Penyair,
buku kumpulan sajaknya antara lain, Nenek
Moyang Airmata (1985), Madura Akulah
Lautmu (1978), Bulan Tertusuk Ilalang
(1982), Celurit Emas (1986), dan Madura. Akulah Darahmu (1999).
Memperoleh Prestigious SEA Award 2011 pada 16 Februari 2012 di Bangkok,
Thailand.
Jawa Pos, 8 April 2012
Bercakap dengan Sungai
sungai
dari jauh kau siram batu-batu, kau seret jubahmu, lalu terloncat aminku saat
lidahmu jadi api menjilat tebing lidahku.
kaurasakan
mati sebelum mati.kau temukan sorga dalam luka. kau tampar pipiku sampai
pingsanku melahirkan banjir. Hanyutlah sampah hanyutlah bangkai hingga aku
mampu memanggil hutan asalku.
kutemukan
muara dan laut tempat mengadu. Nama-nama telah kusebut angka-angka telah
kuhitung, tiba-tiba engkau melintang di hadapanku.
Lagi-lagi
kau seret jubahmu, kau seret nasibku, aku tahu tapi aku tak malu, aku faham
dalam bukan, aku kolam di dalam perut ikan dan engkau arus dalam bisikku. Saat
engkau menjilat langit, langit pun menjadi bersih dari awan, matahari, bulan
dan bintang dan bintang dalam gulita yang sempurna aku mengerti, engkau sedang
mengalur ke …
Di Bawah Layar
Olle
ollang
perahu
berlayar dari Madura
mendaki
ombak
memburu
angin
selagi
layar berlagu, akulah
rindu,
akulah
nyala
aku
pun singgah
di
pulau kecil
tak
berpenghuni
menggali
pasir
pantai
yang putih
o,
telur penyu berpuluh-puluh
kembali
doaku menembus lagu
butir-butir
darah bangkit dari angin
merintis
rasa yakin
bila
bintang ramai
berlayaran
di langit
malam
seperti memberi kepastian
tentang
daratan menjelang hari
serintis
langkah ombak
siul
layar, jerit tiang serta temali
senapas
dengan hati
melepas
bintang pudar pagi
ayo,
berlebuh ke teluk ambon
cari
kenalan, disuguh kue dari sagu
o,
manis, manisnya!
di
kebun-kebun
sebait
kumandang lagu Maluku
dan
hidup kembali terpacu
dan
langkah semakin tahu
ada
pelabuhan
tempat
hati membisu
ajarkanlah
padaku
rindu
ombak dan batu karang
rindu
kakekmoyang berperahu
di
ketenangan laut banda
-telah
kusimpan baik-baik
jenazah
seorang berjasa
christina
martha tyahahu-
aku
mencarinya
karena
ia adalah ibuku
kutunggu
angin sendalu
untuk
bercerita padaku
jenis
darahnya
lalu
aku pun pergi
mencarinya
ke
laut lain yang terhampar di mana-mana
di
laut yang masih tenang
perahuku
berpapasan dengan sekunar
sayup-sayup
terdengar petikan kecapi mandar
jantungku
bergetar
cuacakah
itu
yang
memainkan angin?
atau
anginkah
yang
memainkan cuaca?
yang
sedikit tahu, keduanya
saling
memainkan dolanan rahasia
pada
gerak ombak
pada
kolam cakrawala
lima
hari berbantal ombak
berselimut
angin
baru
kutiba di pantai losari
pisang
panggang
dan
sarung Makasar yang merah kesumba
mengajarku
hidup di laut
karena
lama di darat aku tak betah
olle
ollang
memanjat
ombak
mengejar
angin
menurut
cerita
aku
ini keturunan pejuang
penguasa
laut jawa
pada
abad-abad yang lalu
maka
mekarlah daun telingaku
maka
kembanglah isi dadaku
begitu
engkau menyebut nama
_Karaeng Galesong_
di
atas Pinisi
dialah
yang paling gagah berdiri di haluan
dan
tangan siap di tangkai badik
mata
nyalang berhulu ke magma
menatap
cakrawala
di
gigir laut
seiring
kapal kompeni
siri
bergolak melebihi ombak
dalam
darah
_serbu!_
maka
anak-anak yang masih di sekolah dasar pun
bisa
mengira
siapa
yang akan tenggelam ke dalam laut
jadi
mangsa ikan hiu
olle
ollang
bantalku
ombak
selimutku
angin
kekurangan
air minum
ayo
singgah di pantai jepara
sore
campur senja
laut
campur jingga
aku
pun jadi saksi
matahari
yang tenggelam ke laut jawa
tapi
ada sebuah nama
sebuah
cahaya yang tak mungkin tenggelam
dialah
kartini
yang
telah jadi derap di mana-mana
ke
barat lagi menuju bandar jakarta
melintasi
gugusan pulau seribu
_
halo, patrol!
ayo,
periksalah perahu kami
kami
bukan penyelundup telur setan
dari
mancanegara _
malam-malam
kulihat Jakarta semarak
dalam
tawa dan canda
dalam
cahaya gemerlapan yang menimbulkan
rasa
gamang di lubuk dada
dan
nasib seakan menuju remang
atau
kelam yang menakutkan
olle
ollang
bapakku
ombak
ibuku
angin
menyeberang
lagi ke Kalimantan
di
tengah laut bertemu topan
dan
maut menganga
berama
rahang gelombang
_selamat
tinggal, ibu!
selamat
tinggal,
orang-orang
terkasih!_
dalam
teka-teki hidup dan mati
mengapa
hanya
tuhan yang paling dekat
sampai
aku dan perahu
terluput
dari sekarat
esoknya
angin
pun malas
lalu
membatik laut
dengan
sisik-sisik kapas udara
dan
jangan kira ada apa-apa
kurasa
ada
cinta
pun ada
mengeram
di hati ombak
yang
hampir
tak
kuasa meriak
ah,
ketenangan ini
mengingatkanku
pada huru hara dunia
yang
baru reda
akan
bergejolak kembali
kalau
iblis
kembali
mengirim badai
ke
dalam hati
oi,
minggirlah
wahai
para nelayan!
akan
lewat di sini kapal dagang dari luar negeri
kalau
perahumu ditubruk dan kalian mati
laut
dan ombak hanya akan bisa menyanyi
tak
bisa jadi saksi
berdayung,
berdayung masuk sungai barito
amboi,
gunung meratus biru!
lambaian-lambaian
sepanjang dua tepian
mebuatku
betah berlagu
olle
ollang
tibalah
saatnya pulang
bantalku
kembali ombak
selimutku
tetaplah angin
o,
alangkah tandas angin tenggara
perahu
oleng ke kanan
melaju
ke pulau Madura
membawa
kenangan
senyuman
gadis-gadis ayu
di
bandar-bandar tempatku singgah
tapi
ada yang lebih indah
saat
perahu mencium pantai kampung halaman
ialah
senyum Ibuku
yang
menghapus seluruh dahaga
senyum
itu
selalu
memantulkan cahaya surga
1975
Puisi-puisi ini terangkum dalam
antologi puisi What’s Poetry? untuk menyambut Forum Penyair Internasional
Indonesia 2012 yang diinisiasi antara lain, oleh Henk Pubilca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar