Lahir dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Pembaca dan penulis puisi.
Jawa Pos, Minggu: 12 Agustus 2012
harmoni
segalur gulutan
rambatan sulur-sulur ketela
di pendamannya, umbi-umbi beberapa kepalannya
di sela-selanya
batang-batang cabai dan tomat
menggelayutkan buah-buah merahnya
dan mereka tak pernah saling berebut
sericik kali tuangan
brambang
airmata siapa sebenarnya yang tersimpan
di tiap lapis kulit umbi kami
air mata yang kelak bakal kami keluarkan
dari mata perempuan-perempuan pengupas
sungguhkah itu air mata si perempuan
yang menunggu lelaki yang pulang
terlalu larut dengan aroma parfum
perempuan yang bukan bau si perempuan pengupas
atau sebab lebam merah pipinya yang tertampar setiap ia bertanya,
“urusan apa yang membuat kau terlalu payah menjamahku?”
atau sebab anak-anak yang beranjak dewasa
lalu terjebak cinta
hingga lupa rumah yang selalu ia buka
untuk menyambut?
sungguh, yang kami lebih percaya
air mata itu bermata air di sudut
mata petani tua yang wajahnya dipenuhi
kerut murung
kerut sebab petani itu begitu mencintai kami
hingga rela mereka susah-payah
menata galur,
teliti memeriksa gulma,
cermat menjerat gabuk pelapuk,
tak henti meminumi kami dari kali yang jauh,
juga menyediakan berlapis humus
namun terus dibikin kecewa
perihal tawar bakul yang tak cukup
ditukar beras barang sekilo
sungguh, kami rasa lelah dan tabah mereka
dan dari mereka pula
kami mengerti bagaimana sabar
serta menahan perih
setiap bilah pisau
merajam kami
dan perempuan pengupas
menjadikan kami sekadar pemura-mura
jika lelakinya berseru:
demi tuhan, aku bersetia kepadamu
cabe
selain sepercik dingin gunung
secuplik humus bagus
dan sericik air di kedokan
tak ada lagi yang kami butuh untuk tumbuh
tengadah ke langit serupa pendoa
pendoa murung menanggung rindu dendam
pada kekasih kami
kekasih yang menjelma
di buih lautan
di ombak yang tak henti menatap karang
kekasih yang serupa petualang
terus ingin mengarungi hidup
merasa asin garam takdir
agar kelak kami dapat saling melengkapi
ketika tiba bertemu
dalam layah dan menyatu dilumat cobek
sungguh, kami sempat berputus asa
lalu mengira cinta perkara angan
yang bakal segera lenyap dihembus angin
ah, bagaimana kami bisa menebas jarak tanpa kaki?
kadang-kadang, jika rindu kami
sudah tak lagi tertanggung
kekasih yang jauh itu merayu ombak,
“bawa kami ke gunung-gunung!”
dan ombak menjadikan dirinya tsunami
dan aku mematahkan tangkaiku
ketika hujan turun
berharap hanyut ke sungai:
jalan menuju laut
tapi kemudian kami sadar
bila itu perkara percuma belaka
sekadar menjatuhkan air mata
orang-orang yang kehilangan rumah
dan orang-orang tersayang
serta petani yang kehilangan harap
akan panen
maka kami jadi pendoa saja
dan tuhan dengan humor anehnya
mempertemukan kami
untuk menikmati nasi dan lauk siapa saja
dan meski kemudian kami musnah
dalam kecap
kami bahagia
bisa bersama menuju surga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar