Les di Saat Hujan
Masih siang sebenarnya. Sekitar pukul dua siang. Aku
masih menerangkan materi les atau pelajaran tambahan kelas 9. Kalau dirasakan
sih… badan sudah capai karena mengajar dari pukul 06.45 sampai 13.00. Memang
tidak sekuat waktu muda dulu, maklum digerogoti usia.
Berawal dari mendung yang menggelayut sampai
akhirnya hujan turun juga. Semakin deras, kelas menjadi gelap meskipun diterangi
dengan lampu neon. Suaraku mulai tenggelam dalam suara lebatnya hujan. Konsentrasi
anak-anak pun mulai berkurang sehingga spidol yang kupegang kumanfaatkan untuk
menulis apa yang aku terangkan kepada anak-anak.
Usai menulis, aku pun beranjak untuk melongok
jendela depan kelas. Sesekali kutengok anak-anak yang sedang menulis.
Kupandangi aliran air hujan yang lewat saluran air depan kelas. Dalam curah hujan
yang cukup deras, aliran pun semakin deras juga. Satu demi satu sampah bekas
jajan anak-anak yang tidak termuat di tempat sampah hanyut. Berderet-deret
sambung-menyambung. Begitu aliran berbelok ke gorong-gorong kecil yang melewati
kelas di bawahku, air mulai berpusar di situ.
Satu ranting mangga mulai melintang di mulut
gorong-gorong menghalangi sampah yang hendak lewat. Sebuah plastik kemasan
snack berhenti di situ. Ada sedotan yang mengikuti hanyut di belakangnya.
Daun-daun mangga mulai menumpuk. Hingga akhirnya banyak sampah kecil yang
berhenti di situ.
“Ini baru aliran dan saluran kecil”, pikirku.
Kubayangkan sungai-sungai atau saluran air di kota-kota yang padat penduduk.
Betapa banyak sampah yang menumpuk di sungai-sungai. Akibat kurangnya kesadaran
masyarakat untuk membuang sampah di tempatnya. Masih banyak masyarakat yang
membuang sampah di sungai. Akibatnya
banjir.
Ku teringat masa kecilku di Surabaya. Gara-gara air
selokan yang sering mampet membuatku tidak kerasan tinggal di Surabaya. Saat
itu aku jijik melihat selokan. Apabila hujan deras, asrama tempat tinggalku
banjir. Karena itu aku sering terserang penyakit gatal-gatal di kaki. Haduuh
masa kecilku!
“Sudah, Bu!”, suara anak-anak membuatku tersentak.
Kembali lagi aku membahas tentang soal-soal UNAS Bahasa Indonesia. Berbicara
dengan suara keras sampai tenggorokanku terasa sakit karena memang suaraku
termasuk jenis suara yang tidak lantang. Untung anak-anak tidak seramai kalau
tidak hujan. Akhirnya anak-anak terpaksa kupulangkan jam setengah tiga karena
suasana yang tidak mendukung untuk belajar. Sedangkan jadwal sebenarnya jam
tiga baru pulang.
Keluar kelas menerobos hujan menuju ke kantor. Di
kantor masih ada teman guru yang
menunggu putrinya yang juga sekolah di madrasah ini. Kebetulan juga satu kelas
dengan puteriku. Kami pun berkemas untuk pulang. Kebetulan hari itu aku diantar
suami. Sedangkan anakku diantar kakaknya. Sehingga aku pun harus menunggu jemputan
suami.
Hujan agak reda, keluar kantor disambut banjir. Aku
enggan untuk nyebur ke air, dingin. Sikap usilku pun keluar. Aku minta bonceng siswiku yang mau
pulang sampai depan pintu gerbang. Nah, selamat dari genangan air. Berteduh di
rumah si embah yang punya warung depan kantor madrasah. Aku menunggu suami
sambil bercengkerama dengan beberapa siswi yang juga menuggu jemputan.
Sedangkan puteriku telah dijemput kakaknya.
Dalam sisa-sisa rintik hujan, akhirnya jemputan datang
juga. Beberapa siswa kulihat berjalan ke suatu tempat. Kutanya hendak kemana
mereka, ternyata masih mau menambah les pelajaran lagi. Masya Allah, aku sudah
capai begini. Ternyata anak-anak masih saja bersemangat menambah ilmu dari
beberapa guru. Tidak perduli suasana masih belum mendukung. Tentu saja karena
mereka ingin menyambut Ujian Nasional dengan penuh kesiapan.
Hujan telah menjadi saksi bahwa anak-anak begitu bersemangat dalam belajar. Semoga
anak-anakku diberi kemudahan dalam mengikuti Ujian Nasional di tahun 2013
nanti. Sehingga apa yang mereka harapkan akan terwujud.
Akhir November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar