Di
sela-sela menyiapkan sarapan bersama suami, masih sempat mendengarkan dan
melihat siaran televisi. Terpana aku melihat siaran itu. Yaitu tentang rencana
penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya. Gara-gara penayangan sebuah gambar berkali-kali
tentang suasana di lokalisasi tersebut membuatku tertarik untuk memelototi
televisi.
Berita
tentang rencana penutupan wisma PSK di Gang Dolly sebenarnya sudah lama
terdengar di masyarakat. Tapi kenyataannya pemkot Surabaya belum bisa merealisasikan
rencana tersebut sampai sekarang. Memang perlu pengkajian dan solusi yang cukup
panjang untuk mewujudkannya. Karena itu Wali Kota Surabaya wanita yang tugasnya
sama dengan Pak Jokowi ini juga tak segan-segan “blusukan” ke tempat-tempat
kumuh di wilayahnya.
Wali
Kota Surabaya, Ibu Tri Risma Harini telah meninjau ulang keberadaan lokalisasi
yang berada di gang Dolly tersebut. Tetapi rupanya masyarakat belumlah
mengamini terhadap rencana tersebut. Wali Kota berniat mau memutuskan mata
rantai keberlangsungan profesi yang membuat penyakit masyarakat. Karena
bagaimanapun juga, keberlangsungan kegiatan orang-orang dewasa tersebut membuat
tumbuh kembang anak-anak menjadi tak sehat. Baik perkembangan psikologi, pola
berpikir, sosial, maupun budaya di lingkungan setempat.
Namun
tidak semudah membalik telapak tangan. Wali Kota masih harus memeras otak untuk
mencarikan solusi setelah lokalisasi benar-benar ditutup. Persiapan lapangan
pekerjaan maupun pemberian keterampilan-keterampilan khusus yang bermanfaat
untuk mereka harus diberikan. Sehingga mereka bisa terjun ke masyarakat dengan
membawa kecakapan sebagai modal bekerja.
Kegiatan
“penyakit masyarakat” ini tidak sekadar hobi, pelaku berprofesi sebagai PSK
untuk mencari nafkah. Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri mereka juga
beralasan untuk membantu orang tua
sampai membiayai suami dan anak-anaknya. Sungguh tak bermoral jika ada
lelaki yang memanfaatkan istrinya sendiri sebagai ajang prostitusi. Namun tidak
menutup kemungkinan keluarga yang mereka bantu juga tidak tahu dari mana sumber
penghasilan itu didapatkan.
Tidak
hanya pelaku PSK yang resah, warung-warung kecil di sekitar lokalisasi yang biasanya
“kecipratan” rizki pun khawatir tidak bisa mendapatkan tempat layak untuk
berjualan kembali. Tidak lupa pengelola wisma
tak kalah cemas atas keputusan penutupan wisma prostitusi. Mereka telah
terbiasa mendapatkan uang dengan mudah melalui pekerjaan kotor, karena itu
mereka harus mendapat solusi agar rizki tetap mengalir secara halal.
Pemikiran
tentang solusi harus segera disiapkan sehingga warga sekitar Dolly tetap bisa
makan meskipun penghasilan tidak sebanyak penghasilan melalui profesi yang
meresahkan masyarakat.
Dengan
menutup atau tidak menerima pendatang baru di dunia PSK, maka pelaku lama pun
akan semakin tua dan tidak laku lagi. Semakin lama semakin berkurang dan habis.
Jika tidak ada pendatang baru, maka Gang Dolly akan bersih dari kegiatan
tersebut. Putuslah mata rantai PSK yang selama ini hanya dipergunjingkan
keberadaannya.
Adapun
yang membuat mata terpana kala melihat tayangan di televisi adalah penayangan
gambar para wanita di dalam etalase. Wanita penjaja cinta yang dipajang
layaknya sebuah barang. Sungguh tak percaya dengan apa yang terlihat. Ternyata
yang diceritakan selama ini benar adanya, yaitu tentang gambaran seperti di
atas. Dan hanya satu kata yang bisa terucap “Astaghfirullah” secara spontan.
Manusia
yang diperdagangkan dengan pose menantang para lelaki hidung belang. Dengan
berjajar di ruang berkaca. Dandanan nan elok, sepatu yang bagus, pakaian minim,
dan (mungkin) berbau harum. Siapa yang salah? Wanitakah? Atau lelakikah?
Sungguh mata rantai yang tak bisa diselesaikan dalam sekejap mata.
Kenapa
wanita mau diperdagangkan? Hanya karena ekonomi atau memang mereka cukup nyaman
dengan posisi yang demikian. Penyakit sosial yang demikian karena ada lelaki
hidung belang. Lelaki bisa disebut “lelaki hidung belang” karena juga ada
wanita yang mau dibelangi. Inilah penyakit masyarakat yang perlu diberantas.
Kita
tunggu saja bagaimana Ibu Tri Risma Harini membuat Surabaya menjadi bersih
tanpa ada prostitusi di Gang Dolly lagi. Tanpa harus memutuskan rizki yang
harus mereka dapatkan untuk menghidupi keluarganya. Sehingga tak ada lagi
ratapan warga Dolly yang cemas akan kehabisan mata rantai rizki.
8 Maret 2013
Semoga Berhasil Ibu Risma...Allah bersama Orang2 pilihan yg Baik..amiin
BalasHapusBetul, Pak...
BalasHapusTerima kasih...