(catatan harian)
Tersentak
dalam kelelapan. Yach… pulang mengantar si kecil ke TPQ terpaksa aku ketiduran
barang sejenak. Derasnya curahan hujan itulah yang membangunkanku ketika
terlelap. Padahal kepalaku sangat sakit. Tak apalah waktu sudah menunjukkan
pukul 16.15. Ah… dari pada kedahuluan diantar orang lain atau ustadzahnya lebih
baik aku menunggu saja di masjid.
Termangu
ketika melihat guyuran hujan yang begitu lebat. Kulihat gadisku membaca buku
sambil nonton televisi, tak tega bila aku harus menyuruhnya menjemput adiknya.
Sementara perjakaku juga dalam keadaan tertidur bersama temannya, mereka baru
pulang mengerjakan tugas kuliahnya. Haruskah aku membangunkannya? Haduuuh
sudahlah, tak tega juga mengganggu istirahatnya. Naluri keibuanku lebih kuat
ketimbang pemberian tugas kepada anak-anakku. Lebih baik aku yang sengsara dari
pada anakku yang harus mengalaminya.
Minum
obat pusing dulu, aku menerobos hujan lebat menjemput si kecil. Jalan raya yang
biasanya tak sampai banjir, kali ini banjir di kanan dan kiri jalan hingga
hampir bertemu di tengah-tengah jalan raya. Meskipun bermantel, toh baju bagian
bawahku juga tetap basah. Sampai di masjid yang tak sampai satu kilo meter dari
rumah, aku mencari tempat yang nyaman untuk berlindung. Mencari tempat yang tak
tergenang oleh air karena waktu pulang memang masih beberapa menit lagi.
Motor
kunaikkan ke teras kantor TPQ, he he he …nakal juga aku. Sendirian, kulihat
beberapa ustadzah lain masih berada di serambi masjid bersama santri-santri
lain yang berbeda kelas dengan bungsuku. Beberapa perempuan kecil bermain-main
air dengan payungnya. Sedangkan laki-lakinya nekat berhujan-hujan menaiki
sepeda kecilnya. Sementara seorang ibu masih berseragam kerja berjalan membawa
payung untuk menjemput putrinya yang masih imut-imut.
Kelas
bungsuku belum ada tanda-tanda keluar. Kupandangi jatuhnya hujan di bawah.
Kuingat masa kecilku, jika melihat air terjatuh di tanah. Aku membayangkan
seperti bentuk gelas atau mangkuk kecil beserta sendoknya. Masa kecilku suka
melihat jatuhnya hujan sambil melamun di jendela. Masih sama, jatuhnya hujan
pada masa kecilku sampai sekarang. Bedanya, zaman dulu jika banjir cepat
meresap ke dalam tanah. Sekarang banjir di mana-mana sulit meresap. Kalaupun
tanah dalam keadaan miring, maka air terus mengalir mencari tempat yang lebih
rendah. Tanpa mampir untuk meresap ke dalam tanah. Entahlah tanah sekarang
seakan tak mampu menampung air hujan.
Mungkin,
sekarang jarang ada halaman rumah yang tak berpaving. Jalan-jalan kecil di desa
pun pakai sistem cor atau aspal. Semakin banyak bangunan gedung yang pondasinya
memakan lahan resapan air. Atau mungkin juga masih ada faktor lain yang membuat
banjir sulit teratasi. Eeemm … salah siapa ya? Maunya zaman serba maju,
fasilitas pribadi maupun umum dipermudah. Tapi di sisi lain ternyata juga
berdampak yang negatif.
Melamun…
dan melamun… tak berujung pangkal. Kutengok kelas bungsuku belum juga keluar.
Motor kugeser mengarah pada kelas, agar sewaktu dia keluar aku bisa langsung
menjemputnya tanpa banyak terkena air hujan. Jas hujan masih menyelimuti
tubuhku dengan pelengkap helm. Sengaja kupakai terus biar tidak repot-repot
mengenakannya kembali. Mondar-mandir di depan kantor TPQ sambil menghangatkan
badan dan tetap sendiri. Belum ada orang tua lain yang menjemput anaknya.
Akhirnya
keluar juga anakku. Dia ikut kelas anak-anak yang berusia sekitar kelas lima
dan enam, padahal bungsuku masih kelas tiga. Alhamdulillah, bungsuku dari kecil
telaten belajar mengaji. Sehingga dia cepat naik tingkat hingga bisa mengikuti
kakak-kakak kelasnya. Sempat ngambek tidak mau mengaji selama hampir sebulan
karena merasa tidak punya teman sebaya. Dengan motivasi-motivasi tertentu,
Alhamdulillah dia mau meneruskan meskipun bersama anak-anak yang lebih besar.
Toh akhirnya mereka bisa berteman juga meskipun bungsuku masih kecil.
Kujemput
dia di depan kelas. Langsung aku suruh naik pemboncengan, tidak lupa tas
diletakkan di tengah agar tidak terkena air. Masih deras, kuterobos kembali
sang hujan hingga sampai rumah. Dia langsung berganti pakaian, sementara aku
masih membenahi jas hujan dan beres-beres belakang.
Biasanya
putriku langsung tidur sampai maghrib. Tapi kali ini dia langsung mengambil
mangkuk, pisau, tepung, dan telur. Katanya lapar dan mau menggoreng telur. Dia
memang suka memasak dadar telur sendiri, sebagaimana yang kakak-kakaknya
lakukan. Meskipun aku harus tetap mengawasinya. Terutama saat menyalakan
kompor, aku tidak bisa membiarkan dia sendiri. Tapi itulah anak-anakku, semua
suka memasak sendiri seperti halnya bapaknya. Jadi aku tak kesulitan jika
terpaksa di rumah tak ada lauk-pauk. Cukup menyediakan telur.
Telurnya
matang, ternyata dia tidak mau makan sendiri. Dia berbagi dengan kakaknya untuk
makan bersama dalam dinginnya hujan yang belum juga berhenti. Haduh… enak juga
kakaknya. Enak-enakan baca buku, nonton TV, eh… disodori makan oleh adiknya.
Mana bisa menolak….
Maghrib
pun tiba, aku telah selesai menyiapkan bahan pengisi perut untuk malam hari.
Juga segelas besar teh panas untuk suami, tak lupa menjerang air mandi jika
suamiku datang. Suamiku tiap hari datang sekitar setengah tujuh malam. Tak lain
demi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Hujan…
tak juga reda sampai suamiku tiba. Jika ditampung, sudah berapa banyak air
hujan yang tercurah dari langit? Wallahu alam.
Minggiran, 19 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar