Haruskah Ku Menjanda?
Di sela kesibukanku menggembala itik milik
nenek, aku masih sempat menyusui anakku yang masih berusia 3 bulan. Anakku yang
lucu, baru bisa melihat indah dan kejamnya dunia. Termasuk aku, salah satu dari
sekian banyak yang kejam dari dunia ini. Satu-satunya bagian dari hidupku
sempat hampir kusirnakan dari dunia ini. Di tepi jurang itu… oh… setan mana
yang hampir berhasil merayuku untuk melenyapkan kami, aku dan anakku yang
nyaris meloncat ke jurang yang sangat curam. Namun, rupanya takdir berkata lain. Tuhan
masih sayang kami, buktinya Tuhan mengirimkan seorang nenek untuk menggagalkan
perbuatan terkutuk itu.
Nenek yang sabar itu, bukan siapa-siapaku.
Dialah yang kini menampungku bersama anakku entah sampai kapan. Di sinilah aku hidup, menemukan kasih sayang
sejati. Padahal..
“Melan... sudah sore Nak, Bagus dimandikan
dulu ya... baru kamu mandi! Biar seger!. Itiknya biar nenek yang masukkan ke
kandang”, kata nenek membuyarkan lamunanku.
Yah, namaku Melani keturunan Tionghoa.
Anak tunggal dari papa dan mama yang sibuk menggeluti perusahaannya. Aku
kesepian di tengah segala kemewahan duniawi di rumahku sendiri. Mama dan papa
terasa asing bagiku. Hanya bi Parni yang selalu melayani kebutuhanku
sehari-hari. Karena pagi buta kedua orangtuaku harus segera berangkat mengurusi
ini dan itu ke kota
lain. Pulang-pulang aku sudah dalam keadaan terlelap. Hari Sabtu
dan Minggu aku baru bisa bertemu mereka, itupun kalau mereka tidak ada acara
mendadak.
Aku ingin mencari sesuatu yang menyenangkan
di luar sana,
aku banyak bergaul dengan teman-teman, baik itu teman sekolah, organisasi,
ataupun teman hura-hura. Bersembahyang atau renungan malam, itulah alasan yang
tepat apabila aku tepergok papa dan mama
jika pulang kemalaman. Mereka percaya begitu saja dan membiarkan aku segera
menghempaskan badan ke pembaringan sambil membayangkan segala keindahan yang
telah kureguk seharian. Aku tak peduli mama papa, begitu juga mereka tak peduli
dengan aku. Yang penting mereka telah mencukupiku dengan materi untuk kebutuhan
lahiriahku.
“Cup..cup..sayang..! mama sudah selesai
mandi nih..kamu haus ya... aduh kacihan… anak mama”, hiburku pada sang buah
hati sambil menyusuinya. Sentuhan kulitku, dekapan hangatku, dan mengalirnya
air susuku di dalam tubuhnya membuat ikatan batin kami menguat. Tangisan,
rengekan, bahkan yang mungkin dirasakan
sakit seakan sirna dan terobati hanya dengan dekapan lembut dan belaian kasih
sayangku padanya.
“Apa nggak dicoba dikasih pisang Melan,
biar cepat kenyang dan gemuk”, kata nenek mencoba membantuku. Maklum orang tua,
tidak banyak tahu tentang perkembangan ilmu kesehatan.
“Nggak Nek, kata dokter, Bagus boleh
dikasih makan nanti kalau umur 6 bulan. Asi sudah mencukupi kok Nek, biar aku
saja yang banyak makan, biar Nenek nggak kebagian nasi nanti..”, selorohku pada
nenek.
“Biarlah, nggak apa-apa yang penting kamu
dan Bagus harus kenyang dan sehat. Lihat nih… cucuku mulai gemuk aduh pipinya
menggemaskan!, sayang cucu nenek sudah mendahuluiku karena demam tinggi,
seminggu kemudian ibunya menyusul dengan penyakit yang sama. Sekarang ada
kalian, ada teman untuk sisa hidup nenek”, kata nenek sambil mengusap air
matanya.
“Iya Nek, di sini aku merepotkan Nenek,
aku akan membantu pekerjaan Nenek sebisa mungkin sampai entah kapan hubunganku
dengan kedua orangtuaku membaik lagi”, sambil aku berjanji dalam hati, kelak
jika kehidupanku membaik, Nenek ini akan kubawa di manapun aku tinggal.
Sementara ini mama dan papa tak
menghendakiku. Mereka malu atas hasil yang kubawa. Hasil janin dari hubungan
terlarang dengan pemuda keturunan Jawa. Dengan sangat marah dan kecewa, mereka
menikahkan kami di sebuah hotel berbintang di kotaku. Saat itu usia kehamilanku
sudah 4 bulan, lumayan kelihatan oleh para kerabat dan undangan yang hadir. Aku
tak menampik dengan pergunjingan mereka tentang ulahku karena memang ini resiko
yang harus kutanggung bersama suami dan anakku kelak.
Perbedaan etnis dan ekonomi yang mencolok
membuat mama dan papa tak mau mengakui suamiku sebagai menantu. Mereka
menghendaki menantu yang sepadan, konglomerat yang tidak membuat mereka malu di
hadapan teman-teman pengusaha. Apalagi aku putri satu-satunya yang kelak
mewarisi perusahaan dan anak-anak perusahaan di kota lain.
Saat aku akan mengikuti suamiku yang
hendak merantau mencari pekerjaan ke daerah lain, mama dan papa menolak
mentah-mentah, mereka mengancam akan membunuh suamiku. Mereka tak percaya
dengan penghasilan yang akan diperoleh suamiku. Yang pasti tak akan mencukupi
segala keperluanku dan anakku, pikir mereka.
Demikian seterusnya aku selalu dimarahi
jika menyebut nama suamiku, padahal kami saling mencintai. Aku haus kasih
sayang seorang suami yang menemani jika aku ke dokter, mengelus perutku jika
si kecil menendang-nendang dari dalam, membeli perbekalan untuk persalinan,
bahkan jalan-jalan di pagi hari. Itu semua tak kurasakan sampai akhirnya si
mungil lahir dari rahimku. Mama yang mengurusi ini dan itu, sementara
kedatangan suamiku tetap tak diharapkan. Sedangkan suamiku sendiri takut dan
minder dengan sikap kedua orangtuaku.
Anakku yang diberi nama Antonius dikuasai
mama, aku hanya diperlukan jika hendak menyusui saja. Terpaksa mama mengurangi
kesibukannya dengan mengambil asisten. Mama lebih mencurahkan perhatiannya pada
cucunya. Ternyata kehadiran anakku cukup mewarnai kehidupan kami. Mama betah di rumah, sore
hari papa juga cepat-cepat pulang demi menggendong cucunya. Lengkingan
tangisnya bahkan dirindukan jika dalam beberapa jam tak terdengar. Anakku,
ternyata membuat seisi rumah menjadi bahagia.
Yah kebahagiaan mereka tak sepenuhnya
kebahagiaanku. Mereka bisa menerima cucunya, tapi bersikukuh tak mau menerima
menantunya yang seorang Jawa miskin. Aku kian kalut memikirkannya. Kami hanya
bisa berhubungan lewat telepon. Kami saling merindukan, dia ingin sekali
menjenguk putranya, tapi selalu dihadang oleh satpam. Aku tak bisa berbuat
apa-apa.
Aku terus menanyakan statusku pada mama
dan papa, aku baru menikah disaksikan sekian banyak tamu undangan dan sekarang
punya anak. Sekarang aku harus sendiri tanpa suami sejak resepsi pernikahan
digelar.
“Si Miskin itu tetap nggak bisa masuk
dalam keluarga ini Mey, kamu harus
melupakannya. Kamu kena guna-guna Mey, dia itu melarat dia cari akal agar bisa
menguasai harta kita”, prasangka papa saat itu. Tak kalah sengitnya akupun
berusaha menjelaskan bahwa kami saling mencintai, dia akan berusaha mencari
pekerjaan. Tapi papa sinis dan bergeming pada pendiriannya. Aku
terkatung-katung dalam ketidakpastian ini. Aku stress berat, hingga malas jika
disuruh menyusui anakku.
Usai selamatan satu bulan anakku, mama dan
papa ada undangan pernikahan sepupuku di Bogor. Dengan pesawat, mereka akan
cepat sampai. Masalahnya, acara itu malam Minggu, sehingga mereka harus
menginap di hotel. Aku menolak ikut walau dipaksa dengan alasan si kecil belum
kuat untuk perjalanan jauh. Mereka menyerah.
Kesempatan baik, sepulang mengantar mereka
dari bandara, dengan alasan si kecil sakit aku minta Lek Paidi sopirku untuk
mengantar ke rumah sakit. Kusuruh sopir pulang menunggu teleponku di rumah jika
aku minta sesuatu. Kasihan, terpaksa aku membohongi sopir yang setia mengantar
kemanapun aku pergi.
Kutelepon suamiku di rantauan, di luar
dugaanku ternyata suamiku pengecut. Dia tak berani ambil resiko jika membawaku
lari. Seakan tak punya tulang, aku lemas sambil menggendong si kecil aku masuk
sebuah taksi di depan rumah sakit. Kutunjukkan jari arah Malang, sang sopir pun pegang kendali dengan
hati-hati. Jalan berliku, naik turun sempat membuatku hendak mabuk darat.
Berhubung anakku menunjukkan gejala hendak rewel, aku minta berhenti di rumah dinas seorang dokter di tepi jalan. Kubayar, taksi
segera melesat dari pandanganku.
“Nggak apa-apa, cuma kepayahan saja.
Sesampai di rumah seka dengan air hangat dan ditidurkan, jangan lupa asinya ya…”,
kata dokter itu. Kukasih ASI anakku di depan rumah dokter sambil berpikir
kemana aku harus pergi. Pulang, tak mungkin aku akan dimarahi habis-habisan
oleh papa. Ke keluarga di Malang,
pasti nanti juga dikembalikan ke rumah. Sementara suamiku belum bisa menerimaku
selama papa dan mama juga belum bisa menerimanya. Aku bingung, tak terasa aku
sudah berjalan sekian jauh di tepi jalan pegunungan itu. Malam hari tak begitu
banyak orang melalui jalan yang kulewati. Dengan pikiran kacau, anakku mulai
menangis kencang menambah pikiranku tak karuan. Aku pun berdiri di tepi jurang
itu, dan pikiranku kosong.
“Lho! Lho! Lho!,” tiba-tiba nenek sang
dewa penolong menyeretku ke belakang sampai anakku terlempar. Kami bertiga
bergulingan di rerumputan. Aku dibawa pulang nenek, dimandikan bersama bayiku, dirawat sampai beberapa hari baru aku
bisa bercerita pada nenek tentang kisahku. Untuk melupakan kebencianku pada
mama, nama bayiku kuganti dengan Bagus. Nama Jawa seperti bapaknya.
Aku sudah sehat, Bagus mulai tenang. Dengan
perbekalan yang kian menipis aku harus bisa membantu nenek mengerjakan apapun,
termasuk menggembala ternak peninggalan suaminya. Suatu saat aku harus
bekerja…, pikirku.
“Kamu nggak kangen dengan keluargamu
Melan?”, tanya nenek.
“Nggak Nek, aku takut disuruh cerai, menurut
Nenek gimana?”, tanyaku.
“Ya..mungkin maksud orang tuamu baik,
mereka nggak mau lihat kamu susah, kamu kan terbiasa manja. Semua keperluan
tercukupi dan sekali berteriak, semuanya akan tersedia. Semua kan sudah terjadi,
Melan. Seharusnya papa dan mamamu, ya… bisalah mencoba menerima. Daripada
begini, apa mereka tidak bingung nyari kamu ... Jangan-jangan nanti malah nenek
yang diciduk polisi,” kata nenek dengan nada khawatir.
“Emh… Nenek sudah bosan ya? Maaf ya, Nek …
aku tahu, kami merepotkan Nenek. Aku belum bisa memutuskan, Nek. Aku bingung
dan takut dengan kemarahan mama dan papaku. Mereka pasti akan mengambil Bagus
dari pelukanku, Nek. Sementara keberadaanku pasti akan diabaikan. Mereka lebih
menyintai Bagus dan bukan aku, Nek,” dadaku mulai sesak untuk berkata.
“Aku juga mengkhawatirkan Nenek. Suatu
saat aku yakin, pasti mereka akan menemukanku. Aku takut Nenek disalahkan,
padahal kan aku yang bersalah. Justru Nenek yang membuatku bisa setegar ini.
Aku juga merasa bersalah pada Lek Paidi, sopirku, Nek. Pasti Lek Paidi dimaki
habis-habisan oleh mama papa. Mereka pasti menganggap telah lalai dan sembrono
dalam bekerja. Lek Paidi dianggap menelantarkan kami. Aku tahu bagaimana
kebiasaan mama dan papa yang suka memaki-maki para pegawai. Mereka jahat, Nek”
kata-kataku nyerocos emosional.
“Bukan begitu, Melan. Nenek tidak
keberatan kalian berada di sini. Justru nenek senang sekali. Nenek punya
semangat hidup karena ada teman bercengkerama setiap hari. Nenek tidak ingin
berpisah dengan kalian. Hidup nenek nanti akan hampa kembali. Namun cobalah
berpikir. Selama ini, pasti orang tuamu kebingungan mencarimu. Nenek bisa
membayangkan, jika hal ini terjadi pada nenek. Apakah kamu tidak mencoba untuk
menghubungi orang tuamu dan mengabarkan bahwa keadaanmu baik-baik saja,” saran
nenek.
“Iya sih, Nek… yang pasti papa dan mama
bingung mencariku. Cepat atau lambat aku pasti ditemukan. Beri aku waktu
beberapa hari untuk berpikir ya, Nek. Aku akan mencari jalan untuk memecahkan
persoalan ini,” jawabku sambil termangu.
Ternyata sudah beberapa hari, aku masih
dalam keraguan untuk mengabarkan keberadaanku bersama Bagus pada orang tuaku.
Sebenarnya kami masih sehat-sehat saja, Ma… Pa…. Hanya saja, Kalian tak tahu
batinku yang selalu menangis jika ingat suamiku. Ah… bisakah aku berkata
seperti itu dihadapan mereka?
Yah, pasti keluargaku masih terus berupaya
mencariku. Uang tak sedikit pasti mereka keluarkan untuk mencari keberadaan
kami. Polisi, preman, saudara-saudara, pasti telah mereka kerahkan. Jika mereka
bisa menemukanku, justru aku yang khawatir. Mereka akan tetap pada
pendiriannya, bahwa aku harus bercerai dengan suamiku. Ah… haruskah aku…
Kediri, 24 Desember
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar