Temanku yang satu ini nih, sabarnya luar biasa. Tidak pernah
marah, tidak pernah merasa kekurangan. Mungkin bagi orang lain kurang, tapi
tidak bagi temanku ini. Hidup selalu
dijalani dengan tersenyum dan penuh syukur. Hal yang patut diteladani oleh
siapapun.
Temanku ini lebih senior beberapa tahun di atasku. Selama di
kantor tak ada cerita kesedihan menyelimutinya. Dia menjadi panutan dalam
kesabaran. Bila di dalam kelas ada murid yang nakal, dia cukup tersenyum
mengatasinya. Sambil menyampaikan petuah-petuah. Namun sifat keluguan dan
kesabarannya kadang-kadang juga
dimanfaatkan oleh murid-murid. Misalnya waktu ulangan, murid-murid ada yang
iseng melihat jadwal jaga ruang kelas. Jika ruangannya ditunggu oleh temanku
yang satu tadi, mereka akan senang. Mereka akan saling contek jawaban. Toh
penjaga ruangan cukup sabar.
Kebetulan temanku tadi adalah teman kakakku semasa SLTP.
Kakakku bercerita kalau dia memang berhati mulia sejak dulu. Misalnya sewaktu
jalan bersama-sama dia menemukan duri di depannya, maka dia akan mengambil duri
tersebut untuk dibuang agar tidak mengenai teman-temannya. Dia tidak mau
melihat temannya sakit atau celaka.
Nah, suatu saat kami sedang ngobrol-ngobrol di kantor saat
istirahat. Seperti biasa, masing-masing punya bahan pembicaraan
sendiri-sendiri. Aku hanya mengikuti ke mana mereka membawa pembicaraan, karena
pada dasarnya aku memang tak pandai berbicara. Namun segala kejadian itu aku
bisa menulisnya (contohnya seperti tulisan ini).
Seorang teman lain menceritakan pengalamannya tentang membonceng putrinya, tetapi putrinya
tersebut ketinggalan di jalan tanjakan. Kami menyimak cerita tersebut penuh dengan canda. Aku mendengarkan
saja, padahal aku pun punya cerita yang sama seperti itu sebanyak dua kali.
Pertama sewaktu KKN di daerah Tempel, Sleman. Di jalan persawahan yang tanahnya
turun-naik tidak beraturan, aku jatuh dari boncengan sedangkan temanku yang di
depan tidak menyadari kalau kehilangan penumpang. Pengalaman kedua sewaktu
membonceng siswiku yang kecil-mungil, aku tidak merasakan kalau dia tertinggal
di jalan karena kupikir badannya yang terlalu ringan. Yang kedua ini telah aku
tulis di artikelku yang berjudul “Maafkan Aku Afif”.
Ternyata temanku yang penyabar tersebut juga punya
pengalaman unik. Dia dibonceng suaminya (yang juga telah senior) ke sekolah
lain tempat dia mengajar juga. Dia memang mengajar di beberapa sekolah. Waktu
itu suaminya menjemput. Pulanglah mereka, namun di perjalanan ada yang tak
beres dengan sepeda motornya. Mereka pun berhenti. Selesai memperbaiki motor,
suaminya menghidupkan motornya dengan lancar dan terus melajukannya. Sementara
temanku ditinggal di tepi jalan tersebut.
Sambil tertawa temanku menceritakan sewaktu suaminya kembali
untuk menjemput, dia diam saja (jaim). Suaminya juga diam saja, mungkin karena
merasa bersalah. Teman-teman pun usil untuk mengolok-olok “ngambek ni ye…” dan
menanyakan apakah saat itu beliau jengkel dengan suaminya. Dengan tertawa dia
mengatakan kalau sebenarnya juga jengkel, meskipun sebenarnya dia tidak terlalu
khawatir karena ada HP yang bisa dipakai sebagai komunikasi.
Hampir serempak teman-teman pun tertawa. Kami semua tak
mengira kalau temanku yang satu ini ternyata juga pernah menyimpan rasa jengkel
di luar kebiasaannya. Sambil melanjutkan cerita, katanya untung ada orang yang
tak waras di dekat dia. Karena takut dengan orang tak waras tadi, dia pun
segera menempel kembali di pemboncengan suaminya. Gagal ngambek nih.
Maunya jaga gengsi untuk tidak berbicara, malah takut dengan
orang tak waras. Lunturlah kejaimannya. Haduh… dasar penyabar! Mau berbuat yang
tak biasa jadi gagal deh! Semoga saja tetap sabar selamanya. Nggak pake
ngambek-ngambek segala. Sudah terlanjur mendapat predikat “Guru Paling Sabar”.
13 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar