Setelah
hampir dua puluh tahun saya mengajar di bawah payung Kementerian Agama Republik
Indonesia (madrasah), maka tahun terakhir ini saya juga merangkap mengajar di
sebuah sekolah menengah atas di bawah asuhan Kementerian Pendidikan Nasional.
Selain pengalaman mengajar, ternyata saya juga mendapatkan beberapa pengalaman
unik dan menarik dari kedua departemen ini.
Dalam
dunia sekolah tidak lepas dari seorang pengawas. Baik pengawas sekolah maupun
pengawas madrasah. Namun tidak semua pengawas tersebut betul-betul bekerja
secara profesional. Tugas pengawas
sekolah atau madrasah adalah membina bagaimana caranya agar sekolah-sekolah di
bawah asuhannya menjadi baik dan berkualitas. Pembinaan demi pembinaan idealnya
diberikan oleh pengawas secara berkala hingga kinerja guru asuhannya mencapai maksimal.
Selama
menjadi guru (swasta), tercatat dalam memori saya bahwa ternyata karakter
seorang pengawas berbeda-beda, misalnya:
1.
Sekitar tahun 90-an, pengawas madrasah
saya suka mencari-cari kesalahan. Jika pada pertemuan berikutnya, kami baik
guru maupun pengurus madrasah memperbaiki apa yang disarankan waktu lalu, maka
beliau mencari kesalahan lain yang sebenarnya hanya masalah kecil. Beliau jarang
tersenyum tetapi beliau rajin datang ke madrasah sehingga pihak madrasah saya
pun rajin menyiapkan amplop untuk beliau per datang.
2.
Tahun 2000-an pengawas tersebut pensiun,
diganti seorang pengawas yang rajin menyampaikan pembinaan ke madrasah juga.
Namun beliau lebih realistis dan bijksana dari pada yang sebelumnya. Sayang
sekali para guru jarang mendapatkan bimbingan langsung dari beliau, seperti
halnya pengawas nomor 1 di atas. Pembinaan hanya disampaikan melalui Kepala
Madrasah. Masalah amplop masih sama, meskipun tidak sesering yang pertama.
3.
Sebelum tahun 2010, pengawas yang satu
ini unik. Tidak pernah datang ke madrasah untuk mengadakan pembinaan. Siapapun
yang hendak minta tanda tangan harus janjian bertemu di kantor Kemenag ataupun
di rumah beliau. Sehingga harus siap dengan amplopnya masing-masing. Pernah
saya dan teman-teman minta tanda tangan untuk pemberkasan pencairan Tunjangan
Profesi. Saat itu hujan sangat deras, kami satu mobil meluncur ke rumah beliau
yang cukup jauh dengan membawa bendelan-bendelan perangkat mengajar kami
masing-masing. Mulai silabus, RPP, Prota, Promes, dan lain-lain selama 4
semester. Bisa dibayangkan, betapa banyak bawaan kami.
Sekitar pukul
empat sore kami tiba di rumah beliau yang cukup bagus. Halaman luas, ada masjid
dan madrasah di lingkungan rumah tersebut. Di situ sudah menunggu guru-guru
dari madrasah lain dengan keperluan yang sama. Mereka malah naik sepeda motor,
kehujanan, dengan membawa perangkat mengajar juga. Lumayan lama menunggu di
luar dengan kedinginan. Isteri pengawas mempersilakan kami masuk ke ruang tamu.
Akhirnya satu per satu dipanggil masuk ke ruang dalam. Saya menyiapkan
perangkat mengajar untuk diperiksa kelengkapan dan kebenaran cara saya membuat
perangkat.
Bismillah… pikir
saya semoga apa yang telah saya kerjakan tidak banyak yang salah sehingga
mendapat tanda tangan beliau. DEMI PENCAIRAN TUNJANGAN. Sampai di dalam, beliau
membaca daftar nama kami dan meyakinkan kebenaran nama saya. Saya jawab “betul”
maka lembaran SKMT (Surat Keterangan Melaksanakan Tugas) dan amplop yang sudah
saya sediakan di bawahnya saya sodorkan. Langsung ditandatangani dan amplop
diambil. Saya masih diam di situ, meskipun beliau mengatakan sudah selesai.
Loh, dua tas besar berisi perangkat ini? … Masya Allah, tidak disentuh dan ditanyakan sama sekali. Bahasa daerah saya
mengatakan “GUUELLAA TENAN!” alias sangat kecewa. Ternyata begitu mudahnya
minta tanda tangan asal ada amplop di bawahnya.
Tetapi beberapa
teman saya justru bergembira dengan sistem seperti ini, karena mereka memang
tidak siap untuk dikoreksi. Terutama masalah perangkat mengajarnya. Mereka
kurang percaya diri dengan apa yang mereka kerjakan. Ya sudahlah, yang penting
tunjangan bisa cair.
Beberapa bulan
kemudian, bukannya beliau yang datang untuk mnegadakan pembinaan, tetapi beliau
justru menyampaikan undangan. Undangan mau menikahkan puterinya. Nama-nama yang
diundang adalah Kepala Madrasah dan guru-guru yang pernah minta tanda tangan
kepada beliau. Kami pun sepakat untuk “mengamplop” sebesar kami memberikan
amplop pada beliau sewaktu minta tanda tangan. (demi kelancaran pencairan
tunjangan semester depan). Haduh… untung beliau dipindahtugaskan ke daerah lain
sehingga kami tidak bertemu lagi dengan beliau.
4.
Yang terakhir ini, seorang yang disiplin.
Rajin mengadakan pertemuan dan membina guru-guru minimal sekali dalam satu
semester. Beliau on time, sangat sederhana, suka bersepeda motor, menguasai
materi dan teknologi. Sehingga dalam menyampaikan pembinaan langsung mengenai
sasaran. Jika ada yang kurang, beliau mau mengoreksi kembali terhadap
pembetulannya dengan sabar. Masalah amplop sebenarnya beliau tidak mau tetapi
sebagai tradisi, madrasah kami tetap menyampaikannya demi rasa terima kasih
kami kepada beliau karena banyak memberikan pembinaan.
5.
Sedangkan pengawas saya yang dari
Kemendiknas, berbeda lagi. Beliau pintar, tegas, tidak mau menerima amplop
karena memang tujuannya bukan untuk mencari amplop. Saya baru sekali mengikuti
pembinaan beliau karena saya memang “baru” di sini. Untuk keefektivan, pengawas
minta beberapa sekolah bergabung menjadi satu. Nah, di sinilah saya baru tahu
bahwa beliau lekas naik darah. Memang beliau mengatakan bahwa kami para guru
dianggap sebagai murid atau anak-anak. Sehingga beliau berhak memarahi kami.
Jika dalam “pembinaan bersama” ada yang menguap, bergurau, banyak bergerak,
diam jika ditanya, ataupun salah menjawab, maka tidak segan-segan beliau
menegur dengan keras. Bahkan beliau mengatakan bahwa guru-guru dalam binaannya
ini belum ada yang profesional. Mungkin hal ini diketahui dengan isian data PK
(Penilaian Kepribadian) tahun lalu. Galak juga ya… hingga menimbulkan bermacam
reaksi para guru. Ada yang takut, benci, acuh, bahkan dianggap lelucon.
Semoga saya bisa
mengikuti pembinaan beliau ini ah! Karena saya memang belum pernah mengisi
balngko PK tersebut.
Bermacam
karakter pengawas tersebut mungkin juga terjadi di daerah lain. Yang saya tahu
seorang pengawas memang bertugas membina guru-guru dan para petugas
madrasah/sekolah. Masalah amplop sebenarnya juga bukan kesalahan para pengawas
tersebut. Madrasah kami dan beberapa madrasah di sekitar kami memang telah
menradisikan hal tersebut. Anggap saja sebagai ganti jerih payahnya selama membina
atau sebagai ganti transpor ke madrasah kami.
Meskipun hanya sebagai guru swasta baik di
madrasah atapun di sekolah, saya tetap berkewajiban untuk bisa menjadi seorang
guru yang baik. Karena mempunyai tanggung jawab dan menjadi teladan pada anak
didik. Sehingga apapun dan bagaimanapun karakternya, pengawas juga tetap
menjadi panutan para guru untuk menjadi “guru yang lebih baik.”
1
Juni 2013