Senin, 18 Februari 2013

Suminten tetap Suminten




            Setiap aku lewat di depan tempat Suminten berjualan, aku selalu merasa tenteram. Aku ikut bahagia dengan usaha barunya. Yakni berjualan es bubur kacang hijau. Karena selama ini dia bersama suaminya hidup dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Meskipun keadaan mertuanya sebenarnya juga cukup jika hanya untuk menghidupi anak, menantu, dan seorang cucu. Namun apalah daya, ibu mertuanya sangat tidak menyukai kehadirannya tanpa sebab.
            Untung bapak mertuanya selalu memerhatikan  keperluan sehari-hari mereka. Setiap istirahat dan pulang kerja, bapak mertuanya selalu menjenguk mereka dengan membawakan makanan dan kebutuhan hidup. Tentu saja sikap bapak mertua ini mendapat pertentangan dari ibu mertuanya. Padahal dia telah merantau ke sana kemari hanya untuk menghidupi suami dan anaknya. Hasil rantaunya selama menjadi TKI di Taiwan pun habis. Sementara suaminya tetap belum mendapatkan pekerjaan. Karena itulah bapak mertuanya selalu iba melihat Suminten.
            Ketika kontrakan di depan rumahku habis itulah, aku tak sempat lagi melihat kehidupan Suminten. Hingga suatu saat tak sengaja aku membeli bubur kacang hijau dan ternyata dialah penjualnya. Alhamdulillah, semoga usahanya lancar… doaku kala itu. Aku tak menanyakan apa-apa padanya, yang penting aku melihat dia berusaha dengan suaminya untuk mencari penghidupan baru.
            Sekitar dua tahun aku tak pernah mampir ke warungnya. Hingga suatu saat suamiku ingin rujak petis. Suamiku menunjuk pada warungnya Suminten, ternyata benar. Suminten sekarang juga berjualan rujak petis. Waduh, Suminten sekarang tampak lebih segar badannya. Kulihat anaknya juga cukup sehat. Kalau suaminya memang gemuk, dulu dia hanya mondar-mandir tanpa pekerjaan. Dan di sinilah aku mendapat banyak kabar tentang kisahnya.
            Suminten yang disuruh pergi dari rumah oleh ibu mertuanya kala itu hendak merantau lagi ke Taiwan. Entah karena suatu sebab, dia diminta kembali karena suaminya tak menghendaki. Bercampur lagi dengan ibu mertua, tapi diusir lagi oleh ibu mertua. Suminten yang nelangsa hidup menumpang pada kontrakan seseorang yang mau berbagi nasib.
            Di situ dia mulai berjualan. Tapi ibu mertua seakan tak mau berhenti membencinya. Suminten tetap ikhlas menerima keadaan. Sempat putus asa memang, hidup bersama suami yang tak bekerja. Dia banting tulang kerja siang malam agar mendapat penghasilan untuk biaya hidupnya. Tapi keuletan dia dalam menghadapi hidup tidak bisa diterima oleh ibu mertuanya. Ibu mertuanya menganggap Suminten lah yang membawa sial anaknya. Sehingga anaknya sendiri tak mendapat pekerjaan. Padahal kalau berniat mau kerja, sebenarnya juga banyak yang menawarkan pekerjaan kepada suami Suminten. Dasar suami Suminten pemalas saja sehingga tidak mau kerja berat. Untung bapak mertua baik, mengerti keadaan Suminten yang saat itu kurus kering karena berbagai faktor. Sehingga tanpa sepengetahuan istrinya, bapak mertuanya selalu membawakan makanan untuk anak, menantu, dan cucunya.
            Hari lebaran tiba, seperti biasa Suminten sungkem pada mertuanya. Dia menangis minta maaf kepada keduanya karena telah membuat rumah tangga bapak dan ibu mertuanya sering cekcok gara-gara dirinya.  Bukannya memaafkan, ibu mertuanya justru marah-marah. Ibu mertuanya menuduh bahwa Suminten hanya bohong belaka. Suminten dianggap mendoakan agar dia (ibu mertua) cepat mati, karena sering memarahinya. Maka semakin meledaklah tangisan Suminten dengan tuduhan ibu mertuanya yang demikian. Suami dan bapak mertuanya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kelakuan ibunya yang menjadi-jadi. Kemarahan ibu mertua semakin memuncak dengan mencari-cari permasalahan yang tak pernah jelas.
            Suminten tetap Suminten, yang nelangsa dengan perilaku ibu mertuanya. Namun dia cukup tabah menghadapinya. Dia tetap eksis mempertahankan keluarganya meskipun hatinya sangat sakit, juga sikap suami yang tak bisa mengayominya. Suaminya hanya seperti air di daun  talas. Dia hanya makan, tidur, menggendong anaknya pun cukup sebentar saja. Karena itu badannya juga tambah tambun.
            Bagi Suminten menghidupi dua anak dan suami perokok semakin banyak membutuhkan biaya. Suminten tidak bisa mengandalkan pendapatan sebagai penjual bubur saja. Meskipun sesekali bapak mertuanya juga memberi dia uang saku. Suminten bertekad pergi mencari pekerjaan ke luar kota. Namun sekitar satu bulan Suminten disuruh pulang. Begitu turun dari bus, betapa nelangsanya Suminten, anaknya bercerita kalau diusir neneknya. Haduh … penderitaan apa lagi ini?
            Karena itulah Suminten berjualan kembali bubur kacang hijau bersama suami dan anaknya. Berjualan di tempat dia mengontrak sebuah ruangan kecil. Usahanya ini tidaklah mulus begitu saja. Masih saja ada ganjalan dari pihak keluarga ibu mertua. Bahkan bibi mertua pun ikut-ikutan membenci Suminten karena terhasut oleh ibu mertuanya. Olok-olok yang tak sedap sering mampir di telinga Suminten. Dikatakannya bahwa Suminten penjilatlah, mau membunuh mertuanyalah, bahkan dibilang menginginkan warisan. Hampir saja Suminten tak bisa mengendalikan diri mendengar ocehan bibi mertuanya.  Untung datang bapak mertuanya menghentikan perkataan-perkatan tak pantas saudara iparnya itu.
Beberapa hari kemudian, alangkah terkejutnya Suminten ketika tetangga mertuanya tergopoh-gopoh mengabari bahwa ibu mertuanya meninggal dunia. Suminten tak percaya, dia hanya melongo tak tahu harus berbuat apa. Dia membereskan dagangannya dan bergegas pergi ke rumah mertuanya yang tak jauh dari ruangan kontrakannya. Benar, ibu mertuanya meninggal. Dia menangis belum sempat minta maaf. Meskipun ibu mertuanya sangat benci, Suminten tetap menganggap dia sebagaimana seorang ibu yang layak untuk dihormati. Suminten segera merawat segala keperluan pemandian sampai pemakaman ibu mertuanya. Di situlah bibinya baru tahu kalau Suminten sebenarnya juga menyayangi mertuanya. Bibinya pun minta maaf atas perlakuan kakak dan dirinya kepada Suminten yang semena-mena.
Suminten tidak menganggap ada masalah lagi. Toh semuanya sudah tahu kalau Suminten adalah Suminten, yang tetap mengalah meskipun dibenci oleh keluarga ibu mertuanya. Meskipun kadang tebersit dalam benak Suminten, “Dulu ibu (mertua) menuduhku mendoakan ibu cepat mati karena sering memarahiku, tapi sekarang dia mati sungguhan. Apakah ini memang sudah diatur olehNya?. Ah, urusan Tuhan aku tak dapat memahaminya. Ya Tuhan, ampunilah dia dan tempatkanlah dia di sisiMu.”
Kini Suminten diminta bapak mertuanya kembali ke rumah. Merawat rumah sambil tetap berjualan. Bapak mertuanya menggantikan posisi ibu mertuanya untuk berdagang kelontong. Sementara pekerjaan bapak mertua sebagai mandor perkebunan digantikan oleh suami Suminten. Ada berkah tersendiri bagi Suminen setelah kepergian ibu mertuanya. Meskipun ini bukan permintaan Suminten.
Suminten, tetap Suminten. Meskipun hidupnya mulai membaik, dia tetap rendah hati. Dia mulai memetik kebahagiaan. Dagangannya semakin membesar, suami mendapat pekerjaan, dan tak perlu mengontrak rumah sempit lagi karena tinggal bersama bapak mertuanya.
                                                                                                Minggiran, 18 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...