KIKI
SULISTYO
Lahir
di Ampenan, Lombok Barat. Bergiat di Departemen Sastra Komunitas Akarpohon,
Mataram, Nusa Tenggara Barat. Puisinya dimuat berbagai surat kabar dan buku
antologi bersama.
Jawa Pos, 22 Januari 2012
Nostalgia
Kecemasan
pada
cemas akan perpisahan
aku
urai kembali sejarah kejatuhan
di
beranda kubayangkan
daun-daun
tergetar disisir angin
parasmu
berpendar
di
gelas minuman
tapi
perpisahan seperti tukang pos
selalu
lewat di jalan depan
menyimpan
surat pada kotak-kotak kosong
denting belnya bergema di kamar
tak berlampu
dengan dinding lapuk
selapuk hatiku sebab lembab oleh
rindu
maka apalagi yang harus
dicemaskan
jika segalanya telah demikian
terang
bahwa hatiku akan tersedia
hanya untuk dipatahkan
2011
Jalan
Menanjak
jalan ke depan begitu sepi
hanya kabut dan sorot lampu di
tanjakan itu
adakah kau dengar juga suara
tangis memalu telingamu?
hutan, berbukit dan tajam kelokan
menyapamu
seperti kampung halaman yang lama
ditinggalkan
entah, apa kita perlu melihat
arloji
sebab dalam gelap begini waktu
seperti berhenti
suara-suara itu, gemuruh laut
dalam tanah
tangis dari antah berantah,
membuat kita tak lagi mengenali
wajah sendiri, tubuh kita
mengabut dan salah satu akan berkata:
“aku
seperti melihat kampung halaman, itu
ayah hendak berangkat melaut
dan ibu, ah,
siapa yang digendongnya?”
entah, apa kita perlu melihat
pesta
sebab dalam gelap begini tanda
seperti tak ada
2011
Pesan-Pesan
Terserak
: Robby MW
berapa lama pesan tiba di sana?
berikan
saja percamu pada simpul
di
ujung baju
bagaimana kalau kau sampaikan
selusin surat cinta?
kau
paham kerasnya batu, oleh ricik air akan hancur juga
teruslah
sisipkan puisi-puisi malangmu ke kantung matanya
kenapa tak dibahas pula rasa
sedih orang tenggelam?
Ucapkan
santai, burung pagi dan matahari akan bernyanyi
Bagi
kakekku, rastafari
Tak kau mainkan peranmu, wahai
comblang!
sebab
dipahaminya penyair
hendak
sebut air diucapnya air
hendak
membuat emas dari segunduk pasir
bila esok jumpa maukah kau
sampaikan salam?
peranku
sudah usai, sebab aku takkan membuat kau menyerah
meski
pada akhirnya hanya tersisa selintang luka, haha
2011
Perempuan
Berambut Waktu
setiap kali menyisir rambutnya
selalu ada beberapa helai yang
rontok
lantas ia mengeluh kepadaku:
“lihat,
rambutku yang berguguran!”
ia suka bernyanyi sembari melabur
tubuhnya
dengan pengharum bearoma melati
dan aku, setelah itu, hanya bisa
termangu
memandang takjub pada bau yang
rindu
sementara ia tanpa acuh,
mengumpulkan rambut-rambut itu
di suatu kardus yang rapuh dan
menyimpannya di sudut tak tertempuh
“sebenarnya
ini adalah waktu yang telah lalu”
Serunya padaku yang tiba-tiba
senja
2011
Kediri,
3 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar