I.
JUMARI H.S.
Bergiat di Komunitas Sastra
Indonesia, Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus, dan Pergerakan Sastra Buruh di
Kudus. Karyanya bertebaran di berbagai media massa dan antologi puisi.
(Jawa
Pos, 1 Januari 2012)
Menjelang Tahun Baru
jarak sunyi semakin jauh di
mataku
Begitu pun tahun yang luruh
Telah menyisakan segala aroma
angin
Sampai sayapku terengah dan
bulu-bulunya rontok
Menghayati tanah telah membatu
Aku
pilu dalam kereta waktu
Melihat
pohon-pohon tak lagi rimbun
Suara
burung pun sangat asing
Aku
temukan airmata air menetes
Kehilangan
hutan, kehilangan jiwa
Begitu pun sungai
Entah kemana arus dan beningya
Di sini, pelayaranku merana
kehilangan muara
Sampah dan lumpur yang tersisa
Mengelamkan cinta
Jarak sunyi semakin
jauh
Begitu pun tahun
luruh
Hatiku pecah
menggemuruh
Kelam!
(Kudus, Desember 2011)
Malam Tahun Baru
Malam,
Tak ada sepi
Di daun itu
Embun mengelupas
Usiamu
Suara petasan
Dan kembang api
Bertaut di angkasa
Mengiris udara
Di nafasmu
Malam
tanpa mimpi
Sepanjang
jalan menggerlap
Suara
terompet
Mengiris
rindu
Aku
sendu
Airmata
mengerling
Esok,
masihkah ada matahari?
(Kudus,
Desember 2011)
Sujud Tengah Malam
Aku temukan sunyi menjadi laut
Lalu aku mendayung perahuku
dengan zikir
Menyusuri ombak yang membuka
pintu demi pintu cahaya
Di atas, ada bintang-bintang
tersenyum dan menyapa
Dengan bahasa cinta, tapi aku
gagap dengan diriku yang penuh luka
Aku sembunyikan wajahku dalam
sujud
Diriku yang muasal tanah,
mengajarkan kerendahan hati
Iba anak yatim, rintih duafa
bertautan sepertu Tuhan bernyanyi
Dan iramanya menggelayut di urat
nadi
Aku menangis, berenangan dalam
airmata sendiri
Sujudku pun semakin khusuk
Sampai negeri keheningan aku
tempuh
Sejauh mata memandang, dan darah
bergolak
Dan gemetar yang membangunkan
bulu kudukku
Mengelupas luka dari perih yang
menggigil selama ini
Sujudku tengah malam
Aku temukan negeri embun
Dinginnya tanpa warna, aromanya
mengajariku
Tentang makna-makna
Sujudku tengah malam merayap
dalam kemenangan-kemenangan
November
2011
Membaca Daun Jatuh
Di bongkahan batu zaman, kubaca
daun jatuh terlentang
Sendunya menusuk mataku yang
,elihat cuaca pilu
Aku terpaku lalu linglung,
merasakan angin semakin menderu
Dan pohon-pohon tersa
bertumbangan di dadaku
Daun yang jatuh itu, tiba-tiba
menjelma puisi di jiwaku
Warnanya telah menguning
kecoklatan dan tampak merintih
Suaranya sembilu, sebagaimana
hatiku menyulam cahaya yang mendebu
Aku tergagap di tengah kota,
kehilangan diri sendiri
Membaca daun jatuh
Senja membersit bayang-bayang
perih di mata
Kudus,
Nov 2011
II.
JUMARI H.S.
Lahir di Kudus, 24 November 1965.
Pada 1-3 Juni 2012 diiundang baca dan bedah puisinya di Universitas Hankuk,
Seoul, Korea Selatan. Ketua teater Djarum ini sehari-hari menjadi supervisor bagian
produk si rokok PT Djarum Kudus.
Jawa Pos, 14 Oktober 2012
Buruh
1
Keringat itu
Adalah sembahyangku
Yang menetes-netes cinta
Dalam ketulusan kerja
Buruh
2
Deru mesin itu
Menjadi sahabatku
Suaranya indah dan merdu
Semoga seperti hati majikanku
Buruh
3
Aku,
Beribu bahkan berjuta Wiji Tukul
Yang terus bersuara
Yang tak akan pernah mati!
Kudus, 2012
Tasawuf
Tembakau
:Pekerja Linting Rokok
Dari aroma tembakau aku menemukan
ibu
Memasak keringat sendiri dan
dapur yang mengepul
Mengudang percakapan-percakapan
tentang cinta
Begitu usia dilintingnya penuh
kelembutan
Terasa hatiku dibelai ayat-ayat
suci
Seperti puisi menari di angin
Setiap desirnya mengingatkanku
pada rumput
Yang tabah dengan segala suaca
Tak ada desah resah, ketegarannya
menuntun langkahku
Mengembarai ruang-ruang penuh
cahaya
Barangkali, mereka beribu bulan
di pekuburan!
Embun bukanlah airmatanya
Melainkan jiwa yang mengelupas
kebuntuan
Dan sungai-sungai mengalir di
dadaku
Burung-burung berkicau di sukmaku
mensujudkan rindu ya rindu
Dari aroma tembakau
Aku di pori-porinya, mendengar
gemerincing tasbih
Seperti tongkat Musa membelah
makna-makna.
Kudus, 2009
Ajari
Mereka Tergabung
Cuaca pun telah menyengat perih
Rumput dan ilalang kesakitan di
batu-batu
Mereka menjerit di balik kabut
ketakberdayaan
Mengharap-harap rindumu!
Matahari tak pernah ingkar janji
Angin yang telah mengajarimu
mengembara
Ajari mereka terbang, seperti
burung-burung
Di angkasa
Mengicaukan kebenaran dan
keadilan
Kudus, 2012
Kuman
Clostridium Perfingens
Ia begitu ganas,
Mengunyah dagingku dengan lahap
Tak peduli perih dan sakit
merintih-rintih
Ia terus merayap dan merayap, 1
jam = 1 ml
Menuju jantung, bahkan ke otak
Sampai maut dekat di
tenggorokanku!
Ramadan, 2012
Angin
Desember
:Bonari N.
Angin itu, terbangun di pucuk
daun-daun
Lalu, melambai, mengajakku
memasak sunyi
Hujan yang tak lerai
menenggelamkan jiwa
Meraba cahaya begitu masa silam
menderu
Mungkinkah ada kekalahan?
Desember,
Ada sesal tertangkap yang basah
dalam gerimis
Menjadikan kegetiranku berenang
di sungia waktu
Jarak muara yang selalu rahasia
itu, begitu memdebah
Lalu merayap entah
Bulan ini, puisi getir menyulam
waktu dalam usiaku
Angin itu, kesekian kali
mengantarkan desember
Usiaku menjulai, melumut di
perbatasan
Terasa detak jam mengiris tubuh
yang makin lelah
Aku lunglai memetik cahaya, Tuhan
Angin desember
Mengantarkanku ke sebuah
belantara penuh kabut
Aku hanya bisa menghitung
angka-angka berdebu
Dalam keheningan airmata!.
Kudus, 2008
Tembang
Tembakau
Pada tubuhmu
Mataku menemukan rumput-rumput
yang ramah
Senyumnya riang mengundang
kekaguman siapapun
Dan ketulusannya mengajariku
tentang doa keringat
Dalam kekhusukan yang bersahaja
Pada tulang-tulangmu
Imajinasiku menari dalam
gemerincing gilingan rokok
Membuat aku terpesona,
menyaksikan wajah-wajah polos
Merenda beban tanpa keluh dan
tariannya
Menebar bau wangi yang
dihembuskan nafasnya
Aku seperti menemukan indahnya
kehidupan
Pada urat nadimu
Aku dengar arus sungai dalam
gemericik syahdu
Seperti tembang ibu saat
menidurkanku
Lalu, aku bermimpi menikah dengan
Suminah
Yang sekarang jadi istri
sehidup-semati
Pada tembangmu
Rumput-rumput senantiasa menari
dan menari
Istri dan anak-anakku berbaur
riang
Pelan-pelan mengurai airmata
syukur
Yang menetes-netes bahagia!
Kudus, 2011
Anakku
Menggambar
Dengan airmata
Anakku menggambar matahari
Sudah satu hari penuh, tak
jadi-jadi
Matahari yang digambarnya pun
pergi
Anakku menangis, merasakan ada
sesuatu
Yang hilang
Sebagaimana lehilangan sejarah
yang ada di negeri ini.
Kudus, 2007
Kediri, 11 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar