Jumat, 11 Oktober 2013

Puisi Jumari H.S. (antologi Jawa Pos)



    I.           JUMARI H.S.
Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia, Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus, dan Pergerakan Sastra Buruh di Kudus. Karyanya bertebaran di berbagai media massa dan antologi puisi.
                                                                                                (Jawa Pos, 1 Januari 2012)


Menjelang Tahun Baru

jarak sunyi semakin jauh di mataku
Begitu pun tahun yang luruh
Telah menyisakan segala aroma angin
Sampai sayapku terengah dan bulu-bulunya rontok
Menghayati tanah telah membatu
            Aku pilu dalam kereta waktu
            Melihat pohon-pohon tak lagi rimbun
            Suara burung pun sangat asing
            Aku temukan airmata air menetes
            Kehilangan hutan, kehilangan jiwa
Begitu pun sungai
Entah kemana arus dan beningya
Di sini, pelayaranku merana kehilangan muara
Sampah dan lumpur yang tersisa
Mengelamkan cinta
Jarak sunyi semakin jauh
Begitu pun tahun luruh
Hatiku pecah menggemuruh
Kelam!
            (Kudus, Desember 2011)

Malam Tahun Baru
Malam,
Tak ada sepi
Di daun itu
Embun mengelupas
Usiamu
            Suara petasan
            Dan kembang api
Bertaut di angkasa
Mengiris udara
Di nafasmu
            Malam tanpa mimpi
            Sepanjang jalan menggerlap
            Suara terompet
            Mengiris rindu
                        Aku sendu
                        Airmata mengerling
                        Esok, masihkah ada matahari?
            (Kudus, Desember 2011)

Sujud Tengah Malam

Aku temukan sunyi menjadi laut
Lalu aku mendayung perahuku dengan zikir
Menyusuri ombak yang membuka pintu demi pintu cahaya
Di atas, ada bintang-bintang tersenyum dan menyapa
Dengan bahasa cinta, tapi aku gagap dengan diriku yang penuh luka

Aku sembunyikan wajahku dalam sujud
Diriku yang muasal tanah, mengajarkan kerendahan hati
Iba anak yatim, rintih duafa bertautan sepertu Tuhan bernyanyi
Dan iramanya menggelayut di urat nadi
Aku menangis, berenangan dalam airmata sendiri

Sujudku pun semakin khusuk
Sampai negeri keheningan aku tempuh
Sejauh mata memandang, dan darah bergolak
Dan gemetar yang membangunkan bulu kudukku
Mengelupas luka dari perih yang menggigil selama ini

Sujudku tengah malam
Aku temukan negeri embun
Dinginnya tanpa warna, aromanya mengajariku
Tentang makna-makna
Sujudku tengah malam merayap dalam kemenangan-kemenangan
                                    November 2011

Membaca Daun Jatuh

Di bongkahan batu zaman, kubaca daun jatuh terlentang
Sendunya menusuk mataku yang ,elihat cuaca pilu
Aku terpaku lalu linglung, merasakan angin semakin menderu
Dan pohon-pohon tersa bertumbangan di dadaku

Daun yang jatuh itu, tiba-tiba menjelma puisi di jiwaku
Warnanya telah menguning kecoklatan dan tampak merintih
Suaranya sembilu, sebagaimana hatiku menyulam cahaya yang mendebu
Aku tergagap di tengah kota, kehilangan diri sendiri

Membaca daun jatuh
Senja membersit bayang-bayang perih di mata
                                    Kudus, Nov 2011


II.                JUMARI H.S.
Lahir di Kudus, 24 November 1965. Pada 1-3 Juni 2012 diiundang baca dan bedah puisinya di Universitas Hankuk, Seoul, Korea Selatan. Ketua teater Djarum ini sehari-hari menjadi supervisor bagian produk si rokok PT Djarum Kudus.
                                                                                                Jawa Pos, 14 Oktober 2012


Buruh 1
Keringat itu
Adalah sembahyangku
Yang menetes-netes cinta
Dalam ketulusan kerja

Buruh 2
Deru mesin itu
Menjadi sahabatku
Suaranya indah dan merdu
Semoga seperti hati majikanku

Buruh 3
Aku,
Beribu bahkan berjuta Wiji Tukul
Yang terus bersuara
Yang tak akan pernah mati!
                        Kudus, 2012

Tasawuf Tembakau
:Pekerja Linting Rokok
Dari aroma tembakau aku menemukan ibu
Memasak keringat sendiri dan dapur yang mengepul
Mengudang percakapan-percakapan tentang cinta
Begitu usia dilintingnya penuh kelembutan
Terasa hatiku dibelai ayat-ayat suci

Seperti puisi menari di angin
Setiap desirnya mengingatkanku pada rumput
Yang tabah dengan segala suaca
Tak ada desah resah, ketegarannya menuntun langkahku
Mengembarai ruang-ruang penuh cahaya
Barangkali, mereka beribu bulan di pekuburan!

Embun bukanlah airmatanya
Melainkan jiwa yang mengelupas kebuntuan
Dan sungai-sungai mengalir di dadaku
Burung-burung berkicau di sukmaku
mensujudkan rindu ya rindu

Dari aroma tembakau
Aku di pori-porinya, mendengar gemerincing tasbih
Seperti tongkat Musa membelah makna-makna.
                                    Kudus, 2009

Ajari Mereka Tergabung
Cuaca pun telah menyengat perih
Rumput dan ilalang kesakitan di batu-batu
Mereka menjerit di balik kabut ketakberdayaan
Mengharap-harap rindumu!

Matahari tak pernah ingkar janji
Angin yang telah mengajarimu mengembara
Ajari mereka terbang, seperti burung-burung
Di angkasa
Mengicaukan kebenaran dan keadilan
                                    Kudus, 2012

Kuman Clostridium Perfingens
Ia begitu ganas,
Mengunyah dagingku dengan lahap
Tak peduli perih dan sakit merintih-rintih
Ia terus merayap dan merayap, 1 jam = 1 ml
Menuju jantung, bahkan ke otak
Sampai maut dekat di tenggorokanku!
                                    Ramadan, 2012

Angin Desember
:Bonari N.
Angin itu, terbangun di pucuk daun-daun
Lalu, melambai, mengajakku memasak sunyi
Hujan yang tak lerai menenggelamkan jiwa
Meraba cahaya begitu masa silam menderu
Mungkinkah ada kekalahan?

Desember,
Ada sesal tertangkap yang basah dalam gerimis
Menjadikan kegetiranku berenang di sungia waktu
Jarak muara yang selalu rahasia itu, begitu memdebah
Lalu merayap entah
Bulan ini, puisi getir menyulam waktu dalam usiaku

Angin itu, kesekian kali mengantarkan desember
Usiaku menjulai, melumut di perbatasan
Terasa detak jam mengiris tubuh yang makin lelah
Aku lunglai memetik cahaya, Tuhan

Angin desember
Mengantarkanku ke sebuah belantara penuh kabut
Aku hanya bisa menghitung angka-angka berdebu
Dalam keheningan airmata!.
                                    Kudus, 2008

Tembang Tembakau
Pada tubuhmu
Mataku menemukan rumput-rumput yang ramah
Senyumnya riang mengundang kekaguman siapapun
Dan ketulusannya mengajariku tentang doa keringat
Dalam kekhusukan yang bersahaja

Pada tulang-tulangmu
Imajinasiku menari dalam gemerincing gilingan rokok
Membuat aku terpesona, menyaksikan wajah-wajah polos
Merenda beban tanpa keluh dan tariannya
Menebar bau wangi yang dihembuskan nafasnya
Aku seperti menemukan indahnya kehidupan
Pada urat nadimu
Aku dengar arus sungai dalam gemericik syahdu
Seperti tembang ibu saat menidurkanku
Lalu, aku bermimpi menikah dengan Suminah
Yang sekarang jadi istri sehidup-semati

Pada tembangmu
Rumput-rumput senantiasa menari dan menari
Istri dan anak-anakku berbaur riang
Pelan-pelan mengurai airmata syukur
Yang menetes-netes bahagia!
                        Kudus, 2011

Anakku Menggambar
Dengan airmata
Anakku menggambar matahari
Sudah satu hari penuh, tak jadi-jadi
Matahari yang digambarnya pun pergi
Anakku menangis, merasakan ada sesuatu
Yang hilang
Sebagaimana lehilangan sejarah yang ada di negeri ini.
                        Kudus, 2007

Kediri, 11 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...