Jumat, 08 Maret 2013

Gang Dolly Meratap




Di sela-sela menyiapkan sarapan bersama suami, masih sempat mendengarkan dan melihat siaran televisi. Terpana aku melihat siaran itu. Yaitu tentang rencana penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya. Gara-gara penayangan sebuah gambar berkali-kali tentang suasana di lokalisasi tersebut membuatku tertarik untuk memelototi televisi.

Berita tentang rencana penutupan wisma PSK di Gang Dolly sebenarnya sudah lama terdengar di masyarakat. Tapi kenyataannya pemkot Surabaya belum bisa merealisasikan rencana tersebut sampai sekarang. Memang perlu pengkajian dan solusi yang cukup panjang untuk mewujudkannya. Karena itu Wali Kota Surabaya wanita yang tugasnya sama dengan Pak Jokowi ini juga tak segan-segan “blusukan” ke tempat-tempat kumuh di wilayahnya.

Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Risma Harini telah meninjau ulang keberadaan lokalisasi yang berada di gang Dolly tersebut. Tetapi rupanya masyarakat belumlah mengamini terhadap rencana tersebut. Wali Kota berniat mau memutuskan mata rantai keberlangsungan profesi yang membuat penyakit masyarakat. Karena bagaimanapun juga, keberlangsungan kegiatan orang-orang dewasa tersebut membuat tumbuh kembang anak-anak menjadi tak sehat. Baik perkembangan psikologi, pola berpikir, sosial, maupun budaya di lingkungan setempat.

Namun tidak semudah membalik telapak tangan. Wali Kota masih harus memeras otak untuk mencarikan solusi setelah lokalisasi benar-benar ditutup. Persiapan lapangan pekerjaan maupun pemberian keterampilan-keterampilan khusus yang bermanfaat untuk mereka harus diberikan. Sehingga mereka bisa terjun ke masyarakat dengan membawa kecakapan sebagai modal bekerja.

Kegiatan “penyakit masyarakat” ini tidak sekadar hobi, pelaku berprofesi sebagai PSK untuk mencari nafkah. Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri mereka juga beralasan untuk membantu orang tua  sampai membiayai suami dan anak-anaknya. Sungguh tak bermoral jika ada lelaki yang memanfaatkan istrinya sendiri sebagai ajang prostitusi. Namun tidak menutup kemungkinan keluarga yang mereka bantu juga tidak tahu dari mana sumber penghasilan itu didapatkan.

Tidak hanya pelaku PSK yang resah, warung-warung kecil di sekitar lokalisasi yang biasanya “kecipratan” rizki pun khawatir tidak bisa mendapatkan tempat layak untuk berjualan kembali. Tidak lupa pengelola wisma  tak kalah cemas atas keputusan penutupan wisma prostitusi. Mereka telah terbiasa mendapatkan uang dengan mudah melalui pekerjaan kotor, karena itu mereka harus mendapat solusi agar rizki tetap mengalir secara halal.

Pemikiran tentang solusi harus segera disiapkan sehingga warga sekitar Dolly tetap bisa makan meskipun penghasilan tidak sebanyak penghasilan melalui profesi yang meresahkan masyarakat.

Dengan menutup atau tidak menerima pendatang baru di dunia PSK, maka pelaku lama pun akan semakin tua dan tidak laku lagi. Semakin lama semakin berkurang dan habis. Jika tidak ada pendatang baru, maka Gang Dolly akan bersih dari kegiatan tersebut. Putuslah mata rantai PSK yang selama ini hanya dipergunjingkan keberadaannya.

Adapun yang membuat mata terpana kala melihat tayangan di televisi adalah penayangan gambar para wanita di dalam etalase. Wanita penjaja cinta yang dipajang layaknya sebuah barang. Sungguh tak percaya dengan apa yang terlihat. Ternyata yang diceritakan selama ini benar adanya, yaitu tentang gambaran seperti di atas. Dan hanya satu kata yang bisa terucap “Astaghfirullah” secara spontan.

Manusia yang diperdagangkan dengan pose menantang para lelaki hidung belang. Dengan berjajar di ruang berkaca. Dandanan nan elok, sepatu yang bagus, pakaian minim, dan (mungkin) berbau harum. Siapa yang salah? Wanitakah? Atau lelakikah? Sungguh mata rantai yang tak bisa diselesaikan dalam sekejap mata.

Kenapa wanita mau diperdagangkan? Hanya karena ekonomi atau memang mereka cukup nyaman dengan posisi yang demikian. Penyakit sosial yang demikian karena ada lelaki hidung belang. Lelaki bisa disebut “lelaki hidung belang” karena juga ada wanita yang mau dibelangi. Inilah penyakit masyarakat yang perlu diberantas.

Kita tunggu saja bagaimana Ibu Tri Risma Harini membuat Surabaya menjadi bersih tanpa ada prostitusi di Gang Dolly lagi. Tanpa harus memutuskan rizki yang harus mereka dapatkan untuk menghidupi keluarganya. Sehingga tak ada lagi ratapan warga Dolly yang cemas akan kehabisan mata rantai rizki.

8 Maret 2013

2 komentar:

  1. Semoga Berhasil Ibu Risma...Allah bersama Orang2 pilihan yg Baik..amiin

    BalasHapus

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...