Ironis.
Di saat muda seorang kakek ini (belum tua-tua amat) bergaya hidup serba keras.
Dengan karakter yang temperamen dia berganti-ganti pasangan hidup. Padahal
isterinya juga belum dicerai secara resmi. Dalam bekerja mencari penghidupan
suka semaunya sendiri. Tidak mau diarahkan oleh orang yang menyuruhnya, padahal
profesinya sebagai pekerja “serabutan”. Atau bekerja apapun sebagai pekerja
kasar atau kuli bangunan.
Karena
sifatnya yang tidak mau diatur oleh “bos”nya maka tidak banyak lagi orang yang
suka kepadanya. Hingga para tetangga pun tak mau lagi menyuruh-nyuruh dia untuk
mengerjakan sesuatu. Rata-rata merasa jera menyuruh kakek yang tidak bisa menuruti
permintaan, bahkan justru menjengkelkan dengan nada bicaranya yang kasar. Karena
itulah dia dijauhi dan menjauhi keluarganya.
Akhirnya
dia tidak mempunyai pekerjaan. Kegiatannya hanya nongkrong di tepi jalan sambil
mengelabui masyarakat untuk mencari penghasilan dengan cara berbohong. Banyak
korban kebohongannya, misalnya dia minta saku karena sakit-sakitan dan katanya tidak
ada lagi yang mau menolong. Maka masyarakat yang iba pun selalu mengulurkan
tangan.
Kesalahannya
adalah setelah mendapatkan santunan, dia selalu menggunakannya untuk hal yang
negatif. Entah untuk bermain perempuan ataupun membeli “nomor” judi. Inilah
yang membuat masyarakat sangat gemas dengan kelakuannya. Di samping itu dia
juga terbiasa panjang tangan. Sehingga tak peduli barang apapun milik tetangga
bisa raib.
Usianya
yang semakin tua membuat kakek sakit-sakitan. Sebenarnya telah banyak orang
yang menolongnya. Namun dia selalu mengingkari pertolongan itu, kadang malah
memfitnah penolongnya. Warga masjid di sebelahnya juga sudah berupaya membantu
tapi dia justru murtad.
Pihak
gereja pun telah mendekati untuk menolongnya, namun sama halnya dengan
lingkungan masjid. Setelah santunan habis dia tak mau lagi direkrut untuk
kepentingan agama. Maka dia tidak ikut agama apapun.
Semakin
menambah rasa tidak simpati warga. Maka masyarakat membiarkannya saja. Hingga
dia akhirnya membuat gubug sendiri di pekarangan warga. Naas, di saat dia
sakit-sakitan tiba-tiba gubugnya terbakar. Dia semakin stres. Akhirnya tidur di
mana saja dia ingin tidur. Bisa di teras-teras rumah tetangga. Mau kembali ke
rumah isterinya yang telah lama ditinggalkan, tetapi isterinya tidak mau menerima.
Semakin
menderita hidupnya. Dia makan dari rumah satu ke rumah lainnya. Terakhir dia
dalam kondisi sangat tertekan dengan melucuti pakaiannya. Tidur di rumah warga
kemudian diusir dengan ditumpangkan ke sebuah becak. Oleh tukang becak si kakek
diturunkan di sebuah pos kamling. Tetapi warga menolaknya hingga oleh tukang
becak dikembalikan di kebun tempat gubugnya terbakar.
Hingga
di siang hari seorang anak menemukan si kakek dalam keadaan tidur di tanah.
Anak kecil tersebut memberitahukan kepada orangtuanya kalau kakek tersebut
jatuh di kebun. Ternyata si kakek telah meninggal dunia dalam keadaan yang
sangat mengenaskan.Tidak
ada yang melayatnya. Akhirnya warga merawat jenazah dan mengebumikan dengan
layak.
Isteri-isterinya,
baik yang syah maupun yang tidak syah tidak lagi mau berurusan dengan
jenazahnya. Betapa malang nasib si kakek. Meninggal dalam keadaan tidak punya
siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.
Pelajaran
untuk semua yang masih hidup. Bahwa selama masih hidup, kita usahakan bisa
berbuat baik untuk sesama. Berbuat baik tidak harus berupa materi, tetapi bisa
berupa perbuatan. Bahkan hanya dengan senyuman bisa membuat orang lain bahagia.
Orang
Jawa mengatakan “Ngundhuh wohing pakarti” artinya memetik hasil perbuatan
sendiri. Jika selama hidup berbuat baik dengan sesama maka kelak akan memperoleh
balasan yang baik. Tetapi jika perbuatan manusia sangat menjengkelkan orang
banyak bahkan Tuhan maka kelak juga akan mendapat balasan dari Tuhan. Yaitu
balasan sesuai dengan amal perbuatan selama hidup.
Bukan
berarti kisah nyata ini untuk mengungkit kejelekan almarhum, tetapi untuk
mengingatkan kepada saya sendiri dan semuanya bahwa segala perbuatan manusia
ada hasil yang dipetik di kemudian hari.
20 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar