“Ibu, boleh Dedek buat
minum ini ya?, tanya dedek.
“Loh, itu kan bukan minuman
untuk anak-anak?, jawabku.
“Kok bisa begitu?, “ tanya
dedek penasaran.
“Coba deh, dilihat
tulisan di bawah ini!”, perintahku pada dedek.
“Sebaiknya untuk orang dewasa… Iya! Kenapa sih kok pilih kasih? Ini kan
enak…”, belum puas dia dengan keterangan tersebut.
Dia bawa sachet minuman
tersebut dan lama tak terdengar suaranya. Aku pun sibuk dengan urusan dapur
untuk mempersiapkan makan malam.
Tiba-tiba dedek muncul
lagi sambil membawa sachet minuman tadi dan ditunjukkan kepada ayahnya dan kepadaku
“Ayah… lihat nih. Minuman
ini kan untuk anak,” katanya sambil menunjuk pada sebuah tulisan.
Aku yang lagi membawa
sebuah gelas penasaran dengan suara ayahnya yang terbahak-bahak.
“Kenapa, Ayah?, tanyaku
“Lihat nih, Bu. Anakmu bisa
aja, “ kata ayah menunjukkan hasil karya dedek.
Sementara si dedek
tertawa saja melihat kami berdua membaca tulisan tersebut.
Ternyata dedek
menghapus tulisan “orang dewasa” dan
diganti dengan tulisan “anak”. Sehingga kalau dibaca menjadi: Sebaiknya untuk anak. Haduuh… ini anak
bisa saja membuat ulah.
Keesokan harinya, dua binatang
peliharaan kami “marmut” (kelinci kecil) beranak. Sedangkan pejantannya hanya
satu. Senang sekali marmut kami bertambah. Dari tiga ekor menjadi tujuh ekor. Dedek
dan kakaknya selalu merawat marmut -marmut tersebut dengan penuh kasih sayang.
Entah apa yang
dipikirkan, dedek bertanya padaku, “Ibu, yang pertama melahirkan itu nenek Selatan
apa nenek Utara?
Kujawab, “Nenek
Selatan. Memangnya kenapa?
“Berarti marmut ini
seperti kakek. Kakek kan istrinya dua. Marmut yang ini (menunjuk pada marmut hitam)
sama seperti nenek Selatan, kan dia yang punya anak dulu. Terus marmut putih
ini sama dengan nenek Utara. Nenek Utara kan melahirkannya belakangan…”,
celotehnya panjang.
“Aduh… Dedek… Dedek…. Masak
marmut disamakan dengan kakek sih...”, kataku sambil tertawa geli.
“Salah sendiri kenapa
kakek istrinya dua. Jadi ya… seperti marmut,” jawabnya tanpa merasa berdosa.
Waduh, dasar anak
kecil. Nggak mungkin memarahinya karena dia masih polos. Untung kakeknya tidak
mendengar. Sedangkan nenek Selatan (ibuku, istri pertama) teringkal-pingkal
setelah aku ceritakan apa yang diucapkan oleh dedekku.
Dunia anak memang
polos. Belum mengenal tentang apa itu “tersinggung”. Menyinggung masalah iklan
maupun menyinggung kakeknya sendiri yang beristri dua.
Ah… biarlah dedek
berimajinasi sendiri. Sementara kami orang tuanya harus memberikan pengarahan
padanya sesuai kemampuan berpikirnya.
Sementara kelucuan-kelucuan
lain masih banyak yang dilontarkan oleh dedek. Entah sampai kapan kelucuan
anak-anak itu ada padanya.
14
April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar