Ada
saja ulah manusia yang tidak mau dianggap berdosa. Hukum agama maupun hukum
negara dianggap bisa “dibuat” sendiri oleh banyak gelintir (tidak hanya segelintir) manusia. Hanya karena tidak
tahan menahan nafsu apapun. Nafsu terhadap materi, jabatan, ketenaran, syahwat,
dan lain-lain.
1.
Nafsu materi adalah nafsu manusia untuk
meraih kekayaan harta benda. Prosesnya bisa melalui jalan apapun. Yang penting
bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
2.
Nafsu jabatan adalah nafsu manusia untuk
memperoleh kedudukan dalam pekerjaannya. Berbagai jalan akan ditempuh untuk
memperoleh jabatan paling atas ataupun jabatan
basah meskipun harus melalui jalan belakang.
3.
Nafsu ketenaran adalah keinginan manusia
untuk menjadi terkenal. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari sensasi-sensasi
tertentu dengan tujuan agar namanya mencuat ke masyarakat luas. Jika telah
terkenal akan membuat rencana-rencana tersendiri dengan tujuan-tujuan tertentu
pula.
4.
Nafsu syahwat adalah keinginan manusia
untuk memperoleh kepuasaan dalam kebutuhan biologis melalui kontak fisik.
(pengertian secara dangkal saja)
5.
(dan masih banyak contoh nafsu-nafsu
yang lain)
Kali
ini nafsu terakhir cukup fenomenal di masyarakat. Yaitu adanya pernikahan
kilat. Kasus semacam ini terjadi di mana-mana. Tidak hanya di Garut ataupun di
Sampang Madura, tetapi banyak merebak di kalangan masyarakat. Hanya saja kasus
itu tercium oleh jejak wartawan atau tidak. Tinggal melihat kedalaman ataupun
kedahsyatan dampak pernikahan kilat itu sendiri.
Tidak
sedikit oknum pejabat tergoda untuk melampiaskan nafsu-nafsu di atas. Oknum
yang punya kedudukan terhormat di kalangan masyarakat menodai dirinya sendiri
dengan membuat undang-undang sendiri. Mungkin terbiasa membuat Undang-Undang di
lingkup tempatnya bekerja, oknum juga mudah untuk membuat undang-undang pelampiasan
nafsu terhadap wanita. Dengan jalan nikah siri ataupun nikah kilat, pria hidung
belang dengan seenaknya mempermainkan wanita. Hingga nikah kilat ini semakin
ngetren di masyarakat.
Lebih terhormat, itulah yang mungkin dihendaki oleh oknum. Dari pada “jajan” yang menimbulkan dosa,
maka oknum menciptakan peraturan sendiri dengan menikahi si gadis sebelum
dibawa ke hotel. Korban yang semuanya gadis merasa senang saja karena mendapat
uang pesangon setelah dicerai begitu saja. Seperti yang dilakukan oleh anggota
kehormatan wakil rakyat baru-baru ini. Sudah berapa ABG dia “makan” dengan
jalan menikah siri dulu di dalam mobil. Setiap transaksi dia selalu membawa
modin untuk menikahkannya. Saksinya adalah mucikari.
“Nah,
aman…, “ pikir si oknum. Aman dan tidak berdosa bagi oknum untuk melakukan
apapun terhadap “istri-istri baru”nya. Menurut saya, nikah kilat dapat juga digolongkan
dalam kejahatan seksual. Karena begitu selesai melampiaskan “sesuatu”, dengan
mudahnya oknum tersebut menceraikannya. Padahal bagi pihak ABGnya, kegiatan
tersebut bisa merupakan profesionalitas. Meskipun ada juga ABG yang tertipu
oleh bujuk rayu seorang mucikari untuk mau menjadi istri kilat. Hal ini tak
lain karena faktor uang. Uang menjadi segala-galanya jika manusia tersebut
tidak tahan goda nafsu materi.
Meskipun
hal tersebut mungkin bisa dibenarkan dalam agama (Islam)
namun tidak semudah itu para pria melakukannya. Pelaku kejahatan seksual telah
menodai pernikahannya yang secara syah menurut agama maupun negara. Dia telah
menyakiti hati isteri sejatinya. Terlepas dari adanya izin isteri pertama atau
tidak, oknum telah mencoreng hukum ataupun undang-undang pernikahan.
Sepasang
manusia yang hendak menikah perlu waktu yang cukup untuk mempersiapkan
segalanya. Demikian juga ketika suami isteri sudah tidak ada kecocokan dalam membina
biduk rumah tangga, akan melakukan perceraian yang memerlukan waktu tidak
sebentar. Proses melalui mediasi ataupun waktu berpikir ulang untuk rujuk
kembali menjadi materi persiapan sebelum benar-benar berpisah.
Undang-undang
tidak bisa dipelintir seenaknya saja
oleh orang-orang yang tidak tahan nafsu tersebut. Jika semua masyarakat bisa
menentukan sendiri undang-undang untuk kepentingannya sendiri, mau jadi apa Negara
Pancasila ini?
Jawabnya
ada di hati masyarakat sendiri. Generasi penerus Kartini tetap berharap agar
wanita Indonesia menjadi manusia-manusia yang punya harga diri dan bermartabat.
Bukan diinjak-injak oleh kaum adam.
17 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar