Tinggal
di Batang-Batang Madura. Kumpulan puisinya “Kelenjar
Laut” memenangkan Hadiah Mastera 2010
dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
Jawa Pos, 4 November 2012
Hutan
Tak
ada alasan, akar itu tak berayun
Sedangkan
hutan telah menetapkan lebatnya
Di
bawah asuhan kelopak nyanyian burung
Ayat-ayat
bicara dalam denyut nadi
Bahwa
aku tidak sendiri, tidak sendiri
Ayat-ayat
terus bicara
Rintik
hujan membacanya dalam bahasa cuaca
Tiba-tiba
aku kehilangan segalanya, hatiku karu
Padahal
hutan tak menyimpan penjuru angin
Kuikuti
langkah semut pelan-pelan
Beringsut
memandu ketidakpastian
Air
terus menderas tanpa merasa dirinya hujan
Dan
aku menjadi basah,
Sehingga
semesta daun kudengar lagi
Dan
kudengar lagi
Kejauhan
yang sayup menyimpan embun
Menyimpan
bisik-bisik tersunyi rahasia pantun
Engkau
Pada
secangkir kopi hitam
Terbayang
wajahmu
Masih
menyanyikan lagu yang dulu
Zaman
memang melompat
Tapi
lagumu masih ingin kudengar
Untuk
menghormati kedalaman hutan belukar
Dan
cangkir ini, bukan hanya keramik
Tapi
jadi bagian dari rongga dadaku
Untuk
sebuah dulu yang jadi nanti
Karena
nurani tak bisa diganti
Seperti
nyawa
Yang
tak boleh cair jadi nyawa
Tempat
berbiak ular dan buaya
Dan
engkau tetap masih kurindu
Dalam
susunan kata tempat memancar air susu
Renungan Tepi Ngarai
Aku
harus menjelma siamang atau ular
Untuk
memasuki belukar yang tak kunjung selesai itu
Di
balik daun demi daun
Sedikit
kubaca, selebihnya adalah rimba
Yang
selalu bicara dengan bahasa rahasia
Menjadi
ular, kususuri lubuk-lubuk bumi
Kumasuki
lubang demi lubang, kuterjemahkan
Ke
dalam bahasa yang tidak pernah didengar bulan
Itulah
kenapa langit harus berbintang
Dan
jalan disebut jalan karena dilewati orang
Tapi
aku ular, tak mau lewat jalan yang dilewati orang
Aku
menyerbu, mendesis dan memangsa
Katak
atau puyuh tanpa serakah
Untuk
menyambung hidup dan membuktikan
Bahwa
aku hadir dan selalu pergi untuk mencari
Menjadi
siamang, kupanjat ketinggian pohon
Kudengar
bisik hujan pada daun
Kuteriakkan
kesal karena kapak-kapak yang galak
Yang
membabat pohonku, aku sedih
Tak
tahu orang-orang yang membaca buku
Suka
merusak suka memburu
Apa
guna sekolah dan gelar yang mekar
Di
samping nama, kalau lubang kiamat
Digali
sendiri
Kembali
menjadi orang, aku tak mampu
Menghitung
hutang, sejarah yang darah-darah
Cerita
dan airmata, perang dan
Senapan
mambuat kiblat bertanya
Sejauh
kapan bumi bisa berdandan?
Tafsir Pelangi II
Tafsir
pelangi berkabar, agar orang tahu akar
Agar
aku tetap aku dan engkau tetap engkau
Dalam
senyummu yang menggagalkan topan
Aku
berdayung dan engkau bersampan
Meskipun
bumi bisa berbagi
Dalam
petak lading dan pekarangan
Cobalah
duduk, bayangkan langit, laut dan danau
Bayangkan
kebebasan burung dan ikan-ikan
Air
dan angkasa tak bisa dikapling
Tak
bisa dibuat sejenis pematang yang bisa dilewati anjing
Dengan
ketinggian bintang semalam
Semoga
aku tahu kedlaman lautan
Keharuman
tanah perbatasan
Serta
bisa minum dari kelepak capung
Yang
setiap pagi mengibaskan angin dan embun
Agar
aku lebih menikmati
Lambaian
tanganmu yang mekar di seberang
Bertahun
Bertahun-tahun
kami bertahan
Pada
setangkai ranting bernama takdir
Tak
ada yang mengusir
Tapi
terasa, dan seperti nyata
Ilalang
suka mencibir
Sawah
yang hamil kalau tidak disiram darah
Dan
lading yang tak gembur kalau tidak digores pedang
Menunggu
puisi yang menyapu tanpa lidi
Agar
bendera tak hanya pandai berkibar lantang
Tapi
bisa bersujud, menyukuri segenap wujud
Lalu
mana otak-otak cemerlang
Yang
kembang meniru bintang
Kalau
tak bisa mengusir gelap
Kalau
hanya menambah legion gagap
Inilah
keajaiban, semakinpandai orang
Semakin
pandai membakar hutan,
Membiak
virus dan menggandakan tanah warisan
Bertahun
kami bertahan
Pada
setangkai kembang bernama melati
Seakan-akan
sekadar main kata dengan nurani
Padahal
kami ingin mengharkati bumi
Dan
merias dengan kecermatan matahari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar