Iqbal
Awal pernah bergiat di Komunitas Kembang Merak, Jogjakarta. Berhenti sementara
karena melakukan penelitian di Sukabumi untuk penyusunan skripsi bertema
sejarah kuliner, sejarah mocha;
relevansi kemunculannya dengan huru-hara tahun enam puluhan hingga akhirnya
diklaim sebagai makanan asli warga kota. Sedang menyiapkan buku cerpen berjudul
Noni di Tiga Sesi.
Jawa Pos, 25 Maret 2012
… di waktu
1959
tak
akan takut
ia
kalungkan saja maut lalu mencatut
raut
raut tersudut yang kalut yang semrawut karena
waktu
tak
perlu restu
ia
tusukkan saja paku lalu memalu
hulu
hulu beku yang jemu yang palsu karena
waktu
tak
pernah pamit
ia
acungkan saja sabit lalu menguntit
hingga
birit orang orang sipit terbirit birit
1963
Ia
waktu
Yang
memangkas culas memeras rupa-rupa malas
Ia
waktu
Yang
menebas ganas menggilas rupa-rupa culas
1964
rona-rona
memelas di teras, bermata kering berkulit kuning
harapkan
belas untuk bernapas, di antara sumpit dan karung beras
Si Bulat Mini
kami
mochi si bulat mini
berkalung
nasib yang sudah musti;
diadili
untuk mati di tangan gigi dan gusi
namun,
taukah kalian sebelum kami menjadi
seperti
mani, kami pun melewati mati suri;
kami
mewujud, mengerak dari keringat pangkal lengan
yang
telampau kurus
kami
membulat, mengenyal kumal oleh remasan penuh
daya
yang terlampau keras
kami
merapat, berdesak sesak di kubus berbahan bambu dari alas yang mulai meranggas
lalu,
napas-napas
membuat kami basi
menyusut
keriput merengut kusut
lalu
kami, membatu
lalu
batu, mewaktu
lalu
waktu, menyapu
kami,
berserak
di kandang kandang ternak
bersama
dedak sapi dan babi
kami
mocha, si bulat mini
Kun Fayakun
muncullah
aku, memergok kerancuan di padang huru-hara
di
tepi jurang dendam yang teramat dalam aku mewujud, mengoyak
ketimpangan
sudut pandang yang belum tertafsir, belum terkaji
ketika
nurani mati di kelamnya hati
Melankoli Dengki
rapat,
melekat
bagai baut yang merekat
pada
besi tua berkarat;
ia dan dia masa itu
sementara
kita,
hanya
mampu memandang
tanpa
mampu mengangkat rupa;
tertunduk
pun tiada bisa
kita
rasa pengap,
menyergap
asa
yang
terlampau banyak berharap
dan
mereka; ia dan dia
adalah
semesta warna sejagat harga
kita,
lagi
lagi kita; kau dan aku
terjerembap
dengan mata sembab
terjebak
di antara serak serak
hasrat
yang mengerak;
di
benak
Oktober,
2011
Terima kasih sudah mengabadikan puisi saya, salam.
BalasHapus