Setiap aku lewat di depan tempat Suminten
berjualan, aku selalu merasa tenteram. Aku ikut bahagia dengan usaha barunya.
Yakni berjualan es bubur kacang hijau. Karena selama ini dia bersama suaminya
hidup dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Meskipun keadaan mertuanya sebenarnya
juga cukup jika hanya untuk menghidupi anak, menantu, dan seorang cucu. Namun
apalah daya, ibu mertuanya sangat tidak menyukai kehadirannya tanpa sebab.
Untung bapak mertuanya selalu memerhatikan
keperluan sehari-hari mereka. Setiap
istirahat dan pulang kerja, bapak mertuanya selalu menjenguk mereka dengan
membawakan makanan dan kebutuhan hidup. Tentu saja sikap bapak mertua ini
mendapat pertentangan dari ibu mertuanya. Padahal dia telah merantau ke sana
kemari hanya untuk menghidupi suami dan anaknya. Hasil rantaunya selama menjadi
TKI di Taiwan pun habis. Sementara suaminya tetap belum mendapatkan pekerjaan.
Karena itulah bapak mertuanya selalu iba melihat Suminten.
Ketika kontrakan di depan rumahku
habis itulah, aku tak sempat lagi melihat kehidupan Suminten. Hingga suatu saat
tak sengaja aku membeli bubur kacang hijau dan ternyata dialah penjualnya.
Alhamdulillah, semoga usahanya lancar… doaku kala itu. Aku tak menanyakan
apa-apa padanya, yang penting aku melihat dia berusaha dengan suaminya untuk
mencari penghidupan baru.
Sekitar dua tahun aku tak pernah
mampir ke warungnya. Hingga suatu saat suamiku ingin rujak petis. Suamiku
menunjuk pada warungnya Suminten, ternyata benar. Suminten sekarang juga
berjualan rujak petis. Waduh, Suminten sekarang tampak lebih segar badannya.
Kulihat anaknya juga cukup sehat. Kalau suaminya memang gemuk, dulu dia hanya
mondar-mandir tanpa pekerjaan. Dan di sinilah aku mendapat banyak kabar tentang
kisahnya.
Suminten yang disuruh pergi dari
rumah oleh ibu mertuanya kala itu hendak merantau lagi ke Taiwan. Entah karena
suatu sebab, dia diminta kembali karena suaminya tak menghendaki. Bercampur
lagi dengan ibu mertua, tapi diusir lagi oleh ibu mertua. Suminten yang
nelangsa hidup menumpang pada kontrakan seseorang yang mau berbagi nasib.
Di situ dia mulai berjualan. Tapi
ibu mertua seakan tak mau berhenti membencinya. Suminten tetap ikhlas menerima
keadaan. Sempat putus asa memang, hidup bersama suami yang tak bekerja. Dia
banting tulang kerja siang malam agar mendapat penghasilan untuk biaya
hidupnya. Tapi keuletan dia dalam menghadapi hidup tidak bisa diterima oleh ibu
mertuanya. Ibu mertuanya menganggap Suminten lah yang membawa sial anaknya.
Sehingga anaknya sendiri tak mendapat pekerjaan. Padahal kalau berniat mau
kerja, sebenarnya juga banyak yang menawarkan pekerjaan kepada suami Suminten.
Dasar suami Suminten pemalas saja sehingga tidak mau kerja berat. Untung bapak
mertua baik, mengerti keadaan Suminten yang saat itu kurus kering karena
berbagai faktor. Sehingga tanpa sepengetahuan istrinya, bapak mertuanya selalu
membawakan makanan untuk anak, menantu, dan cucunya.
Hari lebaran tiba, seperti biasa
Suminten sungkem pada mertuanya. Dia menangis minta maaf kepada keduanya karena
telah membuat rumah tangga bapak dan ibu mertuanya sering cekcok gara-gara
dirinya. Bukannya memaafkan, ibu
mertuanya justru marah-marah. Ibu mertuanya menuduh bahwa Suminten hanya bohong
belaka. Suminten dianggap mendoakan agar dia (ibu mertua) cepat mati, karena
sering memarahinya. Maka semakin meledaklah tangisan Suminten dengan tuduhan
ibu mertuanya yang demikian. Suami dan bapak mertuanya tidak dapat berbuat
apa-apa dengan kelakuan ibunya yang menjadi-jadi. Kemarahan ibu mertua semakin
memuncak dengan mencari-cari permasalahan yang tak pernah jelas.
Suminten tetap Suminten, yang
nelangsa dengan perilaku ibu mertuanya. Namun dia cukup tabah menghadapinya.
Dia tetap eksis mempertahankan keluarganya meskipun hatinya sangat sakit, juga
sikap suami yang tak bisa mengayominya. Suaminya hanya seperti air di daun talas. Dia hanya makan, tidur, menggendong
anaknya pun cukup sebentar saja. Karena itu badannya juga tambah tambun.
Bagi Suminten menghidupi dua anak dan
suami perokok semakin banyak membutuhkan biaya. Suminten tidak bisa
mengandalkan pendapatan sebagai penjual bubur saja. Meskipun sesekali bapak
mertuanya juga memberi dia uang saku. Suminten bertekad pergi mencari pekerjaan
ke luar kota. Namun sekitar satu bulan Suminten disuruh pulang. Begitu turun
dari bus, betapa nelangsanya Suminten, anaknya bercerita kalau diusir neneknya.
Haduh … penderitaan apa lagi ini?
Karena itulah Suminten berjualan
kembali bubur kacang hijau bersama suami dan anaknya. Berjualan di tempat dia mengontrak
sebuah ruangan kecil. Usahanya ini tidaklah mulus begitu saja. Masih saja ada
ganjalan dari pihak keluarga ibu mertua. Bahkan bibi mertua pun ikut-ikutan
membenci Suminten karena terhasut oleh ibu mertuanya. Olok-olok yang tak sedap
sering mampir di telinga Suminten. Dikatakannya bahwa Suminten penjilatlah, mau
membunuh mertuanyalah, bahkan dibilang menginginkan warisan. Hampir saja
Suminten tak bisa mengendalikan diri mendengar ocehan bibi mertuanya. Untung datang bapak mertuanya menghentikan perkataan-perkatan
tak pantas saudara iparnya itu.
Beberapa hari kemudian, alangkah terkejutnya Suminten
ketika tetangga mertuanya tergopoh-gopoh mengabari bahwa ibu mertuanya
meninggal dunia. Suminten tak percaya, dia hanya melongo tak tahu harus berbuat
apa. Dia membereskan dagangannya dan bergegas pergi ke rumah mertuanya yang tak
jauh dari ruangan kontrakannya. Benar, ibu mertuanya meninggal. Dia menangis
belum sempat minta maaf. Meskipun ibu mertuanya sangat benci, Suminten tetap
menganggap dia sebagaimana seorang ibu yang layak untuk dihormati. Suminten
segera merawat segala keperluan pemandian sampai pemakaman ibu mertuanya. Di
situlah bibinya baru tahu kalau Suminten sebenarnya juga menyayangi mertuanya.
Bibinya pun minta maaf atas perlakuan kakak dan dirinya kepada Suminten yang
semena-mena.
Suminten tidak menganggap ada masalah lagi. Toh
semuanya sudah tahu kalau Suminten adalah Suminten, yang tetap mengalah meskipun
dibenci oleh keluarga ibu mertuanya. Meskipun kadang tebersit dalam benak
Suminten, “Dulu ibu (mertua) menuduhku mendoakan ibu cepat mati karena sering
memarahiku, tapi sekarang dia mati sungguhan. Apakah ini memang sudah diatur
olehNya?. Ah, urusan Tuhan aku tak dapat memahaminya. Ya Tuhan, ampunilah dia
dan tempatkanlah dia di sisiMu.”
Kini Suminten diminta bapak mertuanya kembali ke
rumah. Merawat rumah sambil tetap berjualan. Bapak mertuanya menggantikan
posisi ibu mertuanya untuk berdagang kelontong. Sementara pekerjaan bapak
mertua sebagai mandor perkebunan digantikan oleh suami Suminten. Ada berkah
tersendiri bagi Suminen setelah kepergian ibu mertuanya. Meskipun ini bukan
permintaan Suminten.
Suminten, tetap Suminten. Meskipun hidupnya mulai
membaik, dia tetap rendah hati. Dia mulai memetik kebahagiaan. Dagangannya
semakin membesar, suami mendapat pekerjaan, dan tak perlu mengontrak rumah
sempit lagi karena tinggal bersama bapak mertuanya.
Minggiran, 18 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar