HIKMAH DARI SEBUAH KEGAGALAN
Di
tengah-tengah kompetisi pendidikan saat ini, sudah menjadi tradisi masyarakat
untuk berlomba menyekolahkan anak ke sekolah yang bergengsi. Tidak terpikirkan
apakah si anak mampu atau tidak mengikuti pelajaran di sekolah tersebut, biaya
yang dipakai nanti apakah sudah siap atau belum. Yang penting anak lolos di
sekolah favorit dan bergengsi dulu, baru biaya dan lain-lainnya akan dipikirkan
nanti.
Hal
seperti ini tidak menjadi prinsip aku dan suami. Karena kami tahu kemampuan
kami. Kami akan melakukan apa saja semampu kami. Tapi kami juga ingin mencoba
apa yang terbaik untuk anak. Mencoba mengamini keinginan anak.
Anakku yang
pertama (laki-laki) ingin melanjutkan di sebuah SLTA RSBI favorit di kotaku.
Hal ini tak lepas dari motivasi suami dan aku sendiri. Apalagi aku seorang
guru, tentu menginginkan anak-anakku sekolah di tempat yang dia mau. Walaupun
letaknya cukup jauh, kami akan berusaha memfasilitasi anak untuk menimbulkan
semangat belajarnya.
Saat yang
ditunggu tiba, pengumuman hasil UNAS pun disambut suka cita oleh warga sekolah
anakku, karena lulus seratus persen. Akan tetapi kegembiraan anakku tak begitu
lama. Hal ini disebabkan oleh putusnya suatu persahabatan yang mengakibatkan
anakku begitu depresi. Semangat sekolahnya hilang begitu saja, dalam waktu
singkat kondisi tubuhnya turun drastis. Kami selaku orang tua sangat
kebingungan menghadapinya. Hingga hari pendaftaran sekolah yang kami tuju buka.
Terpaksa kami
(suami dan aku) mengalah untuk tidak ngantor karena harus menemani anakku
mendaftarkan diri di sekolah favorit tersebut. Kami yang repot ke sana kemari, karena
anakku dalam kondisi pasif dan diam seribu bahasa. Hal ini sampai pada tahap
wawancara dan tes tulis.
Aku tak
mengira kalau ternyata dalam wawancara ada hal yang “tersembunyi”. Sumbangan
yang besar ternyata ikut mempengaruhi lulus tidaknya calon siswa. Padahal dalam
blangko yang kuisi, mulai fasilitas belajar di rumah, kesiapan membayar
bulanan, sampai gaji kami selaku orang tua, dll, insyaallah aku optimis kalau
anakku bisa lolos. Apalagi otak anakku tidaklah terlalu memalukan. Kami yakin,
sampai suamiku menjanjikan jika anakku lulus akan dibelikan sepeda motor baru.
Allah
menentukan lain, anakku tidak lulus. Kegagalan itu semakin membuatnya jatuh mental. Dengan
memohon kepada Allah kami selaku orang tua memberikan motivasi dan membesarkan
hatinya dengan mendaftarkan ke sekolah lain yang dia inginkan. Ternyata dia
memilih sekolah yang di situ ada teman-teman dekatnya sewaktu di SLTP, yaitu
grupnya di OSIS dan Pramuka.
Meskipun pada
dasarnya aku kecewa dengan keputusannya, aku berusaha untuk berlapang dada
sambil mengikuti perkembangan mentalnya semenjak dia terpuruk. Hari-demi hari
dia lalui dengan perubahan karakter. Dia begitu tertutup, keras kepala, dan malas
beraktifitas. Setiap pagi kami harus membangunkan begitu lama, pun waktu sholat
dia tidak menyegerakan untuk melakukannya. Kami jadi sedih sekali.
Dalam waktu
beberapa bulan ini, dia sudah beberapa kali minta izinku untuk absen. Dia mulai
gampang sakit, entah flu, demam, atau sakit ringan yang lainnya. Aku pun jadi
enggan untuk membuatkan surat izin, karena sudah beberapa kali minta izin. Aku berharap jika
dia absen tanpa surat, akan mendapat teguran dari sekolah. Tapi sampai saat aku
menulis ini, belum pernah aku dipanggil ke sekolah karena absennya.
Alhamdulillah
Allah masih sayang kami. Seandainya anakku lulus di sekolah favorit tersebut,
bagaimana dia bisa menjalaninya? Sedangkan bangun pagi saja, dia masih butuh
pertolongan. Dengan bersekolah yang jaraknya jauh, kami akan kesulitan
mengontrol pergaulannya. Karena semakin luas pergaulan akan membawa dampak yang
mengkhawatirkan. Jiwanya yang labil, tentu akan mudah terpengaruh oleh hal-hal
yang negatif. Apalagi yang namanya “coba-coba”, pasti akan disukai oleh anak
remaja sepertinya.
Dalam keadaan
ekonomi yang sedang dalam keadaan kurang baik, suamiku ingat akan janjinya
untuk membelikan sepeda motor baru jika anakku lulus. Rupanya Allah sudah
mengatur semuanya, di antaranya kegagalan anakku masuk SLTA tersebut. Kami tak
bisa membayangkan jika anakku harus
bersepeda motor ke kota
tiap hari. Dia belum bisa memperoleh SIM karena baru berumur 15 tahun.
Kekhawatiran di jalan maupun pergaulan sangat menghantui kami.
Dari sinilah ,
kami (aku dan suami) mengambil hikmah yang luar biasa. Dengan dia masuk SLTA
pilihannya, yakni di sebuah yayasan tempat aku mengajar. Maka sedikit demi
sedikit aku mulai menerima nikmat yang diberikan Allah. Anakku mulai aktif
kembali bersama teman-temannya. Sementara dia belum mau berhubungan dengan
teman-teman wanita. Apalagi dia mulai aktif kembali dalam kegiatannya, bahkan
masuk anggota Pramuka Saka Bhayangkara di kotaku.
Kami bisa
mengontrol semuanya, pikiran kami tak terbebani lagi dengan apa yang dilakukannya.
Teman-teman pergaulannya sudah kami ketahui semua, seberapa jauh dia
melangkahkan kaki insyaallah sepengetahuan kami. Karena dalam mengambil
keputusan apapun anakku selalu minta izin pada kami.
Kegagalan
anakku berarti kegagalan kami juga sebagai orang tua dalam mendampingi di
jenjang pendidikan. Alhamdulillah, kami selalu bersyukur kepadaMu ya Allah.
Karena di balik kegagalan itu, terdapat rencana-rencanaMu ataupun hikmah yang
kami belum mengetahui sebelumnya.
September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar