Selasa, 19 Februari 2013

Bila Hujan Tiada Henti



(catatan harian)
Tersentak dalam kelelapan. Yach… pulang mengantar si kecil ke TPQ terpaksa aku ketiduran barang sejenak. Derasnya curahan hujan itulah yang membangunkanku ketika terlelap. Padahal kepalaku sangat sakit. Tak apalah waktu sudah menunjukkan pukul 16.15. Ah… dari pada kedahuluan diantar orang lain atau ustadzahnya lebih baik aku menunggu saja di masjid.

Termangu ketika melihat guyuran hujan yang begitu lebat. Kulihat gadisku membaca buku sambil nonton televisi, tak tega bila aku harus menyuruhnya menjemput adiknya. Sementara perjakaku juga dalam keadaan tertidur bersama temannya, mereka baru pulang mengerjakan tugas kuliahnya. Haruskah aku membangunkannya? Haduuuh sudahlah, tak tega juga mengganggu istirahatnya. Naluri keibuanku lebih kuat ketimbang pemberian tugas kepada anak-anakku. Lebih baik aku yang sengsara dari pada anakku yang harus mengalaminya.

Minum obat pusing dulu, aku menerobos hujan lebat menjemput si kecil. Jalan raya yang biasanya tak sampai banjir, kali ini banjir di kanan dan kiri jalan hingga hampir bertemu di tengah-tengah jalan raya. Meskipun bermantel, toh baju bagian bawahku juga tetap basah. Sampai di masjid yang tak sampai satu kilo meter dari rumah, aku mencari tempat yang nyaman untuk berlindung. Mencari tempat yang tak tergenang oleh air karena waktu pulang memang masih beberapa menit lagi.

Motor kunaikkan ke teras kantor TPQ, he he he …nakal juga aku. Sendirian, kulihat beberapa ustadzah lain masih berada di serambi masjid bersama santri-santri lain yang berbeda kelas dengan bungsuku. Beberapa perempuan kecil bermain-main air dengan payungnya. Sedangkan laki-lakinya nekat berhujan-hujan menaiki sepeda kecilnya. Sementara seorang ibu masih berseragam kerja berjalan membawa payung untuk menjemput putrinya yang masih imut-imut.

Kelas bungsuku belum ada tanda-tanda keluar. Kupandangi jatuhnya hujan di bawah. Kuingat masa kecilku, jika melihat air terjatuh di tanah. Aku membayangkan seperti bentuk gelas atau mangkuk kecil beserta sendoknya. Masa kecilku suka melihat jatuhnya hujan sambil melamun di jendela. Masih sama, jatuhnya hujan pada masa kecilku sampai sekarang. Bedanya, zaman dulu jika banjir cepat meresap ke dalam tanah. Sekarang banjir di mana-mana sulit meresap. Kalaupun tanah dalam keadaan miring, maka air terus mengalir mencari tempat yang lebih rendah. Tanpa mampir untuk meresap ke dalam tanah. Entahlah tanah sekarang seakan tak mampu menampung air hujan.

Mungkin, sekarang jarang ada halaman rumah yang tak berpaving. Jalan-jalan kecil di desa pun pakai sistem cor atau aspal. Semakin banyak bangunan gedung yang pondasinya memakan lahan resapan air. Atau mungkin juga masih ada faktor lain yang membuat banjir sulit teratasi. Eeemm … salah siapa ya? Maunya zaman serba maju, fasilitas pribadi maupun umum dipermudah. Tapi di sisi lain ternyata juga berdampak yang negatif.

Melamun… dan melamun… tak berujung pangkal. Kutengok kelas bungsuku belum juga keluar. Motor kugeser mengarah pada kelas, agar sewaktu dia keluar aku bisa langsung menjemputnya tanpa banyak terkena air hujan. Jas hujan masih menyelimuti tubuhku dengan pelengkap helm. Sengaja kupakai terus biar tidak repot-repot mengenakannya kembali. Mondar-mandir di depan kantor TPQ sambil menghangatkan badan dan tetap sendiri. Belum ada orang tua lain yang menjemput anaknya.

Akhirnya keluar juga anakku. Dia ikut kelas anak-anak yang berusia sekitar kelas lima dan enam, padahal bungsuku masih kelas tiga. Alhamdulillah, bungsuku dari kecil telaten belajar mengaji. Sehingga dia cepat naik tingkat hingga bisa mengikuti kakak-kakak kelasnya. Sempat ngambek tidak mau mengaji selama hampir sebulan karena merasa tidak punya teman sebaya. Dengan motivasi-motivasi tertentu, Alhamdulillah dia mau meneruskan meskipun bersama anak-anak yang lebih besar. Toh akhirnya mereka bisa berteman juga meskipun bungsuku masih kecil.

Kujemput dia di depan kelas. Langsung aku suruh naik pemboncengan, tidak lupa tas diletakkan di tengah agar tidak terkena air. Masih deras, kuterobos kembali sang hujan hingga sampai rumah. Dia langsung berganti pakaian, sementara aku masih membenahi jas hujan dan beres-beres belakang.
Biasanya putriku langsung tidur sampai maghrib. Tapi kali ini dia langsung mengambil mangkuk, pisau, tepung, dan telur. Katanya lapar dan mau menggoreng telur. Dia memang suka memasak dadar telur sendiri, sebagaimana yang kakak-kakaknya lakukan. Meskipun aku harus tetap mengawasinya. Terutama saat menyalakan kompor, aku tidak bisa membiarkan dia sendiri. Tapi itulah anak-anakku, semua suka memasak sendiri seperti halnya bapaknya. Jadi aku tak kesulitan jika terpaksa di rumah tak ada lauk-pauk. Cukup menyediakan telur.

Telurnya matang, ternyata dia tidak mau makan sendiri. Dia berbagi dengan kakaknya untuk makan bersama dalam dinginnya hujan yang belum juga berhenti. Haduh… enak juga kakaknya. Enak-enakan baca buku, nonton TV, eh… disodori makan oleh adiknya. Mana bisa menolak….
Maghrib pun tiba, aku telah selesai menyiapkan bahan pengisi perut untuk malam hari. Juga segelas besar teh panas untuk suami, tak lupa menjerang air mandi jika suamiku datang. Suamiku tiap hari datang sekitar setengah tujuh malam. Tak lain demi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Hujan… tak juga reda sampai suamiku tiba. Jika ditampung, sudah berapa banyak air hujan yang tercurah dari langit? Wallahu alam.
                                                                                                            Minggiran, 19 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...