Kamis, 30 Agustus 2012

Cerpen Anak


Cerpen Anak
KALAU BOLEH MEMILIH
(Luluk Nur R.)
“Adik-Adik, dengan terpaksa Pinru dan Wapinru, hari ini juga harus keluar dari anggota! Bla… bla… bla….” Ucap kakak pembina. Seketika pucat wajahku dan tangisan seluruh anggota Pramuka Siagaku seakan tidak bisa berhenti. Kupeluk teman-temanku. “Aku pulang dulu ya…”, aku berpamitan kepada teman-temanku yang masih menunggu jemputan orang tua masing-masing. Teman-teman, baik tim olimpiade maupun anggota Pramuka berpesan: “Jangan menangis ya, Bil...”  Semoga besok ada jalan keluar.
Di perjalanan mamaku menanyakan kegiatan yang kuikuti hari itu. Ya…hari Jumat biasanya aku berlatih Pramuka. Namun beberapa minggu ini ada perubahan jadwal pembinaan olimpiade, yang sebelumnya diadakan hari Rabu menjadi bersamaan dengan jadwal Pramuka. Hal ini membuat anggota Pramuka yang juga masuk dalam tim olimpiade menjadi bingung. Kami berpikir bahwa dua kegiatan itu sama-sama penting. Makanya hari Jumat itu kami masuk pembinaan olimpiade.
Aku menjawab pertanyaan mama hampir tak bersuara: “Nabila sekarang bukan anak Pramuka lagi, Ma.”
“Lo… kenapa?”, tanya mama.
“Ini, Ma… Kakak Pembina meminta anggota Pramuka yang merangkap tim olimpiade supaya mengundurkan diri”, kataku dengan suara parau karena menahan tangis. “Nabil kan masih kelas lima, Ma. Seharusnya masih ada kesempatan, minimal satu semester ini… saja. Nabil belum siap mental. Meskipun capai, Nabil nyaman kok bersama teman-teman Pramuka. Ini namanya pemecatan! Ma”, tangisku meledak.
“Sabar ya, Nak. Mungkin ini salah paham saja. Memang, mungkin ada benarnya. Olimpiade Bahasa Inggrismu waktu lalu jatuh. Sehingga sekolah menyalahkan Pramukamu. Tapi baiklah, nanti kita bicarakan di rumah”, mama menghiburku.
Sore itu aku tidak segera mengambil piring untuk makan tambahan seperti biasanya.  Aku menutup diri di kamar sambil menangis. Kupandangi foto-foto lomba kepramukaan yang kuikuti di mana-mana. Lumayan banyak prestasi yang kami peroleh. Ini berkat kegigihan Kakak Pembina yang begitu tulus dalam membina kelompok Pramuka sekolahku, yaitu SD Anugerah. Tak heran banyak sekolah-sekolah lain mengenal tentang “SD Anugerah” karena kehandalan Pramukanya.
Kejadian demi kejadian waktu lomba tingkat kabupaten maupun propinsi terlintas di pikiranku. Ada kejadian, tengah malam aku menjerit-jerit ketakutan karena di kepalaku ada sesuatu yang melingkar. Lunak sebesar ibu jari kaki. Kukibas-kibaskan dengan tangan tak jua mau pergi. Akhirnya teman-temanku mengambil senter untuk melihat, binatang apa yang sebenarnya menggangguku.
“Ha… ha… ha…Nabil… Nabil…”, teman-temanku tertawa terbahak-bahak karena yang ada di kepalaku ternyata tali rambut milik Aura, teman di sebelahku. Aku tersenyum ingat kejadian itu.  Juga teringat waktu masak nasi di bawah pohon, ehhh ada ulat yang terjatuh dalam adonan nasi. Untuk yang ini, rahasia deh… hanya aku dan Oci yang tahu. Untung teman-teman masih ada kegiatan. Kalau tahu,  waduuuh dijamin tak ada yang mau makan. Aku jadi geli sendiri. Lalu kubuka laptop yang berisi gambar-gambar maupun video lomba-lomba Pramuka, termasuk waktu aku menerima piala dari panitia.
Piala demi piala kuamati satu per satu, namun ucapan kakak pembina tadi mengganggu pikiranku lagi, kembali air mataku tumpah. “Akankah kegiatanku bersama teman-teman berakhir begini saja… mendadak lagi! Aku belum siap dengan keputusan ini”. Baru saja kami menggondol piala, meskipun hanya juara ketiga tingkat propinsi. Tapi aku sudah bertekad dan berjanji, bahwa aku dan teman-teman akan berjuang untuk meraih juara pertama. Semboyan-semboyan kepramukaan kupajang berderet-deret di kamarku, demi penyemangat belajar dan kejayaan Pramuka SD Anugerah.
Tok! Tok! Tok! Mama masuk ke kamar: “Sholat dulu, Nabila… asyarnya sudah hampir habis nih. Berdoalah! minta petunjuk pada Allah agar diberi ketenangan. Nanti mama akan menghubungi kakak pembina untuk konfirmasi. Oke, Cantik… senyum dulu dong!”
Sambil menunggu aku mandi dan sholat, ternyata mama mengirim pesan pendek  ke kakak pembina Pramuka untuk menanyakan kebenaran berita. Langsung dijawab oleh kakak pembina bahwa sepulang dari suatu urusan nanti, kakak pembina akan datang ke rumah untuk penjelasan lebih lanjut.
Akhirnya kakak pembina datang untuk meluruskan permasalahan. “Begini, Bu… sebenarnya berat saya mengungkapkannya. Akhir-akhir ini prestasi  tim olimpiade menurun, setiap mengikuti olimpiade belum bisa membawa hasil yang memuaskan. Apalagi pelaksanaannya bersamaan dengan lomba-lomba Pramuka. Dua kegiatan ini sama-sama  memerlukan waktu ekstra untuk pembinaan. Kebetulan putri Ibu salah satu siswa yang merangkap kegiatan tersebut. Jadi, waktu pembinaan olimpiade dia sering tidak datang karena mengikuti latihan Pramuka. Inilah permasalahannya, sehingga kepala sekolah  meminta anak-anak untuk memilih salah satu kegiatan tersebut.” Kakak pembina menjelaskan duduk perkaranya.
Sambil mendengarkan pembicaraan mama dan kakak pembina dari kamar, entah sudah berapa ratus kukirim SMS curhat ke teman-teman maupun kakak-kakak alumni Pramuka. Ada yang simpati, tetapi juga ada yang provokasi untuk memberontak ke sekolah. Yang jelas semua menyayangkan dan memotivasi aku untuk tetap sabar dan tegar.   
Spontan aku menghambur menemui kakak pembina, papa, dan mama di ruang tamu. “Tapi, Kak, saya kan belum bisa membawa kejuaraan untuk olimpiade Bahasa Inggris. Saya akan ikut Pramuka saja sampai habis masa bakti pada kelas enam nanti. Ini tidak adil, Kak. Keputusan ini terlalu mendadak”, selorohku agak emosional.
“Nabil.., dalam waktu dekat ini kan ada olimpiade lagi. Kamu dan teman-teman tim olimpiade sebaiknya fokus belajar untuk bidang studi masing-masing. Kamu belajar soal-soal Bahasa Inggris, Dani belajar IPA, sedangkan Yuna belajar Matematika. Kalau sudah selesai olimpiade dan kita tahu hasilnya, baru kita musyawarah lagi bersama bapak kepala sekolah”, kakak pembina menjelaskan.
Masih dengan penyesalan, aku menyetujui apa yang disampaikan oleh kakak pembina. Lama kami membahas masalah ini, apalagi papa ikut nimbrung. Juga kakakku yang alumni Pramuka SD Anugerah. Kami sekeluarga yang pecinta Pramuka mendukung bagaimana keputusan yang terbaik untuk kemajuan Pramuka.
Sepulang kakak pembina, aku tidak bisa belajar dengan tenang. Masih tersisa kegelisahan, aku berdoa pada Allah agar kakak pembina dan bapak kepala sekolah mencabut keputusan ini. Dulu aku dipaksa-paksa orang tuaku untuk ikut Pramuka, sekarang jiwaku sudah mulai menyatu dengan kepramukaan. Ternyata berakhir dengan kekecewaan.
Mampukah aku membawa nama baik SD Anugerah dengan olimpiadeku nanti. Bukan berarti aku tak mau berusaha, namun aku tak yakin dengan kemampuanku. Dan kalau boleh memilih, pasti aku akan menjatuhkan pilihan kembali ikut meramaikan dunia Pramuka. Seperti kakakku juga. Apalagi  Pramuka sekarang kurang peminat karena tergerus oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat modern. Lalu siapa lagi yang mau menghidupkan kejayaan Pramuka kalau bukan aku dan teman-teman.

Selasa, 28 Agustus 2012

Cerpen Anak


Cerpen Anak
Runtuhnya Kesombongan
“Uli berangkat Bu, doakan menang ya..”. pamit Uli kepada ibunya sewaktu hendak berangkat lomba pidato di kecamatan.” Pokoknya doakan dapat juara satu lo Bu!”, rengek Uli kepada ibunya. “Iya, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anak ibu. Tapi tidak baik Nak, selalu berharap dapat juara satu. Yang penting kamu sudah berusaha agar menjadi lebih baik, biarlah Tuhan yang menentukan segalanya”, nasihat ibu kepada Uli.
“Iya sih Bu, tapi Uli kan sudah sering dapat juara di kecamatan dan kabupaten, masak sekarang kembali di tingkat kecamatan Uli tidak dapat juara, Uli kan malu Bu…”,Uli masih bisa menjawab. “Terserah kamu saja..lakukan yang terbaik, kalau ada apa-apa kan ada guru yang menemanimu”, kata ibu.
Uli, gadis kelas 5 dengan segudang prestasi. Ia punya banyak bakat di bidang kesenian, kepramukaan, olah raga sampai bidang keagamaan. Bakat yang diperoleh dari ayahnya yang seorang musikus dan ibunya yang seorang guru bahasa Indonesia di SMA. Ayah dan ibu selalu membimbing Uli dalam menekuni kegiatan ekstranya di luar sekolah. Ayah membimbing Uli dalam hal menyanyi sedangkan ibu membimbing dalam hal kebahasaan ataupun kesastraan.
Uli sering menjuarai lomba-lomba yang diadakan di sekolah ataupun di kecamatan dalam berbagai acara. Bahkan sudah merambah kabupaten untuk bidang menyanyi dan pidato. Saat ini Uli hendak lomba pidato di kecamatan. Dengan penuh keyakinan dan berbekal pengalaman sering menjuarai , Uli berbaur dengan peserta lain di pendapa kecamatan. 
“Aku kan sudah terbiasa lomba dengan materi yang ditentukan oleh panitia, sehingga harus berimprovisasi dalam waktu yang singkat. Padahal sekarang materinya bebas, ah kecil..aku pasti bisa, aku pasti menang. Apalagi ini hanya tingkat kecamatan”, pikir Uli sambil menunggu nomor pesertanya dipanggil.
Akhirnya tiba juga waktu Uli untuk maju. Uli berdoa agar menjadi juara satu, ia melangkah pasti.. Ia pun menyampaikan pidato dengan penuh percaya diri. Tepuk tangan para penonton membuat Uli bangga dan tersenyum bahagia. Puas dengan hasil pidatonya, Uli bersama pak guru segera meninggalkan tempat lomba meskipun belum tahu hasil penilaiannya. Tapi Uli yakin seratus persen bahwa dia pasti dapat juara pertama. Sekarang Uli hendak menghadiri undangan menyanyi di kantor Dinas kecamatan. Namun sial, tiba-tiba tenggorokannya Uli gatal, sehingga batuk pun tidak dapat dihindari. Uli minta maaf kepada peserta rapat dan segera menghambur keluar bersama pak guru. Uli tidak berani menoleh lagi kepada para peserta rapat.
Sampai di rumah Uli menceritakan bahwa waktu menyanyi ada kejadian yang membuat malu, yaitu batuk –batuk pada waktu nada tinggi. Mungkin ini peringatan dari Tuhan, karena Uli sering meremehkan untuk berlatih. Uli terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Atas peristiwa itu Uli cepat pulang. Tetapi setelah ditanya ibu tentang lomba, Uli antusias menjawab, “Oh kecil Bu..pesertanya hanya tingkat antarsekolah sekecamatan, paling akulah sang juara”, jawab Uli seakan-akan kesedihan tadi sudah terlupakan setelah membicarakan lomba. “Ya mudah-mudahan saja, sudah sana! solat Dzuhur terus makan dan istirahat”, kata ibu sambil menidurkan adik.
“Selamat Uli, kamu mendapat juara dua, dan inilah hadiahnya”, kata bapak Kepala Sekolah keesokan harinya. “Lo, apakah tidak keliru Pak!, masak saya mendapat juara dua. Ini kan tingkat kecamatan. Sedangkan saya sudah jadi  juara kabupaten”, sela Uli seakan-akan tidak terima dengan hasil yang diperolehnya. “Huu……”. sorak teman-temannya. Teman-teman Uli sudah hafal dengan sifat Uli yang sok percaya diri dan sedikit sombong.
“Sudahlah Uli, alhamdulillah kamu masih dapat juara dua. Bukankah generasi baru juga akan selalu bermunculan. Apalagi lembaga pendidikan sekarang bertebaran di mana-mana. Jadi tidak heran jika bermunculan wajah-wajah baru.”, nasihat bapak Kepala Sekolah.
Rasa kecewa Uli terbawa sampai di rumah. Ayah dan ibu berusaha menasihati agar Uli tidak patah semangat dan selalu belajar agar kemampuannya terasah terus. Ayah menghendaki agar Uli pandai bersyukur terhadap apa yang diperoleh. Juga belajar  menerima kenyataan agar tidak menjadi orang yang sombong. Tuhan tidak suka kepada manusia yang sombong. Tuhan tidak akan menambah nikmat kepada orang yang tidak pandai bersyukur.
Dua minggu sudah, Uli telah melupakan kekecewaannya atas prestasi yang dia peroleh. Uli kembali ceria bersama teman-temannya.. Di saat pelajaran berlangsung, bapak Kepala Sekolah masuk ke kelas untuk memberitahukan bahwa SDN Asa Maju, tempat Uli bersekolah mendapat surat dari kabupaten. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa SDN Asa Maju diharap mengirimkan Uli untuk mengikuti lomba pidato tingkat propinsi. Karena Uli telah menjadi juara kabupaten. Teman-teman Uli bertepuk tangan menyambut gembira. Bapak Kepala Sekolah berpesan bahwa kalah dan menang dalam perlombaan adalah hal yang biasa.
Uli menunggu giliran maju lomba pidato ditemani ibu dan bu Indi guru bahasa Indonesia. Sebelum tampil Uli berbisik kepada ibu dan bu Indi, minta  agar didoakan  mendapat juara satu. Keduanya hanya mengangguk untuk memberikan motivasi kepada Uli.
Dengan hati mantab, Uli berusaha dengan sebaik-baiknya menyampaikan pidato.Uli yakin kali ini pasti menjadi yang terbaik karena waktu yang ada dimanfaatkan betul-betul untuk berlatih. Uli menunggu dengan gusar sampai peserta habis. Tidak lupa masih selalu meminta kepada Tuhan untuk hasil yang terbaik, yaitu juara satu.
Saat yang paling mendebarkan, yaitu pengumuman pemenang. Uli mendengarkan  mulai dari juara harapan tiga sampai satu, namanya belum disebut. “Wah selamat aku tidak masuk dalam juara harapan”, pikirnya.
Panitia membacakan,” Juara ketiga diperoleh nomor undian enam!”. Semua tepuk tangan. ‘Juara kedua disandang oleh nomor undian ….sembilan belas!, dan inilah juara pertama kita, nomor undian….jantung Uli semakin berdetak kencang, dia yakin menjadi juara pertama karena nomor undiannya belum disebut sama sekali. Panitia mengulangi lagi untuk membuat penasaran hadirin.
“Inilah…juara pertama…dengan nomor undian…dua..puluh ti..ga..!!”, tepuk tangan yang meriah itu seakan tidak terdengar di telinga Uli. Uli tidak percaya, ia melihat kembali nomor di dadanya. “Hah, nomorku dua puluh dua”, Uli terpaku, lemas, pucat dan memeluk ibu. Bu Indi guru bahasa Indonesia menghibur, “Tidak apa-apa Uli, masih ada kesempatan untuk berlatih. Penampilanmu tidak jelek, tapi memang peserta hari ini bagus-bagus. Dan kamu sudah dapat pengalaman yang cukup berarti”. Uli diam seribu bahasa sampai di rumah. Sewaktu ditanya ayah, Uli menangis sejadi-jadinya.
“Uli menyesal Ayah, selama ini Uli sudah merasa menjadi orang nomor satu. Uli selalu berdoa agar mendapat juara satu. Rupanya Tuhan memperingatkan sikapku yang sombong ayah, sehingga  tidak memberikan satu pun kejuaraan padaku, meskipun hanya juara harapan tiga.  Yang paling membuatku sadar, yaitu ternyata selama ini hatiku dibutakan oleh istilah “juara”. Padahal juaranya seorang tunanetra Ayah. Aku malu sekali, malu kepada Tuhan. Aku sadar di balik kekurangan orang lain ternyata tersimpan kelebihan yang luar biasa”, kata Uli terbata-bata.
“Memang Tuhan itu adil Uli, karena itu jangan meremehkan kemampuan orang lain”, kata ayah. Sejak peristiwa itu Uli lebih giat belajar dalam hal apapun. Dia membuat jadwal kegiatan sehari-hari yang harus dipatuhi sendiri. Tidak lupa belajar menghargai orang lain. Karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda.

                                                                                                         oleh:
                                                                                         Dra.  Luluk Nur Rohmawati

Rabu, 22 Agustus 2012

Renungan


HIKMAH DARI SEBUAH KEGAGALAN

            Di tengah-tengah kompetisi pendidikan saat ini, sudah menjadi tradisi masyarakat untuk berlomba menyekolahkan anak ke sekolah yang bergengsi. Tidak terpikirkan apakah si anak mampu atau tidak mengikuti pelajaran di sekolah tersebut, biaya yang dipakai nanti apakah sudah siap atau belum. Yang penting anak lolos di sekolah favorit dan bergengsi dulu, baru biaya dan lain-lainnya akan dipikirkan nanti.
            Hal seperti ini tidak menjadi prinsip aku dan suami. Karena kami tahu kemampuan kami. Kami akan melakukan apa saja semampu kami. Tapi kami juga ingin mencoba apa yang terbaik untuk anak. Mencoba mengamini keinginan anak.
Anakku yang pertama (laki-laki) ingin melanjutkan di sebuah SLTA RSBI favorit di kotaku. Hal ini tak lepas dari motivasi suami dan aku sendiri. Apalagi aku seorang guru, tentu menginginkan anak-anakku sekolah di tempat yang dia mau. Walaupun letaknya cukup jauh, kami akan berusaha memfasilitasi anak untuk menimbulkan semangat belajarnya.
Saat yang ditunggu tiba, pengumuman hasil UNAS pun disambut suka cita oleh warga sekolah anakku, karena lulus seratus persen. Akan tetapi kegembiraan anakku tak begitu lama. Hal ini disebabkan oleh putusnya suatu persahabatan yang mengakibatkan anakku begitu depresi. Semangat sekolahnya hilang begitu saja, dalam waktu singkat kondisi tubuhnya turun drastis. Kami selaku orang tua sangat kebingungan menghadapinya. Hingga hari pendaftaran sekolah yang kami tuju buka.
Terpaksa kami (suami dan aku) mengalah untuk tidak ngantor karena harus menemani anakku mendaftarkan diri di sekolah favorit tersebut. Kami yang repot ke sana kemari, karena anakku dalam kondisi pasif dan diam seribu bahasa. Hal ini sampai pada tahap wawancara dan tes tulis.
Aku tak mengira kalau ternyata dalam wawancara ada hal yang “tersembunyi”. Sumbangan yang besar ternyata ikut mempengaruhi lulus tidaknya calon siswa. Padahal dalam blangko yang kuisi, mulai fasilitas belajar di rumah, kesiapan membayar bulanan, sampai gaji kami selaku orang tua, dll, insyaallah aku optimis kalau anakku bisa lolos. Apalagi otak anakku tidaklah terlalu memalukan. Kami yakin, sampai suamiku menjanjikan jika anakku lulus akan dibelikan sepeda motor baru.
Allah menentukan lain, anakku tidak lulus. Kegagalan itu  semakin membuatnya jatuh mental. Dengan memohon kepada Allah kami selaku orang tua memberikan motivasi dan membesarkan hatinya dengan mendaftarkan ke sekolah lain yang dia inginkan. Ternyata dia memilih sekolah yang di situ ada teman-teman dekatnya sewaktu di SLTP, yaitu grupnya di OSIS dan Pramuka.
Meskipun pada dasarnya aku kecewa dengan keputusannya, aku berusaha untuk berlapang dada sambil mengikuti perkembangan mentalnya semenjak dia terpuruk. Hari-demi hari dia lalui dengan perubahan karakter. Dia begitu tertutup, keras kepala, dan malas beraktifitas. Setiap pagi kami harus membangunkan begitu lama, pun waktu sholat dia tidak menyegerakan untuk melakukannya. Kami jadi sedih sekali.
Dalam waktu beberapa bulan ini, dia sudah beberapa kali minta izinku untuk absen. Dia mulai gampang sakit, entah flu, demam, atau sakit ringan yang lainnya. Aku pun jadi enggan untuk membuatkan surat izin, karena sudah  beberapa kali minta izin. Aku berharap jika dia absen tanpa surat, akan mendapat teguran dari sekolah. Tapi sampai saat aku menulis ini, belum pernah aku dipanggil ke sekolah karena absennya.
Alhamdulillah Allah masih sayang kami. Seandainya anakku lulus di sekolah favorit tersebut, bagaimana dia bisa menjalaninya? Sedangkan bangun pagi saja, dia masih butuh pertolongan. Dengan bersekolah yang jaraknya jauh, kami akan kesulitan mengontrol pergaulannya. Karena semakin luas pergaulan akan membawa dampak yang mengkhawatirkan. Jiwanya yang labil, tentu akan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Apalagi yang namanya “coba-coba”, pasti akan disukai oleh anak remaja sepertinya.
Dalam keadaan ekonomi yang sedang dalam keadaan kurang baik, suamiku ingat akan janjinya untuk membelikan sepeda motor baru jika anakku lulus. Rupanya Allah sudah mengatur semuanya, di antaranya kegagalan anakku masuk SLTA tersebut. Kami tak bisa membayangkan  jika anakku harus bersepeda motor ke kota tiap hari. Dia belum bisa memperoleh SIM karena baru berumur 15 tahun. Kekhawatiran di jalan maupun pergaulan sangat menghantui kami.
Dari sinilah , kami (aku dan suami) mengambil hikmah yang luar biasa. Dengan dia masuk SLTA pilihannya, yakni di sebuah yayasan tempat aku mengajar. Maka sedikit demi sedikit aku mulai menerima nikmat yang diberikan Allah. Anakku mulai aktif kembali bersama teman-temannya. Sementara dia belum mau berhubungan dengan teman-teman wanita. Apalagi dia mulai aktif kembali dalam kegiatannya, bahkan masuk anggota Pramuka Saka Bhayangkara di kotaku.
Kami bisa mengontrol semuanya, pikiran kami tak terbebani lagi dengan apa yang dilakukannya. Teman-teman pergaulannya sudah kami ketahui semua, seberapa jauh dia melangkahkan kaki insyaallah sepengetahuan kami. Karena dalam mengambil keputusan apapun anakku selalu minta izin pada kami.
Kegagalan anakku berarti kegagalan kami juga sebagai orang tua dalam mendampingi di jenjang pendidikan. Alhamdulillah, kami selalu bersyukur kepadaMu ya Allah. Karena di balik kegagalan itu, terdapat rencana-rencanaMu ataupun hikmah yang kami  belum mengetahui sebelumnya.
September 2009

Selasa, 21 Agustus 2012


Cerpen Anak
RICO DAN TORI
“Kak, ayo cepat sedikit kenapa sih?, nanti terlambat lo!”, kata Tori sambil menyilangkan tali sepatu. Rico masih santai dengan sepiring nasi sarapannya. Ia ogah-ogahan beranjak dari meja makan.
“Co, adikmu sudah menunggu di depan. Masak berkali-kali terlambat hanya karena menunggu kamu. Kasihan dia dong, sering ikut kena hukuman”, kata nenek. Íya..iya..Nek!, nanti suruh pak Dimin ngebut kan bisa. Salah ibu dong, kenapa aku nggak diberi motor”, seru Rico.
“Lo...kamu kan masih di bawah umur, belum memenuhi syarat untuk mengendarai motor. Nanti bila waktunya tentu ayahmu akan menyediakan buatmu”, jawab nenek.
Rico dan Tori berangkat ke sekolah diantar pak Dimin dengan mobil kuno milik kakek. Mereka sekolah di SD yang sama, yaitu SDN Jatiwangi I. Mereka adalah kakak adik sepupu, dilahirkan oleh dua orang ibu kembar yang menikah bersama. Tetapi kelahiran Rico dan Tori terpaut tiga bulan. Rico dilahirkan oleh ibu Dita sedangkan Tori dilahirkan oleh ibu Dina. Kedua orang tua mereka hidup rukun sejak kecil. Sayang pekerjaan yang berbeda membuat kehidupan mereka terpisah oleh kota. Ibu kembar tetap ingin menyambung tali silaturahmi dengan menitipkan anak mereka masing-masing kepada kakek dan nenek. Ibu Dita sibuk dengan bisnisnya di Surabaya sedangkan ibu Dina  tugas belajar di Bandung. Mereka berharap sewaktu-waktu bisa bertemu sewaktu mengunjungi putra-putra mereka di rumah nenek, yaitu kota Solo.
“Aku butuh uang nih, penting sekali”, kata Rico.“Buat apa sih Kak, uang kak Rico kan lebih banyak”, tanya Tori. “Iya, tapi kan dibawa nenek, aku tak berani minta, nanti dimarahi lagi”, jawab Rico
Tori menjelaskan kalau dia masih ada sedikit uang saku yang dikumpulkan, ditambah saku pemberian bunda Dita minggu lalu. Rico meminjamnya dan tidak mau menjelaskan keperluannya.
            Di kelas, Rico dan Tori duduk terpisah. Rico suka bergaul dengan teman-temnannya yang suka jajan dan berpenampilan masa kini. Kelompok itu menamakan diri gank AMG (Anak Mau Gede). Tapi sayang gank AMG tidak disukai teman-temannya. Mereka usil, terutama kepada anak-anak putri. Sewaktu  istirahat gank AMG selalu bermarkas di sebelah kamar kecil. Entah apa yang mereka bicarakan.
            Sementara Tori yang merasa seperti anak-anak yang lain lebih suka bercanda dengan teman-teman tanpa pilih-pilih. Tori biasa jajan di kantin secukupnya saja. Setelah itu kembali ke kelas atau ke perpustakaan. Lumayan untuk menambah wawasan.
            Setiap Minggu bunda Dita selalu pulang ke rumah nenek. Tak lupa bunda Dita juga memberikan uang saku kepada Rico dan Tori selain yang diberikan kepada nenek. Akan tetapi Rico curang, dia jarang memberikannya kepada Tori. Sedangkan bunda Dina minimal sebulan sekali baru datang. Bunda Dina harus irit, karena biaya kehidupan di Bandung selama kuliah tidak sedikit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan Tori. Bunda Dina juga minta kepada Tori untuk selalu berbagi kepada Rico meskipun hanya sedikit.
            Tori menyempatkan istirahat siang setelah mengerjakan PR. Baru kemudian melakukan kegiatan-kegiatan yang lain. Misalnya les, olah raga ataupun bermain. Sehingga pada malam hari tinggal membaca-baca buku untuk persiapan pelajaran keesokan harinya. Sedangkan Rico tinggal mencontek PR milik Tori. Karena selesai makan siang, dia selalu menghabiskan waktu untuk bermain play station. Kadang-kadang dijemput gank AMG untuk bermain keluar. Bila tidak ditunggui nenek, Rico tidak belajar tetapi menyelinap ke kamar untuk bermain hand phone.
            Waktu ulangan kenaikan kelas tiba, Rico sibuk belajar sampai larut malam. bunda Dita menjanjikan hadiah kepada Rico jika nilainya tidak seburuk semester pertama. Sedangkan Tori belajar biasa-biasa saja, dia tinggal membaca ulang apa yang selama ini telah dipelajari. Pukul sembilan malam Tori sudah berangkat tidur, hal ini yang membuat cara belajar Rico semakin tidak tenang. Matanya sudah mengantuk, tetapi dia belum mempelajari pelajaran yang diujikan besuk. Sehingga kakek harus memapah Rico yang tertidur di meja belajar menuju tempat tidurnya.
            Sudah seminggu ulangan kenaikan kelas dijalani Rico dan Tori. Semua  berharap nilai mereka semakin meningkat. Tidak lupa mereka berdoa kepada Tuhan agar apa yang diminta terkabul. Tidak demikian dengan Rico, dia cuek. Dia merasa sudah berusaha belajar sampai “mati”. Sedangkan hasilnya, “Lihat saja nanti, pasti nilaiku bagus”, begitu katanya kepada semua yang ada di rumah. Sehingga semua yakin kalau nilai Rico nanti pasti bagus.
            Bunda Dita menelpon bunda Dina, karena ada undangan kepada wali murid untuk mengambil rapor. Meskipun jauh bunda Dina menyanggupi demi anaknya. Keperluan apapun dikorbankan demi pendidikan anaknya. Mereka sepakat untuk datang pada waktu yang ditentukan sekalian hendak berlibur ke pantai bersama.
            Saat wali murid berkumpul di sekolah, Rico dan Tori terlihat bersama. Pada dasarnya Rico takut menghadapi kenaikan kelas. Tetapi Rico tidak berani menampakkan kegelisahannya. Rico merasa selama ini kurang belajar, dia hanya bermain-maian saja sewaktu Tori belajar. Apalagi bunda Dina sudah dipanggil ke depan untuk menerima selamat bahwa Tori mendapat ranking dua. Bunda Dita pun merasakan hal yang sama seperti Rico. Tinggal lima orang saja di kelas itu, akhirnya bunda Dita maju.
            Ibu wali kelas menjelaskan, “Maaf Bu, apakah selama ini Ibu mengetahui kegiatan Rico sehari-hari?”. Seperti halnya bunda Dina, tentu saja bunda Dita juga tidak mengetahui kegiatan anak-anaknya karena sibuk bekerja.
            “Ibu, selama ini Rico kurang perhatian pada pelajaran. Dia lebih suka bermain. Setiap ada tugas jarang mengerjakan. Kalaupun dia mengerjakan , itu hasil nyontek pekerjaan Tori. Apalagi setiap ditunjuk ke depan, dia selalu berkelit karena tidak bisa menyelesaikan soal-soal yang kami berikan. Jadi ini keputusan bersama dengan beberapa guru, terpaksa Rico harus tinggal kelas. Mohon maaf Ibu”, ibu wali kelas menjelaskan.
            Bunda Dita seakan tidak kuat untuk berdiri, matanya berkunang-kunang. Sedih, hanya itu yang bisa dirasakan. Dan hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada ibu Wali Kelas. Bunda Dita segera mengajak pulang. Sementara Rico hanya terdiam tidak berani berkata-kata.
            Kesediahan meliputi seluruh keluarga kakek dan nenek. Bunda Dina dan Tori pun tidak leluasa untuk bergembira karena harus bisa tenggang rasa kepada bunda Dita dan Rico. Mereka hanya bisa menasihati, agar Rico mendekati bundanya.
            “Maafkan Rico Bun, Rico akan memperbaiki kesalahan Rico. Rico menyesal Bun. Rico bersedia menerima hukuman”, kata Rico sambil menangis.
            “Semuanya sudah terlanjur, mungkin ini salah Bunda juga, karena Bunda tidak bisa menunggui kamu setiap hari. Sehingga Bunda tidak tahu perkembangan kamu. Bunda minta, jauhilah perbuatan-perbuatan buruk yang kamu lakukan bersama gankmu. Bisa kan Nak?”, kata bunda Dita sambil memeluk Rico.
            “Iya Bun, Rico berjanji akan merubah sikap. Rico akan belajar seperti Tori. Selama ini Rico menyia-nyiakan Tori, tapi dia tidak pernah sakit hati padaku Bun. Termasuk uang saku yang Bunda berikan, Rico jarang memberikannya Bun. Rico dihukum oleh Tuhan, Rico menyesal, menyesal…”, Rico menangis
            Untuk introspeksi diri maka keluarga bunda Dita dan bunda Dina membatalkan berlibur ke pantai. Mereka sepakat bersama di rumah nenek sampai liburan sekolah selesai.

                                                                                                Minggiran, 15 Februari 2008
 Luluk Nur R.

Ada Apa Hujan? (Contoh teks 100 kata)

Konten             : Teks Informasi Konteks           : Sosial   Ada Apa Hujan? Musim hujan telah tiba. Terkadang di suatu daerah hu...