Pagi
itu aku bersandar di pagar lantai dua depan kelas. Aku mematung di situ karena
rupanya petugas piket terlambat datang. Sehingga sewaktu aku masuk kelas,
petugas piket pun aku perintahkan untuk menyapu lantai kelas. Hal ini untuk
mendisiplinkan siswa yang terlambat. Juga untuk membiasakan menjaga kebersihan
kelas. Bagaimana bisa berpikir jernih kalau kelas dalam kondisi yang kotor?
Selain itu juga sebagai bentuk pertanggungjawaban piket untuk melaksanakan tugasnya.
Terpaksa
aku bersandar di pagar karena di dalam kelas penuh debu. Aku paling alergi
dengan debu. Ke mana-mana harus menutup hidung jika suasana berdebu. Aku bisa
langsung bersin-bersin jika udara terkontaminasi debu. Bolehlah… kalau terpaksa
ada yang mengatakan kalau aku “kemayu”, tidak mau kena debu. Tapi itulah
faktanya, aku memang bisa batuk dan pilek jika terkena debu. Syukurlah saat ini
bukan lagi zaman kapur tetapi menggunakan media white board beserta spidolnya.
Mematung
di situ sambil mengawasi petugas piket menyelesaikan pekerjaannya. Kudengar
dari bawah ada yang berkata, “Bu, ini kekurangannya. Anak saya tadi membawa
uang seribu tapi kok bawa dua kue”. Kuperhatikan arah suara, ternyata wali murid
play group sedang memberikan uang kepada
pemilik kantin sekolah.
Perlu
diketahui bahwa tempat aku mengajar ialah sebuah yayasan yang terdiri atas
beberapa lembaga, dimulai dari play group, TK, MTs., MA, dan, SMK. Semua
lembaga berkumpul dalam kompleks yayasan. Yaitu sebuah yayasan yang mengelola
pendidikan berciri agama Islam.
Kuperhatikan
lagi perbincangan mereka.
Kata
pemilik kantin, “O… terima kasih, Bu! Saya sebenarnya tahu kalau putra Ibu
membawa dua kue, tapi saya biarkan saja. Namanya juga anak kecil.”
Wali
murid, “Tapi perlu dikasi tahu lo, Bu… nanti keterusan”
Pemilik
kantin, “Baiklah, Bu… demi mendidik anak-anak ya…”
Dan
seterusnya, aku mengamati pembicaraan tersebut hingga petugas piket selesai
menyapu lantai kelas beserta terasnya.
Aku pun masuk kelas sambil berpikir, “Alhamdulillah, masih ada orang
yang jujur di dunia ini.”
Kejujuran
bisa dimulai dari hal-hal yang kecil. Termasuk
wali murid play group di atas. Dari uang seribu rupiah yang termasuk
kecil ini, dia bisa mengembalikan kejujuran. Padahal bagi penjual, jika hal
tersebut tidak dilakukan juga tak masalah.
Orang
tua memang perlu menanamkan kejujuran tidak hanya masalah keuangan. Tapi
berbagai hal. Jujur dalam perkataan, perbuataan, maupun bersikap. Karena apa
pun yang tersembunyi akan dapat dilihat olehNya. Berawal dari takut melakukan
ketidakjujuran karena ada yang melihat, lama-lama akan menjadi kebiasaan anak
untuk melakukan kejujuran.
Bisa
dicontohkan adanya kantin kejujuran pada suatu sekolah. Proyek ini memang
berawal untuk medapatkan kerugian besar. Karena dari sekian banyak siswa yang
berlatar belakang sosial serba kompleks membentuk kepribadian yang kompleks
juga. Sehingga dengan adanya kantin kejujuran merupakan tantangan tersendiri
bagi oknum-oknum siswa yang memanfaatkannya. Memanfaatkan dalam hal tidak baik,
yaitu mengambil kue tanpa bayar. Toh tak ada yang melihat.
Hal
ini bisa menjadi proyek garapan para
pengurus sekolah untuk mengadakan training maupun siraman rohani tersendiri
untuk memberantas sikap yang tidak terpuji. Menanamkan kejujuran untuk diri
sendiri, orang lain, bahkan kepada Sang Pencipta.
Baik
dan buruknya anak kelak memang bergantung pada bagaimana orang tua maupun guru
memberikan bekal ilmunya kepada mereka. Jika dari kecil anak telah terbiasa
bersikap jujur, maka kelak setelah dewasa juga akan terbiasa bersikap jujur.
Jujur terhadap diri sendiri, lingkungan, maupun pada tuhannya. Kalaupun anak
nantinya menjadi seorang pemimpin, juga akan menjadi pemimpin yang takut
melakukan perbuatan dosa.
Kediri, 23 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar