Antologi Puisi Jawa Pos VI
FERDI AFRAR
Lahir
di Surabaya, 9 April 1983. Penikmat seni rupa dan sastra. Berproses bersama
Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
Jawa Pos, 8 Januari 2012
Mitos Kamar Tidur
Terimakasih
untuk Widya dan Anhar
Terimakasih kamu persilahkan aku
bercermin di kepalamu, meski rambutmu telah beruban dan rontok, masih saja
nikmat bersolek dan memantas-mantaskan topiku. Biar aku tak malu bila bertemu
kamar tidur.
Terimakasih kamu perkenalkan aku
kepada kamar tidurmu. Di tubuhnya yang bergambar batik dan bunga-bunga,
tersimpan banyak biji mata. Kamu tunjukkan bagimana menyeka airmatanya bila ia
sedang berduka. Dan menusuk-nusukkan luka bila ia keras kepala. Kamu ajarkan ia
menjadi anak yang tak boleh tumbuh dewasa.
Lima Menit dari Televisi
Kami seperti mencari
padanan yang pas
dari rongsokan mitos
dan ketakutan
Esok
hari bagi kami
seperti
lubang hitam
dan kami pasrah
saja.
Atau barangkali
kami hanya mampu
sekali bergaya,
membeli sebatang rokok,
nampang
di depan
kamera
handphone
melipat
bibir paling seksi,
klik
Ah,
kami memang
setolol
mereka
dalam
televisi dan poster.
Selalu menenggak racun
dan pura-pura tertidur
Blur
setelah kesedihan meninggalkanku,
siapa lagi yang sudi merawat semua luka yang menahun di tubuhku. ketika kegembiraan
juga menutup jendela rumahnya, saat aku ingin mendengarkan dongeng dari
mulutnya yang merah.
:hanya angin yang meniup
daun-daun kering debu seperti segerombolan kutu menggatali mataku yang seperti
batu.
Pria Bersorban Hitam
1
Siapa mengetuk pintu sepagi ini.
Tanpa salam maupun ucap permisi.
Aku buka pintu pelan, ada seorang
pria bersorban hitam berdiri
di teras depan. “Bapak siapa?”
kataku. Belum sempat tanyaku dijawab,
ia sudah melangkah masuk. Bukan
lewat pintu, tak juga jendela.
ia begitu saja hadir seperti
udara. “Mencari siapa Pak?” kataku lagi.
Tapi ia telah duduk di kursi
ruang tamu sambil merokok. Aku bingung.
Aku masuk ke dalam kamar. Ia
sudah rebahan di atas ranjang
memeluk istri dan anakku. Aku
berlari ke kamar mandi.
Ia telah telanjang, mengguyur air
dengan gayung sambil bersiul.
2
Di ruang tamu masih kulihat ia
duduk, diam. aku takut.
Tiba-tiba ia berkata:”Aku ingin
menjemputmu”. Aku kaget.
“Mau kemana Pak?” tanyaku. Ia
jadi diam. Aku gemetar.
“Baik Pak…, tunggu sebentar, aku
akan berkemas.”
Aku habiskan dulu secangkir kopi
mimpi.
Kukenakan dulu sarung coklat
kesayangan.
Aku sisir rambut dulu. Setelah
itu kupakai baju koko putih pemberian istri.”
Tiba-tiba ia menyeretku. Hai…
3
Pria itu menurunkan aku di balai
desa.
Tapi kenapa disini ada ibu dan
ayah?
“Ibu dengan Ayah menyambut
kedatanganmu Nak,” katanya.
Aku juga melihat Marni istriku,
bersama Ayu anakku.
Mereka melambai kepadaku. Aku
tersenyum.
Pakde, Bulek, juga datang. Pak
Wasis dan Sartono,
tetangga sebelah menyapaku.
Kemudian Rudi temanku,
menepuk bahuku dari belakang. Ia
menjabat tanganku.
Semua orang di balai desa
berjabat tangan, seperti lebaran.
Setelah itu kami kenduri bersama,
di dalam tanah.
Bersama urukan jerit, tangis, dan
tanya.
Singgah
Ia menengadah ke angkasa
Seperti ada yang menatapnya manja
bersembunyi di sebalik
awan, di antara kerumunan kicau
burung.
Seperti ada yang menyentil
daun-daun dan juga jemuran sarung.
seperti ada yang melambai, yang
membuat rambutnya terburai.
Seperti ada yang
menggemerincingkan air, melumutkan dinding.
seperti ada yang berbisik,
merambat di kuping.
Seperti ada yang menggesitkan
cahaya di dedahan, kemudian
menggambar di permukaan. seperti
ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan.
Seperti ada yang menunjukkan
jalan kepada debu, membuatnya
bersayap seperti kupu-kupu
kemudian hinggap di matanya.
Seperti ada yang memberinya kado
waktu, tempat ia menanggalkan amuk di tubuh memudarkannya di angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar