Antologi Puisi Jawa Pos 3
HERU MUGIARSO
Lahir
di Grobogan, 2 Juni 1961. Bergiat di komunitas Kumandang Sastra. Pada 2003
meraih Komunitas Sastra Indonesia Award dan pada 2008 puisinya masuk 100 Puisi
Indonesia Terbaik. Buku puisinya terkini, Tilas Waktu, menghimpun puisi yang
ditulisnya sejak 1977.
(Jawa Pos, Minggu: 4 Desember 2011)
Elebrasi Meja Makan
Maafkan
aku, piring. Aku sering memandangmu enteng lantaran selalu menyisakan
bulirbulir nasi padahal dalam syukurmu engkau tak pernah membutuhkannya
Ampuni
aku sendok. Aku sering mencibirmu karena engkau tak lebih dari pengganti
kemalasan jemariku untuk menyuap rezeki ke moncong laparku
Dengarkan
sesalku, garpu. Aku sering melampiaskan rasa kejiku melaluimu kepada sesama
makhluk hidup yang menjadi korban nafsu dan seleraku
Maka,
ijinkan untuk sekali ini aku membayangkan diriku sebagai remah yang
diseretseret semut ke tubir pesta dengan pebuh perasaan puji syukur seakan
turut mendoakan sila ke lima pada setiap episode selebrasi meja makan berikutnya…
Menu Sarapan Pagi
Telur
mata sapi yang engkau hidangkan pagi ini
Mengulurkan
anak kunci bagi rasa lapar dan keinginan berbagi
Karena
doa telah menjulurkan lidahnya
Mencicipi
setiap sudutnya penuh selera tanpa rasa berdosa
Secangkir
kopi dan sepotong roti
Memohonkan
ampunan atas khilafku kini
Karena
perasaan syukur telah berangkat meragi
Menapakkan
tilas jejak puisi di setiap denyut nadi
Kursi
Kursi
yang menghadap meja itu tertunduk takzim
Keikhlasannya
untuk menampung sepasang pantat
Tak
menjadikannya hina
Dia
hanya selalu berdoa, semoga kuat dan sentosa
Jangan
pernah patah salah satu kakinya
Justeru
ketika seorang atau pemiliknya
Berniat
menaruh tubuhnya
Dengan
semena-mena
Di
seperempat dunia, kursi menjelmammenjadi ayat yang kudus perangainya
Sebaliknya,
di belahan bumi lainnya, setiap tangan ingin menggapai
Dan
kekal mendudukinya
Serpihan Serpihan Abad
Selalu
kita punguti serpihanserpihan abad
Dengan
hati yang penuh galau dan tangan yang terbasuh
Mulut
kita bicara dlam bahasa kemarau
Mata
kita mencatat pemandangan darah. Di manamana
Di
belantara rambut peradaban yang kusut
Di
belahan dada selebrita beetina yang memantik syahwat
Di
otak para guru bernama televisi
Di
headline Koran yang menggadaikan nurani
Selalu.
Akan kita punguti irisanirisan mimpi
Yang
terserak dengan tawa gelak.
Karena
terlanjur kepayang mabuk
Bergelasgelas
air api menyulap igauan menjadi harga
Yang
tercantum pada sehelai dasi
Di
sebuah negeri tempat tinggal para pendusta
Nyatanya
masih menyisakan ruang aman untuk sembunyikan amsal
tentang
dosa
Karena
itu, selalu harus kita punguti serpihan Abad
Seperti
sisik planet
Terkelupas.
Lusa tumbuh lagi. Setidaknya pada retina kita
Yang
kemarin menjanjikan airmata
Rekwim
:adinda Niana
Gerimis
dn upacara perkabungan segera bertukar di ketiak siang
Yang
tibatiba menghablur ke dalam plasma darah
Telah
kutitipkan airmata pada harum bunga kamboja
Begitu
paham nasib telah memisahkan langkah di tikungan itu
Tetapi
maut telah meminta sekon sejenak berhenti. Di sini
Di
tengah arung napas kehidupan yang memburu. Sekejap tafakur
Menyekat
jarak selaksa di ambang kuburmu:
Alfa
et Omega
Selamat
jalan, Ruhmu yang mengembara
Pulang
Selalu akan kita rindukan sebuah
sarang yang terajut dengan sederhana
Selalu akan kita impikan hidangan
seporsi hati dalam senyum tak terkunci
Selalu akan kita labuhkan penat
pengembaraan ke dermaga ini
Ketika kita mengerti bahwa waktu
dengan sabar menunda denyut arloji
Maka izinkan seulas slam membekap
sunyi di sudut serambi
Bersiap mandi, makan malam, dan menjemput
mimpi
Melucuti langkah pencuri,
berseteru dengan tarikan nafas birahi
Gelegar
Lapar
Pada ranum wajahmu
Aku tak tahu musim apa di matamu
Pada bugar dedaunanmu
Aku tak mengerti apa tersimpan di
akarmu
Pada liat cintamu
Aku tak paham kelindan nasibku
Karena
Ampunan
Bukan
noktah, bukan zarah
Apalagi
larutan maghrib yang tertumpah
Maka gegar laparku adalah benalu
Sembunyikan
ke lain sisi dunia
Seperti aib dan porak bahasamu
tak pernah ketemu kamusnya
Pada kenyal dzatmu
Mengalir deras sungai darahku
A
Last Affair
Di kencan kita terakhir aku
memindai senyummu
Di antara ingatan daftar menu dan
pelayan santun menunggu
Bukan, engkau bukan kekasihku
pertama dan terakhirku
Hanya balutan tilas wangi begitu
hadir menyergapku
Seandainya uap sup itu segera
mengajak kita merantau
Dari ranah hati ke pulau sunyi.
Dan direnggutnya yang
Tak pernah kekal pada lidah.
Maka ulurkan setangan agar mampu
mengampu airmata
Irisan bawang telah mengingatkan
bahwa seledri harus
Menepi di selembar piring
Sebelum fajar bersekutu matahari
dan menakar luka ini
Diposkan, 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar