(Ilustrasi
dari internet)
Adalah
berita yang sudah basi. Jeritan para ibu ketika pergi ke pasar masih saja
terdengar. Kalaupun bisa bicara, “dapur” pun pasti banyak keluhan. Juga si Emak
yang bertugas memuaskan perut si tuan dengan aneka menu yang siap saji. Bumbu
dapur yang biasanya tak lepas dari sekian banyak butir bawang putih, beberapa
waktu ini dikurangi menjadi sedikit butir saja. Ini berlaku untuk berbagai
bumbu masakan. Alhasil rasa masakan pun tak selezat masakan dengan bumbu ukuran
normal.
Berbagai
bumbu dapur masih bertengger di pucuk harga. Antara lain bumbu utama: lombok,
bawang merah, dan paling melejit bawang putih. Seorang ibu pergi ke pasar
tradisional dengan tatapan kosong. Membawa uang sebanyak dua puluh lima ribu
rupiah. Hasil pemberian suaminya sebagai penambang pasir. Akan diisi apa tas
belanjaan yang setiap pagi dibawanya? Dia hanya berputar-putar mengelilingi
para penjual sambil terus berpikir.
Masih
ada sisa sedikit beras di rumah. Kali ini dia harus membeli lauk yang paling
murah tapi bergizi, yakni tahu saja atau tempe saja. Sayuran bisa mengambil
bayam yang telah ditanamnya beberapa bulan lalu. Selain bayam juga ada terong
dan sedikit kangkung. Diputuskannya membeli empat ribu tempe dan kerupuk tiga ribu
rupiah. Untuk makan sehari bersama dengan suami dan dua anaknya yang masih
duduk dibangku SD. Minyak goreng sudah habis, akhirnya si ibu membeli lima ribu
rupiah minyak goreng.
Masih
tiga belas ribu rupiah. Karena beras tinggal sedikit, diutamakan lagi membeli
beras murah satu kilo dengan harga tujuh ribu. Bawang merah, bawang putih, dan
lombok… kadang sore hari, anak-anaknya minta jajan. Minimal membeli ketela
pohon. Cukupkah uang yang tinggal enam ribu rupiah ini? Ah, si ibu kian pusing
dibuatnya. Si ibu hanya melihat tas belanjaan. Diisi apa lagi ini? Dalam hati
si ibu menjerit, karena uang saku anak belum diberikan. Minimal dua anak dengan
uang saku masing-masing seribu lima ratus rupiah.
---
Sewaktu
menjemput anaknya ke sekolah, si ibu mencurahkan keluhannya di hadapan para ibu
yang lain. Ternyata keluhan para ibu sama. Bingung dalam memutar otak untuk
membelanjakan uang penghasilan suami. Tentu saja suami mereka bukanlah pegawai
tinggi alias hanya pekerja kasaran. Jika sudah bertemu dengan teman-temannya
ternyata para ibu “bingung” tadi bisa berkelakar. Yach… berkelakar tantang
berbagai kesulitan dalam menghadapai tantangan hidup.
---
Namun
semua pasti akan berakhir. Tak selamanya yang meroket akan di atas
terus-menerus. Beberapa puluh dari ratusan kontainer bawang putih telah
diluncurkan ke pasaran dari pelabuhan Surabaya. Yakni bawang impor dari
Tiongkok. Ratusan kontainer yang masih terjebak di pelabuhan tersebut terkait
tata izin yang tak memenuhi syarat.
Pemerintah
yang tak tinggal diam tersebut terus mengupayakan dengan memantau harga di
pasar-pasar tradisional. Hasilnya bisa dirasakan bahwa harga mulai menurun. Masyarakat
tinggal menunggu harga normal kembali sampai sekitar lima belas ribu rupiah per
kilo gram. Meskipun masyarakat sendiri tidak tahu seberapa lama penantian itu
harus dilakukan. Memang perlu kesabaran.
Sementara
sang juragan yang telah “menyimpan” bawang putihnya di gudang bolehlah gantian merasa khawatir. Sang
juragan yang maunya punya keuntungan besar dengan tabungan bawang putih pasti
akan kena batunya jika bawang semakin turun dan harga normal kembali.
Karena
itu, mari kita tunggu hasilnya…
20 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar