Kediri, 15 April 2013. Hari
ini Ujian Nasional untuk tingkat SLTA. Saya mendapat tugas jaga UNAS sebuah SMK swasta di Kabupaten Kediri. Karena
hari ini bidang studi yang diujikan pelajaran Bahasa Indonesia, maka saya
sebagai guru Bahasa Indonesia tidak mengawasi ruang ujian melainkan sebagai
pengawas cadangan.
Berangkat
pagi diantar suami sampai ke depan pintu gerbang sebuah bangunan. Di situ hanya
terlihat papan nama lembaga SLTP. Saya bertanya kepada seorang ibu guru yang
sedang menanti kedatangan muridnya tentang alamat SMK yang saya cari. Ibu guru
tersebut hanya menunjuk ke arah kelas paling dalam pada lokasi yayasan
tersebut.
Saya
bingung, bagaimana ini? Banyak siswa SLTP yang sedang ramai. Apalagi mau
melaksanakan upacara bendera rutin hari Senin. Saya pun masuk ke kantor tempat
pengawas ujian berkumpul. Di sini baru tahu bahwa siswa yang mau mengikuti UNAS
terdiri atas dua ruang. Itu pun terbagi atas 20 dan 14 orang siswa. Sangat sedikit!
Jika dibanding dengan siswa SLTP yang tetap masuk pelajaran.
Kali
ini saya tidak akan membicarakan tentang kekurangan pelaksanaan LJK maupun naskah
soal yang kurang, karena saya pikir banyak penulis yang telah membahasnya. Maka
saya hanya mendapati sebuah permasalahan yang saya anggap ganjil.
Bersama
tim independen, Kepala Sekolah, guru kurikulum, panitia UNAS, pengawas dari
Kemendiknas Kabupaten, dan dua orang polisi, kami membicarakan banyak hal. Tetapi
tiba-tiba seorang petugas sekolah tersebut menegur bapak polisi yang sedang
merokok. Sehingga terpaksa bapak polisi merokok di luar ruangan. Bukan masalah
ini juga yang saya bahas.
Saya
masih penasaran dengan kebijakan lembaga yayasan ini. Kok bisa sih, yang dua
kelas (SMK) melaksanakan ujian nasional, sedang yang enam kelas (SLTP) masuk
pelajaran. Sementara kelas berdampingan hanya terbatas ruang kecil untuk
panitia. Sewaktu upacara juga tetap
menggunakan pengeras suara. Setelah masuk ke kelas masing-masing untuk megikuti
pelajaran, siswa SLTP juga ramai.
Waduh…
bagaimana ini? Saya juga tidak melihat ada tulisan peringatan semacam “Dilarang ramai, Ada Ujian!” saya lihat
pihak SLTP juga santai saja. Tidak ada beban bahwa kegiatan belajar-mengajar saat
itu sebenarnya sangat mengganggu konsentrasi siswa yang sedang menjalani UNAS.
Usut
punya usut, ternyata dalam yayasan tersebut tidak ada kerukunan antarjenjanglembaganya.
Apalagi pihak pendiri yayasan tidak dianggap lagi. Pengurus yayasan maupun lembaga
pendidikan yang baru telah menotariskan tanah wakaf untuk yayasan tersebut
dengan meninggalkan nama pemilik tanah yang sebenarnya. Sehingga terjadi
konflik kepemilikan yayasan antarpengurus.
Lucunya,
pengurus lama yang tinggal beberapa orang saja (terutama yang berwakaf) tidak
meladeni perkonflikan yang terjadi. Beliau sudah ikhlas mewakafkan tanahnya
untuk kepentingan pendidikan. Juga dalam mendidik masyarakat menjadi pandai
tidak berharap pamrih duniawi. Beliau percaya Allah Maha Tahu. Amal dan
keikhlasan tidak perlu dicatatkan di atas kertas notaris.
“O…
begini ceritanya… Makanya….” Kalimat itulah yang tergambar dalam pikiran kami,
para pengawas. Seakan pihak lembaga SLTP tidak mau tahu akan “saudaranya” yang
punya hajat. Tidak ikut mendukung pelaksanaan UNAS SMK dengan memberikan
kesempatan untuk berpikir secara tenang.
Saya
pun bertanya kepada Kepala Sekolah SMK tentang koordinasi pelaksanaan UNAS dengan Kepala SLTP. Kata beliau sudah
ada pemberitahuan, namun kepala sekolah SLTP tidak mau meliburkan siswanya.
Padahal
saya tahu di yayasan-yayasan lain, setiap jenjang lembaga pendidikan akan
mendukung kegiatan lembaga lain dengan saling toleransi. Apalagi area yayasan
dalam satu lingkup, satu pagar, satu bangunan, dan satu pintu masuk.
Nah,
jika Kepala Sekolah dan guru-guru antarlembaga dalam satu yayasan tidak rukun,
bagaimana ya… kira-kira dalam mendidik putra-putrinya? Bagaimana mereka
memberikan contoh kerukunan antarsesama?
Semoga
esok hari, yaitu hari kedua Ujian nasional di SMK tersebut suasana bisa lebih
kondusif.
15 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar