IKIP swasta, alumnus pasti ingin segera mendapat pekerjaan. Berharap
pekerjaan apapun akan diterima. Setelah mendapat pekerjaan (mengajar), sedikit
demi sedikit mengeluarkan senjatanya, yakni mengadakan tuntutan-tuntutan. Bahkan
kadang-kadang tuntutan-tuntutan tersebut kurang bisa dilogika. Karena tidak
melihat situasi dan kondisi sekolah yang bersangkutan mampu atau tidak memenuhi
harapannya.
Mudahnya oknum-oknum tertentu tergiur oleh provokasi
seperti di atas, tidak lain karena berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Biaya
hidup dan biaya sekolah anak yang tinggi, seolah-olah sulit untuk dijangkau,
apalagi sampai jenjang perguruan tinggi. Dengan usaha banting-tulang, memeras
otak dan keringat demi memandaikan anak bangsa, guru tetap berharap bahwa
siswanya harus pandai. Walaupun harapan lebih ke depan lagi siswa bisa
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan membawa nama baik
almamaternya, minimal harus lulus ujian nasional. Karena tidak menutup
kemungkinan bahwa sumber daya manusia sangat kompleks. Tingkat kepandaian siswa
yang bermacam-macam, membuat hasil tidak seperti yang diharapkan guru. Padahal
jika dipikir sumber daya guru pun sama. Kompleks, seperti contohnya penulis
sendiri pun kadang kurang percaya diri dalam mengeluarkan “uneg-uneg” kepada
pembaca. Tapi jika menuruti kata hati, kapan lagi punya niat untuk mencoba
berkarya.
Jadi untuk hasil yang diharapkan pada siswa, kita
hanya bisa pasrah karena guru sudah berusaha semaksimal mungkin memandaikan siswa.
Bahkan senjata “pamungkas” pun tidak segan-segan dikeluarkan demi menghadapi
ujian nasional. Misalnya dengan memberikan trik-trik mengerjakan dengan
efisien, mana yang lebih dulu dikerjakan, sampai-sampai menekankan pendekatan
diri kepada Tuhan.
Harapan penulis yang insyaallah mewakili guru swasta,
karena penulis adalah guru MTs. swasta di kabupaten Kediri, ialah bahwa dalam
penantian janji-janji pemerintah tentang kesejahteraan guru, sebaiknya guru
punya usaha sampingan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha apapun
yang penting halal, entah itu berdagang, bertani, menjual jasa, atau yang
lainnya. Apapun usahanya, nilai kejujuran punya peran yang sangat penting.
Karena dengan kejujuran insyaallah usaha kita diridlai Allah SWT.
Selamat berjuang teman! Khususnya para guru swasta!
Senin, 4 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar