Selasa, 06 Mei 2014

Antologi PuJa XIX ---D. ZAWAWI IMRON---



Penyair, buku kumpulan sajaknya antara lain, Nenek Moyang Airmata (1985), Madura Akulah Lautmu (1978), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Celurit Emas (1986), dan Madura. Akulah Darahmu (1999). Memperoleh Prestigious SEA Award 2011 pada 16 Februari 2012 di Bangkok, Thailand.
                                                                                                Jawa Pos, 8 April 2012
 
Bercakap dengan Sungai
sungai dari jauh kau siram batu-batu, kau seret jubahmu, lalu terloncat aminku saat lidahmu jadi api menjilat tebing lidahku.

kaurasakan mati sebelum mati.kau temukan sorga dalam luka. kau tampar pipiku sampai pingsanku melahirkan banjir. Hanyutlah sampah hanyutlah bangkai hingga aku mampu memanggil hutan asalku.

kutemukan muara dan laut tempat mengadu. Nama-nama telah kusebut angka-angka telah kuhitung, tiba-tiba engkau melintang di hadapanku.

Lagi-lagi kau seret jubahmu, kau seret nasibku, aku tahu tapi aku tak malu, aku faham dalam bukan, aku kolam di dalam perut ikan dan engkau arus dalam bisikku. Saat engkau menjilat langit, langit pun menjadi bersih dari awan, matahari, bulan dan bintang dan bintang dalam gulita yang sempurna aku mengerti, engkau sedang mengalur ke …

Di Bawah Layar
Olle ollang
perahu berlayar dari Madura
mendaki ombak
memburu angin

selagi layar berlagu, akulah
rindu, akulah
nyala
aku pun singgah
di pulau kecil
tak berpenghuni
menggali pasir
pantai yang putih
o, telur penyu berpuluh-puluh

kembali doaku menembus lagu
butir-butir darah bangkit dari angin
merintis rasa yakin
bila bintang ramai
berlayaran di langit
malam seperti memberi kepastian
tentang daratan menjelang hari
serintis langkah ombak
siul layar, jerit tiang serta temali
senapas dengan hati
melepas bintang pudar pagi

ayo, berlebuh ke teluk ambon
cari kenalan, disuguh kue dari sagu
o, manis, manisnya!
di kebun-kebun
sebait kumandang lagu Maluku
dan hidup kembali terpacu
dan langkah semakin tahu
ada pelabuhan
tempat hati membisu

ajarkanlah padaku
rindu ombak dan batu karang
rindu kakekmoyang berperahu
di ketenangan laut banda

-telah kusimpan baik-baik
jenazah seorang berjasa
christina martha tyahahu-

aku mencarinya
karena ia adalah ibuku
kutunggu angin sendalu
untuk bercerita padaku
jenis darahnya
lalu aku pun pergi
mencarinya
ke laut lain yang terhampar di mana-mana

di laut yang masih tenang
perahuku berpapasan dengan sekunar
sayup-sayup terdengar petikan kecapi mandar
jantungku bergetar
cuacakah itu
yang memainkan angin?
atau anginkah
yang memainkan cuaca?
yang sedikit tahu, keduanya
saling memainkan dolanan rahasia
pada gerak ombak
pada kolam cakrawala

lima hari berbantal ombak
berselimut angin
baru kutiba di pantai losari
pisang panggang
dan sarung Makasar yang merah kesumba
mengajarku hidup di laut
karena lama di darat aku tak betah

olle ollang
memanjat ombak
mengejar angin

menurut cerita
aku ini keturunan pejuang
penguasa laut jawa
pada abad-abad yang lalu

maka mekarlah daun telingaku
maka kembanglah isi dadaku
begitu engkau menyebut nama
            _Karaeng Galesong_
di atas Pinisi
dialah yang paling gagah berdiri di haluan
dan tangan siap di tangkai badik
mata nyalang berhulu ke magma

menatap cakrawala
di gigir laut
seiring kapal kompeni
siri bergolak melebihi ombak
dalam darah
            _serbu!_
maka anak-anak yang masih di sekolah dasar pun
bisa mengira
siapa yang akan tenggelam ke dalam laut
jadi mangsa ikan hiu

olle ollang
bantalku ombak
selimutku angin

kekurangan air minum
ayo singgah di pantai jepara
sore campur senja
laut campur jingga
aku pun jadi saksi
matahari yang tenggelam ke laut jawa
tapi ada sebuah nama
sebuah cahaya yang tak mungkin tenggelam
dialah
kartini
yang telah jadi derap di mana-mana

ke barat lagi menuju bandar jakarta
melintasi gugusan pulau seribu
_ halo, patrol!
ayo, periksalah perahu kami
kami bukan penyelundup telur setan
dari mancanegara _

malam-malam kulihat Jakarta semarak
dalam tawa dan canda
dalam cahaya gemerlapan yang menimbulkan
rasa gamang di lubuk dada
dan nasib seakan menuju remang
atau kelam yang menakutkan

olle ollang
bapakku ombak
ibuku angin

menyeberang lagi ke Kalimantan
di tengah laut bertemu topan
dan maut menganga
berama rahang gelombang
_selamat tinggal, ibu!
selamat tinggal,
orang-orang terkasih!_

dalam teka-teki hidup dan mati
mengapa
hanya tuhan yang paling dekat
sampai aku dan perahu
terluput dari sekarat

esoknya
angin pun malas
lalu membatik laut
dengan sisik-sisik kapas udara
dan jangan kira ada apa-apa
kurasa ada
cinta pun ada
mengeram di hati ombak
yang hampir
tak kuasa meriak
ah, ketenangan ini

mengingatkanku pada huru hara dunia
yang baru reda
akan bergejolak kembali
kalau iblis
kembali mengirim badai
ke dalam hati

oi, minggirlah
wahai para nelayan!
akan lewat di sini kapal dagang dari luar negeri
kalau perahumu ditubruk dan kalian mati
laut dan ombak hanya akan bisa menyanyi
tak bisa jadi saksi

berdayung, berdayung masuk sungai barito
amboi, gunung meratus biru!
lambaian-lambaian sepanjang dua tepian
mebuatku betah berlagu

olle ollang
tibalah saatnya pulang
bantalku kembali ombak
selimutku tetaplah angin

o, alangkah tandas angin tenggara
perahu oleng ke kanan
melaju ke pulau Madura
membawa kenangan
senyuman gadis-gadis ayu
di bandar-bandar tempatku singgah

tapi ada yang lebih indah
saat perahu mencium pantai kampung halaman
ialah senyum Ibuku
yang menghapus seluruh dahaga
senyum itu
selalu memantulkan cahaya surga
                                    1975



Puisi-puisi ini terangkum dalam antologi puisi What’s Poetry? untuk menyambut Forum Penyair Internasional Indonesia 2012 yang diinisiasi antara lain, oleh Henk Pubilca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...