Rabu, 27 November 2013

Puisi Riza Multazam Luthfy



Antologi Pusi Jawa Pos VII

RIZA MULTAZAM LUTHFY
Lahir di Bojonegoro, 9 November 1986. Puisi-puisinya bertebaran di berbagai media, juga dalam antologi Karena Aku Tak Lahir dari Batu (2011) dan Kutukan Negeri Rantau (2011). Ia ahlul ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program magister hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
                                                                                                Jawa Pos, 15 Januari 2012


Katakan, Bulan
lekas katakan
bahwa cahaya
yang bergelantungan
di lehermu itu tiruan
                        Yogyakarta, 2011

 Aku Menemukan Bulan
tengkurap di bibir selokan
                        Yogyakarta, 2011

Gembel
memang susah hidup begini
diam, gerak, pantas dicurigai

nemu rejeki dikira mencuri
obral puisi diciduk polisi

lebih enak pemburu mimpi;
muda bisa mandiri
tua terbesar hati
mati gali kubur sendiri
                        Jakarta, 2010

Satu yang kupunya
kau punya sinar
               ku tak
kau punya besar
               ku tak
kau punya dengar
               ku tak
kau punya lebar
               ku tak
kau punya kejar
               ku tak
kau punya tegar
               ku tak
kau punya kekar
               ku tak
kau punya pintar
               ku tak
kau punya segar
               ku tak
kau punya tenar
               ku tak
namun,
kupunya benar
               ku tak
                        Malang, 2008

Indonesia
memang benar kata Eyang Uti
negeri kita ini: gemah ripah loh jinawi
bertanah subur setengah mati

bayangkan!
jika kautancapkan
pohon singkong kelak kau ketam

makanya, jangan terlalu menyalahkan
bila banyak orang punya hobi menanam

juga tak usah heran
bila tetangga bilang:
            “tanam aham, timbul penipuan
            tanam pajak, muncul penggelapan
            tanam hutan, lahirlah pembalakan
tanam uang, jadi PNS gadungan”
karena itu, mulai sekarang kita berjanji:
melestarikan kebiasaan ini sepenuh hati
melaksanakannya hingga akhir hayat nanti
syukur-syukur bisa mewariskan tata caranya
kepada anak-turun tercinta
                                    Yogyakarta, 2011

Teroris Sejati
tahun 2009 Paman Joni
tertangkap di luar negeri
dengan wajah awut-awutan
bulu kumis lumayan panjang
memakai celana warisan Mbah Ujang

penduduk kampung heran
kenapa paman terlibat aksi perampokan,
pemerkosaan, juga pengeboman di sana-sini
padahal ia dikenal sebagai pengangguran
yang baiknya setengah mati

saat diiterogasi, jawabnya sederhana sekali:
“aku cuma balas dendam kepada puisi
berbulan-bulan ia lupa memberiku nasi”

karena kesalahan terbukti
hakim menjatuhkan hukuman mati
paman begitu stress, ia ingin bunuh diri
tapi ia sadar, buat apa nyawa dihabisi
lha wong sebentar lagi kepalanya ditembak polisi

TV memberitakan
bahwa setiap malam LP Sikutang
kebanjiran keringat dan air mata
setelah diusut, ternyata itu ulah paman
yang ingin menjalankan taubat
menyesali dosa sewaktu di dunia

kehadiran paman menimbulkan suasana seru
para napi disibukkan dengan kerja baru:
sambil terharu, mereka kumpulkan cairan tubuh paman itu
memasukkannya dalam kuali, lalu menaruhkannya dalam lemari

awalnya ada napi sakit gigi
yang iseng meminumnya
di luar dugaan, belum sehari
penyakit kabur dan tak mau kembali
berbondong-bondonglah napi ingin menenggaknya
meneguk berbotol-botol hingga buncit perutnya
juga memoleskan ke gatal yang sudah lama dipelihara
luar biasa, segala penderitaan lenyap seketika

ketika masa eksekusi tiba
paman ditangisi seluruh penghuni penjara
mereka segera kehilangan tokoh yang selama ini dipuja
disebut-sebut nama serta segenap jasanya

paman keluar dari sel dengan wajah tenang
spanduk-spanduk mengucapkan:
“Hidup pejuang! Hidup pejuang!
Selamat menempuh kehidupan
Yang lebih dari kenyataan”

saat itu, aku masih ingat
sebelum berubah mayat
paman memeluk bokong emak begitu erat
                                    Yogyakarta, 2011

Jilbab
membungkus aurat
meredam syahwat
menunda kiamat

sekaligus menahan
otak pacarmu dari maksiat
dan berpikir bejat
                                    Malang, 2010

Ayu Ting Ting
akhir-akhir ini 
nama adik melambung tinggi
ia didaulat sebagai penyanyi
bersuara merdu nan seksi
tanpa menyuguhkan ngebornya
penggemar sudah ngiler dibuatnya

saban hari
jutaan orang menaruh hati
mereka tergiur penampilannya
            bokong asli Indonesia
            tapi tampang berbau Korea
guna mengunyah mimpi
sementara, kuliah dipaksa berhenti
alasannya sukar ditolak logika:
            “kampus urung mengantar mahasiswa
            menjadi tokoh berguna bagi negara
            paling-paling cuma pengangguran ternama
atau pejabat yang susah dipercaya”
hingga puisi ini tercipta
aku masih turut berbangga
sebab tarif adik makin menggila
beratus lipat dari gaji paman
yang berstatus buruh pendidikan
            (nasib pantas dipertanyakan
            13 bulan menunaikan persyaratan
janji sertifikasi belum juga diturunkan)
Adikku sayang
popularitas bisaskau perjuangkan
rupiah boleh kau kejar mati-matian
asal waktu sembahyang kau pelihara
firman Tuhan senantiasa kau baca
kehormatan orang tua tetap kau jaga
                                    Yogyakarta, 2011


Minggiran, 27 November 2013

Senin, 25 November 2013

Puisi "HIV"

               Dia Meregang Nyawa
                    (Luluk Nur R.)
Kawan…
Kau tak pernah tahu
Orang yang sangat aku sayangi
Sekarang terkapar
Sekarang tak berdaya dan meregang nyawa
---
Dulu
Paman pamit ke kota tuk cari sesuap nasi
Tapi setelah sukses
Dia banyak hamburkan uang demi night club
Hingga … kata bapakku
Paman suka berganti-ganti pasangan
---
Kawanku, bapakku juga bilang
Paman terserang Human Immunodeficiency Virus
Virus mematikan hingga akibatkan aid
Hingga kekebalan tubuh paman hilang
Dan rentan terhadap penyakit
 ---
Lihatlah, Kawanku…
Lihatlah dia
Dia yang dulu tampan gagah perkasa
Sekarang tinggal tulang berbalutkan kulit
Pucat wajahnya bak mayat hidup yang tinggal menunggu giliran
---
Giliran apa, Kawan?
Yach… dia tinggal menunggu giliran dijemput Izroil
Izroil sang pencabut nyawa
Karna itu
Aku harus siap, Kawan…
Relakan kepergiannya
---
Tapi, Kawan… selama dia masih hidup
Jangan kucilkan pamanku
Jangan jauhi dia
karena paman membutuhkan bantuan dan dukungan
tuk bisa lanjutkan sisa hidupnya dengan tanpa beban
dan siap pulang ke rahmatullah dengan ikhlas
---
Untukmu, Kawan… untuk kita semua
Waspada jika kita berobat
Juga waspada bila kita transfusi darah
Kita pinta kepada dokter
Jarum suntik yang baru
Agar kita tak menjadi bagian dari paman
                        Minggiran, 11 Oktober 2013



Senin, 04 November 2013

Puisi Ferdi Afrar (Jawa Pos)



Antologi Puisi Jawa Pos VI
FERDI AFRAR
Lahir di Surabaya, 9 April 1983. Penikmat seni rupa dan sastra. Berproses bersama Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
                                                                        Jawa Pos, 8 Januari 2012


Mitos Kamar Tidur
Terimakasih untuk Widya dan Anhar
Terimakasih kamu persilahkan aku bercermin di kepalamu, meski rambutmu telah beruban dan rontok, masih saja nikmat bersolek dan memantas-mantaskan topiku. Biar aku tak malu bila bertemu kamar tidur.

Terimakasih kamu perkenalkan aku kepada kamar tidurmu. Di tubuhnya yang bergambar batik dan bunga-bunga, tersimpan banyak biji mata. Kamu tunjukkan bagimana menyeka airmatanya bila ia sedang berduka. Dan menusuk-nusukkan luka bila ia keras kepala. Kamu ajarkan ia menjadi anak yang tak boleh tumbuh dewasa. 

Lima Menit dari Televisi
Kami seperti mencari
padanan yang pas
dari rongsokan mitos
dan ketakutan
            Esok hari bagi kami
            seperti lubang hitam
dan kami pasrah saja.
Atau barangkali
kami hanya mampu
sekali bergaya,
membeli sebatang rokok,
            nampang di depan
            kamera handphone
            melipat bibir paling seksi,
klik
            Ah, kami memang
            setolol mereka
            dalam televisi dan poster.
Selalu menenggak racun
dan pura-pura tertidur


Blur
setelah kesedihan meninggalkanku, siapa lagi yang sudi merawat semua luka yang menahun di tubuhku. ketika kegembiraan juga menutup jendela rumahnya, saat aku ingin mendengarkan dongeng dari mulutnya yang merah.
:hanya angin yang meniup daun-daun kering debu seperti segerombolan kutu menggatali mataku yang seperti batu.

Pria Bersorban Hitam
1
Siapa mengetuk pintu sepagi ini. Tanpa salam maupun ucap permisi.
Aku buka pintu pelan, ada seorang pria bersorban hitam berdiri
di teras depan. “Bapak siapa?” kataku. Belum sempat tanyaku dijawab,
ia sudah melangkah masuk. Bukan lewat pintu, tak juga jendela.
ia begitu saja hadir seperti udara. “Mencari siapa Pak?” kataku lagi.
Tapi ia telah duduk di kursi ruang tamu sambil merokok. Aku bingung.
Aku masuk ke dalam kamar. Ia sudah rebahan di atas ranjang
memeluk istri dan anakku. Aku berlari ke kamar mandi.
Ia telah telanjang, mengguyur air dengan gayung sambil bersiul.

2
Di ruang tamu masih kulihat ia duduk, diam. aku takut.
Tiba-tiba ia berkata:”Aku ingin menjemputmu”. Aku kaget.
“Mau kemana Pak?” tanyaku. Ia jadi diam. Aku gemetar.
“Baik Pak…, tunggu sebentar, aku akan berkemas.”
Aku habiskan dulu secangkir kopi mimpi.
Kukenakan dulu sarung coklat kesayangan.
Aku sisir rambut dulu. Setelah itu kupakai baju koko putih pemberian istri.”
Tiba-tiba ia menyeretku. Hai…

3
Pria itu menurunkan aku di balai desa.
Tapi kenapa disini ada ibu dan ayah?
“Ibu dengan Ayah menyambut kedatanganmu Nak,” katanya.
Aku juga melihat Marni istriku, bersama Ayu anakku.
Mereka melambai kepadaku. Aku tersenyum.
Pakde, Bulek, juga datang. Pak Wasis dan Sartono,
tetangga sebelah menyapaku. Kemudian Rudi temanku,
menepuk bahuku dari belakang. Ia menjabat tanganku.
Semua orang di balai desa berjabat tangan, seperti lebaran.
Setelah itu kami kenduri bersama, di dalam tanah.
Bersama urukan jerit, tangis, dan tanya.

Singgah

Ia menengadah ke angkasa

Seperti ada yang menatapnya manja bersembunyi di sebalik
awan, di antara kerumunan kicau burung.

Seperti ada yang menyentil daun-daun dan juga jemuran sarung.
seperti ada yang melambai, yang membuat rambutnya terburai.

Seperti ada yang menggemerincingkan air, melumutkan dinding.
seperti ada yang berbisik, merambat di kuping.

Seperti ada yang menggesitkan cahaya di dedahan, kemudian
menggambar di permukaan. seperti ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan.

Seperti ada yang menunjukkan jalan kepada debu, membuatnya
bersayap seperti kupu-kupu kemudian hinggap di matanya.

Seperti ada yang memberinya kado waktu, tempat ia menanggalkan amuk di tubuh memudarkannya di angkasa.

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...