Minggu, 14 April 2013

Kakek kok Disamakan dengan Marmut



“Ibu, boleh Dedek buat minum ini ya?, tanya dedek.

“Loh, itu kan bukan minuman untuk anak-anak?, jawabku.

“Kok bisa begitu?, “ tanya dedek penasaran.

“Coba deh, dilihat tulisan di bawah ini!”, perintahku pada dedek.

Sebaiknya untuk orang dewasa… Iya! Kenapa sih kok pilih kasih? Ini kan enak…”, belum puas dia dengan keterangan tersebut.

Dia bawa sachet minuman tersebut dan lama tak terdengar suaranya. Aku pun sibuk dengan urusan dapur untuk mempersiapkan makan malam.

Tiba-tiba dedek muncul lagi sambil membawa sachet minuman tadi dan ditunjukkan kepada ayahnya dan kepadaku

“Ayah… lihat nih. Minuman ini kan untuk anak,” katanya sambil menunjuk pada sebuah tulisan.

Aku yang lagi membawa sebuah gelas penasaran dengan suara ayahnya yang terbahak-bahak.

“Kenapa, Ayah?, tanyaku

“Lihat nih, Bu. Anakmu bisa aja, “ kata ayah menunjukkan hasil karya dedek. 

Sementara si dedek tertawa saja melihat kami berdua membaca tulisan tersebut.

Ternyata dedek menghapus tulisan “orang dewasa” dan diganti dengan tulisan  “anak”. Sehingga kalau dibaca menjadi: Sebaiknya untuk anak. Haduuh… ini anak bisa saja membuat ulah.

Keesokan harinya, dua binatang peliharaan kami “marmut” (kelinci kecil) beranak. Sedangkan pejantannya hanya satu. Senang sekali marmut kami bertambah. Dari tiga ekor menjadi tujuh ekor. Dedek dan kakaknya selalu merawat marmut -marmut tersebut dengan penuh kasih sayang.

Entah apa yang dipikirkan, dedek bertanya padaku, “Ibu, yang pertama melahirkan itu nenek Selatan apa nenek Utara?

Kujawab, “Nenek Selatan. Memangnya kenapa?

“Berarti marmut ini seperti kakek. Kakek kan istrinya dua. Marmut yang ini (menunjuk pada marmut hitam) sama seperti nenek Selatan, kan dia yang punya anak dulu. Terus marmut putih ini sama dengan nenek Utara. Nenek Utara kan melahirkannya belakangan…”, celotehnya panjang.

“Aduh… Dedek… Dedek…. Masak marmut disamakan dengan kakek sih...”, kataku sambil tertawa geli.

“Salah sendiri kenapa kakek istrinya dua. Jadi ya… seperti marmut,” jawabnya tanpa merasa berdosa.

Waduh, dasar anak kecil. Nggak mungkin memarahinya karena dia masih polos. Untung kakeknya tidak mendengar. Sedangkan nenek Selatan (ibuku, istri pertama) teringkal-pingkal setelah aku ceritakan apa yang diucapkan oleh dedekku.

Dunia anak memang polos. Belum mengenal tentang apa itu “tersinggung”. Menyinggung masalah iklan maupun menyinggung kakeknya sendiri yang beristri dua. 

Ah… biarlah dedek berimajinasi sendiri. Sementara kami orang tuanya harus memberikan pengarahan padanya sesuai kemampuan berpikirnya.

Sementara kelucuan-kelucuan lain masih banyak yang dilontarkan oleh dedek. Entah sampai kapan kelucuan anak-anak itu ada padanya.

14 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...