Kamis, 26 September 2013

Antologi Puisi Jawa Pos 3



Antologi Puisi Jawa Pos 3

HERU MUGIARSO
Lahir di Grobogan, 2 Juni 1961. Bergiat di komunitas Kumandang Sastra. Pada 2003 meraih Komunitas Sastra Indonesia Award dan pada 2008 puisinya masuk 100 Puisi Indonesia Terbaik. Buku puisinya terkini, Tilas Waktu, menghimpun puisi yang ditulisnya sejak 1977.
                                                                        (Jawa Pos, Minggu: 4 Desember 2011)


Elebrasi Meja Makan
Maafkan aku, piring. Aku sering memandangmu enteng lantaran selalu menyisakan bulirbulir nasi padahal dalam syukurmu engkau tak pernah membutuhkannya
Ampuni aku sendok. Aku sering mencibirmu karena engkau tak lebih dari pengganti kemalasan jemariku untuk menyuap rezeki ke moncong laparku
Dengarkan sesalku, garpu. Aku sering melampiaskan rasa kejiku melaluimu kepada sesama makhluk hidup yang menjadi korban nafsu dan seleraku
Maka, ijinkan untuk sekali ini aku membayangkan diriku sebagai remah yang diseretseret semut ke tubir pesta dengan pebuh perasaan puji syukur seakan turut mendoakan sila ke lima pada setiap episode selebrasi meja makan berikutnya…


Menu Sarapan Pagi
Telur mata sapi yang engkau hidangkan pagi ini
Mengulurkan anak kunci bagi rasa lapar dan keinginan berbagi
Karena doa telah menjulurkan lidahnya
Mencicipi setiap sudutnya penuh selera tanpa rasa berdosa

Secangkir kopi dan sepotong roti
Memohonkan ampunan atas khilafku kini
Karena perasaan syukur telah berangkat meragi
Menapakkan tilas jejak puisi di setiap denyut nadi


Kursi
Kursi yang menghadap meja itu tertunduk takzim
Keikhlasannya untuk menampung sepasang pantat
Tak menjadikannya hina

Dia hanya selalu berdoa, semoga kuat dan sentosa
Jangan pernah patah salah satu kakinya
Justeru ketika seorang atau pemiliknya
Berniat menaruh tubuhnya
Dengan semena-mena

Di seperempat dunia, kursi menjelmammenjadi ayat yang kudus perangainya
Sebaliknya, di belahan bumi lainnya, setiap tangan ingin menggapai
Dan kekal mendudukinya

Serpihan Serpihan Abad
Selalu kita punguti serpihanserpihan abad
Dengan hati yang penuh galau dan tangan yang terbasuh
Mulut kita bicara dlam bahasa kemarau
Mata kita mencatat pemandangan darah. Di manamana

Di belantara rambut peradaban yang kusut
Di belahan dada selebrita beetina yang memantik syahwat
Di otak para guru bernama televisi
Di headline Koran yang menggadaikan nurani

Selalu. Akan kita punguti irisanirisan mimpi
Yang terserak dengan tawa gelak.
Karena terlanjur kepayang mabuk
Bergelasgelas air api menyulap igauan menjadi harga
Yang tercantum pada sehelai dasi

Di sebuah negeri tempat tinggal para pendusta
Nyatanya masih menyisakan ruang aman untuk sembunyikan amsal
tentang dosa
Karena itu, selalu harus kita punguti serpihan Abad
Seperti sisik planet
Terkelupas. Lusa tumbuh lagi. Setidaknya pada retina kita
Yang kemarin menjanjikan airmata

 Rekwim
:adinda Niana
Gerimis dn upacara perkabungan segera bertukar di ketiak siang
Yang tibatiba menghablur ke dalam plasma darah
Telah kutitipkan airmata pada harum bunga kamboja
Begitu paham nasib telah memisahkan langkah di tikungan itu
Tetapi maut telah meminta sekon sejenak berhenti. Di sini
Di tengah arung napas kehidupan yang memburu. Sekejap tafakur
Menyekat jarak selaksa di ambang kuburmu:

Alfa et Omega
Selamat jalan, Ruhmu yang mengembara

Pulang
Selalu akan kita rindukan sebuah sarang yang terajut dengan sederhana
Selalu akan kita impikan hidangan seporsi hati dalam senyum tak terkunci
Selalu akan kita labuhkan penat pengembaraan ke dermaga ini
Ketika kita mengerti bahwa waktu dengan sabar menunda denyut arloji

Maka izinkan seulas slam membekap sunyi di sudut serambi
Bersiap mandi, makan malam, dan menjemput mimpi
Melucuti langkah pencuri, berseteru dengan tarikan nafas birahi


Gelegar Lapar
Pada ranum wajahmu
Aku tak tahu musim apa di matamu

Pada bugar dedaunanmu
Aku tak mengerti apa tersimpan di akarmu
Pada liat cintamu
Aku tak paham kelindan nasibku


Karena Ampunan

            Bukan noktah, bukan zarah
            Apalagi larutan maghrib yang tertumpah
Maka gegar laparku adalah benalu
            Sembunyikan ke lain sisi dunia
               Seperti aib dan porak bahasamu
                  tak pernah ketemu kamusnya
Pada kenyal dzatmu
Mengalir deras sungai darahku

A Last Affair
Di kencan kita terakhir aku memindai senyummu
Di antara ingatan daftar menu dan pelayan santun menunggu
Bukan, engkau bukan kekasihku pertama dan terakhirku
Hanya balutan tilas wangi begitu hadir menyergapku

Seandainya uap sup itu segera mengajak kita merantau
Dari ranah hati ke pulau sunyi. Dan direnggutnya yang
Tak pernah kekal pada lidah.

Maka ulurkan setangan agar mampu mengampu airmata
Irisan bawang telah mengingatkan bahwa seledri harus
Menepi di selembar piring

Sebelum fajar bersekutu matahari
dan menakar luka ini 

Diposkan, 26 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...