Lahir
di Surabaya, 3 April 1986. Bergiat bersama Komunitas Rabo Sore dan Sastra
Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini ia tinggal di Sidoarjo.
Jawa Pos, 6 Mei 2012
Naga Air
Menikmati
Nyonya Mao berjalan di atas atap kayu
Kesehatan
itu masih menyemburkan air
Pertanda
datang segenap peruntungan
Atau
kesialan pada hari mendatang
Antara
rumah yang disembunyikan berjuta bambu
Dan
penyair lupa pada ikhwal rembulan itu
Sepasang
bocah menyelinap
Pada
pintu rahasia, pintu menuju tidur kami
Kota-kota
sepi yang menerima doa air di kaki
Yang
dipijak ke dalam tubuh atau dipendam
Sebagai
dendam para kami yang masih
Menginjakkan
kaki, dendam kami pada leluhur
Pada
kata-kata yang pulang mendahului kami
Aih,
kembang yang melayang itu
Menyampirkan
salju di kepala kami
Yang
berada di bawah garis mimpi
Sedetik
pun, sedetik pun
Kami
telah lupa bagaimana menyalakan dupa
Pada
malam merah kami. Aih, adab langit
Yang
memerangkap langkah-langkah kami
(2011)
Lulabi
Agar
kedipan kunang itu
tak
kenal jalan kabur kami
Agar
rembulan telat datang itu
rabun
jejak kami
Masuklah
dalam kota
yang
tak ada
dalam
hari-hari kami
(2011)
Bulan Mengambang
Dari
atap rumahmu, ada bulan mengambang yang tumbuh. Ia begitu cepat. Begitu cepat
meluncur di atas kepalaku. Kepala yang sakit ketika kota-kotamu dikepung hujan.
Hujan semalaman.
yang
menyebabkan pria akhir bulan itu urung bertandang ke dalam rumahmu. Rumah yang
masih setia menyimpan bulan mengambang. Sungguh, bila kamu dengar jarum jam
meluncurkan kitar bungkuknya, pria itu akan memulai resahnya
dan
mendongakkan kepalanya. Ke selingkar dahi langit. Ke sela kantung hujan. Hujan
yang turun pada awal bulan kedua. Bulan ketika sekali lagi kamu bermimpi
tentang bulan mengambang itu, yang melintas cepat. Cepat. Seperti mimpi
kanak-kanak yang ingin menemukan jalan pintas ke langit sana. Tapi bulan
mengambang itu sungguh-sungguh tak mau
singgah
bukan?
(2011)
Langkah Puisi
Jangan
terlalu cepat Paduka. Pelan saja. Pelan belaka. Seperti langkahnya sebelum
menjadi Budha. Atau selamban tingkah pertapa kala berjumpa dengan ia sang
pembawa. Pembawa iman atau ilham. Atau seperti ia yang berdiam dalam gua. Yang
dikejutkan oleh suara tak terduga.
Pelanlah.
Perlahan saja Paduka. Serupa kata-kata mulai lamban. Kata yang lalu berubah
manjadi benih, ranting dedaun, bunga, sampai buah di atas kertas. Dan ia
mengiranya sebagai puisi. Atau sesuatu yang mirip puisi. Lamban. Melambanlah,
seperti langkah puisi itu akan dibacakan.
(2011)
Lain Ayat
di
sisi sebuah kamus ia tenang
berdiam
dan menantikan sesuatu yang lain dating
ia
tak ingin pulang pada kitab rentan juga para penyair usang
ia
diam menantikan yanglebih bulan dari rembulan
yang
tak pernah ada dan tak kunjung ia temukan
tapi
di tepian kamus ia tetap tenang
(2011)
Aku Memakan Puisiku
aku
memakan puisiku.
Ia
yang terluka.
Kata-kata
hilang dan lupa pada namanya.
Ia
tak dapat mengingat kejadian atau sebuah perihal yang melayang di atas
kepalamu.
Buka,
bukalah jendelamu, bila ingin kau lupakan ia yang tinggal bebangkai saja
(2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar